Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gadis cilik berpakaian lusuh ini bergerak lincah. Usianya sekitar dua belas tahun. Ia awas terhadap orang-orang berwajah bukan Cina yang baru keluar dari gedung pusat belanja murah Silk Street, Beijing. Bocah baru gede ini berlari dari dekat pintu keluar hingga gerbang halaman depan pasar yang sekelas dengan Pasar Tanah Abang di Jakarta atau Pasar Turi di Surabaya ini.
Kadang ia mengejar hingga ke sisi kiri gedung bila melihat orang yang ia kira pantas sebagai turis yang sedang mencari kafe atau restoran. Ia pepet terus orang-orang berwajah asing yang keluar dari pintu samping pusat belanja hingga ke tempat antrean mendapatkan taksi. Kepada siapa pun, tak peduli dari bangsa apa, ia selalu berbahasa Mandarin. Ia berkata-kata sembari menatap tajam lawan bicara.
Bahasa isyarat yang selalu ajek ketika sedang berjalan di samping orang yang ia kejar adalah memajumundurkan ujung jari yang terkuncup di depan mulutnya, sampai orang yang ia kejar memberinya recehan yuan. Atau, hingga ia yakin bahwa orang itu memang tidak sedang ingin memberinya uang. Ketika ditanya siapa namanya dengan bahasa Inggris, remaja itu bilang, ”Nama saya Ang.” Nama pasaran buat bangsa Cina.
Barangkali, karena tiap hari berinteraksi dengan pelancong asing, Ang sedikit tahu bahasa Inggris untuk hal-hal dasar, nama misalnya. Ang adalah satu dari belasan pengemis, tukang ojek, pedagang acung, atau bahkan copet yang berkeliaran di Pasar Jalan Sutra, Beijing, ini. Di tempat belanja ini orang bisa belanja dengan menawar harga hingga turunnya tak terkira. Syaratnya, belanja dengan daya tawar kukuh dan tebal muka untuk terus menawar. Dompet yang ditawarkan penjual 80 yuan, misalnya, bisa kena di harga 9 atau 10 yuan.
Pasar ini berada di pojok kanan ujung Jalan Sutra yang bermuara dengan jalan utama gedung-gedung pencakar langit Beijing. Pasar ini seolah menjadi pertemuan sempurna antara sisi gemerlap Beijing dan sisi lain yang muram dan papa. Di sinilah orang-orang pelesiran dari latar belakang kulit putih, cokelat, hitam, ataupun kuning bertemu. Orang pun bisa nongkrong minum kopi ala Starbucks atau bercengkerama di kafe-kafe gaya Eropa lain.
Keperkasaan modal dipertontonkan kota terbesar kedua Tiongkok setelah Shanghai ini. Ada simbol perusahaan elektronik multinasional LG bertengger di pucuk hotel menjulang ke angkasa, tak jauh dari situ. Di seberang lain dari pojok Pasar Jalan Sutra, simbol restoran waralaba bersimbol M dengan panel lampu berpendar-pendar. Mobil mewah Mercedes-Benz, BMW, Nissan Cedric, Toyota Lexus, dan sejumlah merek top lain lalu-lalang seolah tiada henti.
Tapi di sini pula kere kecil seperti Ang bejibun banyaknya. Malam itu Ang, misalnya, bersaing dengan Lim Dang. Lelaki sedikit kerempeng ini wajahnya mulai berkerut. Ia berumur lima puluhan tahun. Jam terbang Lim lebih lama untuk urusan meminta-minta. Meski tua, kegesitan Lim mengejar ”mangsa” turis asing tak kalah dibanding Ang. Seperti Ang pula, ia bergerak dari pintu utama ke arah samping bangunan pasar atau sebaliknya.
Tak jarang Ang dan Lim berebut dalam satu rombongan turis. Jika memburu satu grup turis berisi lima orang, misalnya, bisa jadi Ang meminta-minta pada orang yang berada di ujung kiri, sedang Lim di ujung kanan. Ang, Lim, dan sejumlah pengemis lain kerap pula berebut sedekah dari orang yang sama yang mereka perkirakan ”dermawan”. Jika seorang turis memberikan uang recehan kepada seorang pengemis, bisa dipastikan pengemis lain segera mengerubutinya untuk memperoleh pemberian serupa.
Beda dengan Ang yang bicara nyerocos dengan bahasa Mandarin dan bahasa ”Tarzan”, Lim bisa mengucapkan beberapa penggal bahasa Inggris. Tapi kata-katanya memang itu-itu saja. ”Money, money, money....” Jika orang yang ia kejar-kejar tak segera memberinya uang, Lim berusaha meyakinkan bahwa uang yang ia minta tak banyak, ”One dollar, one dollar, please!” Meski ternyata uang recehan pun tak segera didapat, Liem terus mengiba dengan kata bahasa Inggris yang juga ia ulang-ulang, ”For food, for food….”
Potret susahnya hidup di Beijing itu juga bisa tecermin dalam wajah-wajah ojek sepeda ontel di Silk Street atau Jalan Sutra. Perhatikan remaja tanggung yang menawarkan jasa ojek itu. Dari sadel sepeda ontel butut miliknya, matanya awas menelisik orang-orang yang keluar dari pintu utama pasar. Pintu utama ini pada jarak lima meter terhalang kaca transparan. Sehingga pengunjung yang keluar gerbang bisa memilih ke arah kiri atau kanan. Ia berada di area halaman depan pasar sejak sejam sebelum pasar tutup pukul sepuluh malam. Sebentar-sebentar ia pindah posisi. Semula persis di depan kaca gerbang. Lalu pindah agak ke kiri atau sedikit ke kanan pintu utama. Tapi tak lama kemudian ia menghilang dari halaman.
Selang beberapa menit ia muncul kembali. Seorang ibu berwajah Tionghoa membawa belanjaan. Tanpa banyak omong, remaja tanggung itu ia dekati. Dua tentengan tas plastik segera pindah ke bagian sepeda. Perempuan dan remaja pengojek tadi beriringan keluar halaman pasar mengambil arah kanan.
Tengok pula bagaimana pedagang asongan beraksi. Seorang perempuan Cina empat puluhan tahun terlihat menawarkan jam Rolex buatan Cina kepada sejumlah laki-laki berwajah Arab yang tengah duduk-duduk di kolam halaman Pasar Silk Street. Memang banyak sekali ditawarkan jam Rolex tiruan di sejumlah tempat wisata di Beijing, dan kabarnya di hampir seluruh Cina. Si perempuan berusaha meyakinkan lelaki kulit hitam bahwa Rolex yang ia jual itu asli tapi murah.
Penjual bilang, harga hari ini lebih murah dibanding sehari sebelumnya. Kemarin ia jual dengan harga 20 yuan, tapi hari itu ia banting tinggal 10 yuan. Sepertinya, lelaki kulit hitam tadi sudah mengenal lagak langgam penjual Rolex Cina. Ia tak nyaman dengan penjual Rolex yang terus mengejarnya. ”Kemarin dua puluh, hari ini sepuluh, besok lima. Hah…,” kata dia setengah berserapah sembari mengangkat bahu.
Rupanya kegaduhan kecil ini mengundang perhatian sejumlah polisi yang punya pos di pojok perempatan Silk Street. Tiga polisi bergerak ke halaman pasar.
Seiring dengan itu, penjual Rolex, beberapa pengemis, dan tukang ojek segera menyingkir ke sisi lain. Mereka menghindar sambil sekali-sekali menengok ke belakang. Sepertinya mereka biasa diusir polisi atau petugas ketertiban Kota Beijing. Setelah yakin bahwa polisi tak lagi hendak menghalau, apalagi mengejar, mereka pun kembali ke Pasar Jalan Sutra. Mereka baru beranjak setelah pasar tutup dan malam pun mulai berselimut sepi.
Ketika pengunjung habis, sebagian dari mereka menuju ke trotoar Jalan Sutra. Trotoar bertaman ini tampak terawat. Tapi lampu di sana remang-remang bahkan cenderung gelap. Di seberang pasar, restoran, panti pijat, salon, dan diskotek kelas sedang seperti memanggil-manggil orang untuk berkunjung. Dan sejumlah pengemis kembali menyambut, membangkitkan kekagetan. Mereka orang jompo, duduk bersila, berpakaian lusuh, menengadahkan tangan dan menyiapkan kaleng kosong di depannya untuk menampung uang receh.
Sunudyantoro (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo