Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDAI buku beratap seng itu terletak di bagian dalam pasar buku Pasar Senen, Jakarta. Tanpa papan nama, seperti kebanyakan kedai buku di sana.
Sebuah meja besar memenuhi kedai itu. Di atasnya bertumpuk buku teka-teki silang yang biasa dijajakan pengasong di terminal. Beberapa novel remaja murahan tertata di salah satu rak. Di dinding lain ada beberapa komik tipis Petruk-Gareng dan novel horor Mira Karmila yang sudah berdebu.
Kedai buku itu dulu sangat terkenal di Senen. Inilah Gultom Agency, penerbit yang pada 1990-an mencetak dan mengedarkan novel-novel horor karya Abdullah Harahap. ”Itu buku lama, Bang. Sudah tak ada lagi di sini,” kata seorang lelaki penjaga kedai itu pada Senin dua pekan lalu.
Novel horor Abdullah kini menjadi barang antik yang langka. Tak mudah menemukannya di lapak-lapak pedagang buku. Kalau beruntung, Anda masih bisa mendapatkannya terkubur di antara buku-buku loakan. Beberapa penjaga lapak memperlakukannya sebagai buku kuno yang harganya bisa empat kali lipat harga buku saku biasa. Bahkan ada yang mengira pengarangnya sudah lama meninggal karena tak ada lagi buku barunya yang terbit.
Tapi, ”Akhir-akhir ini Abdullah kembali hip, sebagai salah satu merek kitsch cool yang digemari kaum menengah, terutama di Jakarta,” kata Mikael Johani, mantan editor Metafor Publishing dan Jurnal Perempuan, yang menjadi pembicara dalam ”Bincang Tokoh Abdullah Harahap” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu tiga pekan lalu. Banyak anak muda Jakarta, kata Mikael, kini kembali memburu novel Abdullah bersama roman-roman Fredy S. dan Maria Fransiska layaknya harta karun dan mengunggahnya di Twitpic.
Abdullah Harahap lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 17 Juli 1943. Dia lalu merantau ke Jawa dan kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung, Jurusan Civic Hukum, tapi tak tamat. Saat kuliah, dia nyambi sebagai wartawan di harian Gala, Bandung.
Penggemar roman Motinggo Busye itu sudah mengarang fiksi sejak duduk di bangku sekolah menengah atas. Ketika kuliah, dia mengarang cerita pendek, yang beberapa kali diterbitkan di harian Indonesia Jaya dengan redaktur Ali Shahab—pengarang roman yang belakangan lebih dikenal sebagai sutradara drama serial televisi Rumah Masa Depan.
Karier jurnalistiknya dimulai sebagai reporter di harian Gala, dan akhirnya menjadi wartawan di Selekta Group, yang menerbitkan majalah Senang, Stop, Detektif dan Romantika, dan Selekta di Jakarta. Di sini Abdullah kerap meliput peristiwa kriminal, yang akan mempengaruhi gaya penulisan novelnya.
Pada 1970-an itu, pasar buku Indonesia dibanjiri novel populer bertema percintaan, yang sudah dirintis Motinggo Busye pada awal 1960-an. Beberapa perempuan pengarang muncul pada masa ini, seperti Marga T., La Rose, Yati Maryati Wiharja, Marianne Katoppo, Titiek W.S., Maria A. Sardjono, Mira W., Titie Said, dan Ike Supomo. Adapun lelaki pengarang antara lain Motinggo, Ashadi Siregar, Ali Shahab, Asbari Nurpatria Krisna, Eddy D. Iskandar, Yudhistira Adhi Nugraha, Remy Sylado, Teguh Esha, dan Saut Poltak Tambunan.
Abdullah rupanya terseret arus besar ini dan tergolong produktif dalam menghasilkan cerita pendek dan cerita bersambung yang dimuat di media anggota Selekta Group. Cerita bersambungnya kemudian dibukukan oleh Selekta dan beberapa penerbit lain dari ”kelompok Pasar Baru”. Dia mengaku telah menerbitkan sekitar 50 judul novel pada dekade itu, seperti Kekasih yang Hilang, Istriku Sayang Istriku Jalang, Lembutnya Dosa Kotornya Cinta, Impian Seorang Janda, Penyesalan Seumur Hidup, dan Kekasih Hatiku.
Menurut Abdullah, sebelum diterbitkan Gultom Agency, buku-bukunya diterbitkan jaringan perbukuan yang disebut ”kelompok Pasar Baru”. Tapi kelompok yang bermarkas di Pasar Baru, Jakarta, itu kini sudah tak ada. Menurut para pedagang buku, bos kelompok itu sudah pindah usaha ke perdagangan valuta asing.
Buku-buku itu dicetak dalam format buku saku murahan. Sampulnya selalu dihiasi gambar perempuan cantik yang kadang ditemani seorang lelaki. Pada Penyesalan Seumur Hidup, yang difilmkan dan menjadi unggulan Festival Film Indonesia 1987, sampulnya juga disertai iklan ”Artis terbaik Dewi Yull mengatakan: Jika tidak membaca buku ini, Anda akan menyesal seumur hidup”.
Dalam Novel Populer Indonesia (1985), Jakob Sumardjo menyebut Abdullah sebagai pengekor Motinggo dalam mempopulerkan novel percintaan dengan melukiskan seksualitas yang lebih terbuka dan kisah asmara yang manis serta menyisipkan tema gotik. Jakob menilai beberapa karya Abdullah sebenarnya memiliki teknik bercerita dan gaya penyampaian yang matang, tapi mungkin karena ia terlalu produktif, beberapa karyanya tergelincir menjadi kekanakan dan berbau penulis pemula.
Sebagian masyarakat menuding novel-novel populer ini terlalu banyak menyuguhkan adegan ranjang. Abdullah mengakui bahwa di masa itu dia, Ali Shahab, dan Motinggo kerap disebut penulis porno. ”Pada masa itu Ali Shahab pernah menulis tentang tante girang, saya menulis om senang,” kata Abdullah, yang berkawan dengan kedua pengarang tersebut.
Tapi Jakob menilai novel dekade itu jauh lebih sopan ketimbang buku saku 1960-an. ”Novel-novel ini tidak berbahaya dalam arti ‘tidak membangkitkan berahi’,” tulisnya.
Namun satu karya Abdullah sempat dibawa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan pornografi pada 1975. Karya itu berupa cerita bersambung Budak dan Budak, yang dimuat di majalah Mayapada. Tokoh cerita itu seseorang yang hiperseksual dan tentu saja di situ ada adegan seksnya.
Paus Sastra H.B. Jassin tampil sebagai saksi ahli dan menilainya sebagai karya sastra. ”Adegan seks itu untuk menunjukkan ‘penyakit’ sang tokoh. Seperti kata Jassin, kalau tidak ada penggambaran itu, karakter itu hilang,” ujar Abdullah. Berkat pembelaan Jassin, dakwaan atas karya itu dicabut.
Abdullah sebenarnya dapat disebut sebagai pionir novel gotik modern. Di Indonesia, novel-novel yang mengangkat tema dunia gaib ini lazim disebut ”novel misteri”, istilah yang juga digunakan Abdullah untuk menyebut karyanya. Ketika novel-novel Abdullah diangkat ke layar televisi TPI pada 2001, nama acaranya pun Teve Misteri.
Penyebutan ini menyimpang dari definisi umum dalam teori sastra. Novel misteri umumnya dikaitkan dengan atau menjadi bagian dari novel detektif, seperti kisah-kisah karya Alfred Hitchcock dan sepak terjang detektif Sherlock Holmes rekaan Sir Arthur Conan Doyle.
Sedangkan novel bertema dunia gaib biasanya dimasukkan ke keranjang novel gotik, yang diperkenalkan oleh pengarang Inggris, Horace Walpole, lewat novel Castle of Otranto (1764). Disebut gotik karena novel-novel itu biasanya berlatar kastil atau biara dengan lorong-lorong gelap bawah tanah, ruang tersembunyi, dan pintu-pintu jebakan. Unsur kengerian dan kekerasan kerap menjadi menu utamanya.
Contoh karya klasik dari genre ini adalah Frankenstein karya Mary Shelley dan Dracula karya Bram Stoker. Adapun pengarang masa kini yang meneruskan tradisi itu antara lain Stephen King dan Anne Rice.
Dalam perkembangannya, genre ini bercampur dengan genre lain. Khusus di Indonesia, genre ini bersilangan dengan genre cerita silat, seperti serial Manusia Harimau karya S.B. Chandra atau serial Tujuh Manusia Harimau karya Motinggo Busye.
Novel gotik pertama Abdullah adalah Dikejar Dosa, yang dimuat di tabloid Stop pada awal 1970-an dan diangkat ke layar lebar oleh sutradara Wim Umboh. Sejak 1975, dia sepenuhnya meninggalkan roman bertema percintaan dan menulis sekitar 70 judul cerita horor.
”Dalam novel misteri, saya lebih leluasa menulis. Pada roman itu ada tata dan logika yang harus dijaga, sedangkan dalam menulis misteri kita bisa suka-suka, sepuas-puas hati,” katanya.
Tindakan para tokoh dalam novel horor tak harus sesuai dengan akal sehat, karena melibatkan dunia arwah, yang mengizinkan tokoh-tokohnya melangkah melampaui kodrat manusia. Bukunya antara lain Sumpah Leluhur, Manusia Serigala, Menebus Dosa Turunan, Dendam Berkarat dalam Kubur, Misteri Anak-anak Iblis, Langkah-langkah Iblis, Tarian Iblis, Panggilan Neraka, dan Babi Ngepet.
Novel itu dicetak dalam format buku saku murahan setebal 100-300 halaman. Tahun terbit jarang disebut dan tanpa ISBN. Sampulnya biasanya bergambar perempuan cantik dengan dandanan seksi dan manusia berwajah seram atau makhluk yang menakutkan.
Menurut Abdullah, dia bisa menyelesaikan satu novel dalam satu bulan. ”Tapi, kalau enggak in, biar sudah sampai halaman 60, saya bisa berhenti dan merobek naskah itu,” ujarnya.
Tapi sering juga dia dikejar tenggat untuk menyelesaikan ceritanya karena penerbit sudah membayar di muka. Penerbit pun tak peduli pada kualitasnya. ”Yang penting nama Abang ada di sana,” kata satu penerbit kepada Abdullah.
Abdullah kebanyakan menggali bahan novelnya dari cerita-cerita orang atau legenda yang hidup di suatu daerah. ”Kalau saya dengar ada cerita yang menarik di suatu tempat, saya datang ke sana,” ujarnya.
Metode wawancara kerap dia gunakan, misalnya bertanya kepada dokter ahli untuk mendapat penjelasan soal penyakit tertentu atau kepada pengacara untuk kasus tertentu.
Novel Abdullah biasanya berbicara tentang kutukan yang jatuh pada seseorang atau mengenai arwah penasaran yang terus melakukan pembunuhan hingga dendamnya terbalas. Lalu ada tokoh lain, sering kali wartawan, yang melacak asal-usul kutukan itu dan dibantu dukun untuk membebaskannya. Alur ceritanya sering bergaya detektif. Pola ini dia terapkan karena pengalamannya sebagai wartawan kriminal yang mengenal lika-liku penyelidikan polisi.
Misteri Perawan Kubur, misalnya, berpusat pada Larasati, perempuan yang menyebabkan matinya beberapa penduduk Desa Cikalong Wetan di kaki Gunung Galunggung. Warga desa membunuhnya dan mengubur mayatnya. Rupanya, perempuan itu memiliki kekuatan gaib yang dapat memindahkan rohnya ke orang lain. Dengan cara itu, ia terus hidup dan membunuh banyak orang. Kasus ini dilacak wartawan Ramandita.
Abdullah melihat banyak masalah di dunia nyata, seperti kasus yang tersangkut di Komisi Pemberantasan Korupsi dan kejaksaan, tak pernah tuntas.
Sebagai berita, masalah itu mungkin akan berhenti di satu titik dan akan raib karena tak ada yang bertindak. ”Kalau saya tulis di novel, bisa kita bunuh saja para penjahat itu, kita kirim saja hantu-hantu,” katanya.
Abdullah berhenti menulis novel, meski tidak total, pada 1990-an dan sibuk membuat skenario untuk siaran televisi, khususnya yang bertema roman dan horor. Sejak itu pula novelnya mulai langka di pasaran.
Pasar novel horor lalu diisi beberapa pengarang baru, seperti Tara Zagita (Kereta Hantu dan Misteri Roh Jalangkung), Taufan Halilintar (Misteri Gadis Impian), Maya Lestari (Kutukan Sang Roh dan Misteri Dukun Santet), Teguh S. (Manusia Penghisap Darah dan Misteri Pena Berdarah), Maria Fransiska (Arwah Penasaran), dan Mira Karmila (Dendam Keturunan Setan dan Jeritan Hutan Keramat). Karya mereka umumnya masih mentah dan lebih banyak mengumbar kengerian. Jalan ceritanya polos dan penokohannya lemah.
Lima tahun terakhir, muncul satu nama yang memasuki genre ini, yakni Sekar Ayu Asmara, lewat Pintu Terlarang dan Kembar Keempat—keduanya diterbitkan Gramedia. Sekar lebih elegan dalam bercerita, kaya dalam penokohan, dengan plot lebih rumit. Temanya tak melulu soal arwah penasaran, tapi juga alam pikiran penderita skizofrenia dan inses.
Lalu muncul Intan Paramaditha dengan kumpulan cerita pendek Sihir Perempuan. Intan kemudian berkolaborasi dengan Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad dalam proyek pembacaan kembali karya Abdullah. Karya mereka sebelumnya dimuat di lembar sastra beberapa koran. Setelah tujuh bulan, mereka melahirkan kumpulan cerpen Budak Setan, yang menampilkan keragaman tema dan teknik bercerita dalam cerita horor.
Gairah terhadap genre horor ini disambut Paradoks, anggota Kelompok Kompas Gramedia, dengan meluncurkan Misteri Perawan Kubur, karya lama Abdullah, yang dilabeli ”edisi terbatas” pada bulan lalu. ”Akan diterbitkan juga Misteri Sebuah Peti Mati dan Misteri Lemari Antik. Ini langkah awal. Nanti kami terbitkan pula buku lama dan buku baru saya,” kata Abdullah.
Abdullah Harahap tampaknya telah bangkit dari kuburan buku loakan.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo