Bisnis lagu dangdut menghasilkan sejumlah orang yang sukses secara materi: produser, penyanyi, pencipta, dan juga pengatur show. BENYAMIN S. pernah bilang, "Muke boleh kampung tapi rezeki kota." Ini ungkapan yang tepat kalau kita bicara soal bisnis di dunia dangdut. Dangdut yang kampungan itu -- istilah kampungan ini sudah layak di-"sesuaikan" -- - ternyata tidak hanya memperdengarkan suara gendang, tapi juga gemerincingnya uang. Lihat saja bangunan studio milik Gajah Mada Record (GMR) yang berdiri megah di atas tanah seluas 3 ha di Cipayung, Jawa Barat. Sebuah bangunan baru bercat putih nampak menonjol dengan taman asri yang mengelilinginya. Di dalamnya terdapat perlengkapan sebuah studio rekaman yang canggih, termasuk peralatan rekaman 24 track, yang harganya milyaran. Selain bangunan yang berisi dua buah studio rekaman itu, di sana juga berdiri sebuah "tempat peristirahatan" dan studio alam. Dari manakah semua kemakmuran itu? Tidak lain dari bisnis rekaman kaset lagu-lagu dangdut. Karena dari studio milik Sugama bersaudara inilah lahir kaset-kaset yang "meledak" dalam pemasarannya. Dan bagian terbesar (75%) kaset keluaran GMR adalah lagu yang mengundang goyang ini. Sampai dengan tahun ini saja, sedikitnya GMR sudah tiga kali memenangkan penghargaan HDX Award -- - sebuah penghargaan bagi kaset terlaris dalam satu tahun itu untuk setiap jenis aliran musik -- yang kesemuanya album dangdut. Boom yang mengangkat GMR yang berdiri tahun 1986 itu terjadi untuk pertama kalinya ketika Yusnia menggoyang telinga penikmat dangdut dengan Gubuk Derita. Ledakan ini kemudian disusul pula oleh album Termiskin di Dunia yang didendangkan Hamdan A.T.T., yang sempat merajai tangga lagu-lagu selama beberapa pekan. Dari GMR ini pula meluncur Gubuk Bambu dan Lebih Baik Sakit Gigi, yang dinyanyikan oleh Meggy Z., yang juga menjadi peraup rupiah ke pundi-pundi perusahaan tersebut. "Tapi kalau mau ditanyakan berapa keuntungan dari hasil memproduksi kaset-kaset dangdut, saya tidak bisa merincinya," ujar Sugama, si pemilik studio itu, mengelak. Tapi kita bisa menghitung berapa besar uang yang bisa ditangguk seorang produser rekaman dari sebuah kaset yang meledak. Umpamanya sebuah kaset dangdut dijual dengan harga rata-rata Rp 3.500 per kaset, berapa penghasilan kotor yang diraup GMR dari kaset Lebih Baik Sakit Gigi Meggy Z., yang laku di atas 300 ribu? Lebih kurang Rp 105 juta! Berapa pula yang dihasilkan dari album Duh Engkang Itje Trisnawati dan Judul-judulan PMR yang masing-masing laku satu juta buah? PMR alias Pengantar Minum Racun mendapat bonus Rp 105 juta dari kaset tersebut. Memang jumlah ini masih dikurangi dengan biaya lain-lain. Seperti yang dijelaskan oleh Paku, bos Music Station Company Record (MSC Record). Untuk memproduksi sebuah album dibutuhkan biaya Rp 15 juta sampai Rp 16 juta untuk penyanyi baru. Untuk penyanyi yang sudah top, mereka harus mengeluarkan uang sampai Rp 30 juta. Belum lagi biaya untuk mengopi kaset tersebut, yang besarnya Rp 8 juta per 10 ribu kaset. Pos lain yang juga membutuhkan biaya -- bahkan lebih besar lagi -- adalah promosi. MSC Record pernah mengeluarkan biaya sampai Rp 80 juta (termasuk promosi di media massa, lomba nyanyi, dan tur artis). Mereka juga harus memberikan Rp 800 per kaset untuk agen pengecer. Tapi jika dilihat dari bonus yang diterima Meggy Z. berupa Mazda 323 XG-5 yang harganya puluhan juta rupiah, tentu bagian produser tetap lebih besar. Karena itu, dunia bajak-membajak kaset di musik dangdut juga marak. Si Raja Dangdut Rhoma Irama bahkan berani memastikan bahwa perbandingan antara kaset bajakan dan kaset resmi yang beredar bisa 5:1. Pendapat Rhoma tidak berlebihan jika melihat kasus-kasus pembajakan yang naik sampai ke pengadilan. Apalagi kalau kita melihat kaset yang dijual di emperan toko dengan harga setengah atau sepertiganya dari harga yang asli. Urusan promosi memang bagian terpenting dalam bisnis ini. Andaikan si penyanyi tergolong artis baru, promosi harus diadakan secara besar-besaran. Begitu pula dengan penyanyi yang lama, "Kalau tidak kita promosikan secara besar-besaran, bisa-bisa lagunya tak laku, dan pamornya anjlok," kata Paku. Namun, menterengnya studio rekaman atau kantor produser kaset tidak ada hubungannya dengan rezeki yang bisa ditangguk. Buktinya, kantor MSC Record tidak megah dan bahkan terlihat suram. Tapi dari dalam kantor yang sarat dengan tumpukan kaset itulah lahir album dangdut Duh Engkang Itje Trisnawati dan Judul-judulan PMR, Terbayang-bayang Ona Sutera, dan Dokter Cinta Evie Tamala. Lucunya lagi, MSC yang berdiri sejak tahun 1986 dan sudah menelurkan 101 judul kaset itu sampai saat ini tidak punya studio rekaman. Lalu? "Ya, kita sewa saja studio kepunyaan orang," kata Paku, kalem. Soal penyanyi bagi MSC bukan hal yang penting dalam melariskan produknya. "Yang penting itu lagunya," kata Paku. Menurut dia, siapa pun penyanyinya, kalau lagunya sudah bisa diramal bakal laris, si penyanyi pun ikut terkatrol. Karena itu, MSC lebih senang menggaet penyanyi-penyanyi baru untuk rekaman. "Mereka lebih bisa diajak bekerja sama dengan pendukung yang lain," kata Paku. Dan tentunya bayarannya pun lebih murah, kan? Bintang dangdut yang diorbitkan MSC antara lain Ona Sutera dan Evie Tamala. "Orang kan baru dengar suaranya. Apalagi suara dan goyangnya asyik punya," kata Paku kepada Sri Raharti dari TEMPO. Yang ikut menikmati panen tentu saja para pencipta lagu. Gajah Mada Record, misalnya, sekarang memberikan imbalan yang bagus bagi para pencipta lagu. Mereka menegakkan standar Rp 200.000 untuk sebuah lagu, jumlah yang lebih banyak dari yang diberikan oleh studio lainnya (rata-rata Rp 150 ribu). Itu tadi untuk pencipta pemula atau untuk lagu yang dinilai "biasa-biasa saja". Beda dengan lagu yang diperkirakan bakal meledak, si pencipta bisa menerima bayaran Rp 500 sampai Rp 700 ribu. Rekor bayaran tertinggi kini tampaknya di tangan Muchtar B., pencipta lagu-lagu hits yang dinyanyikan mulai dari Elvi Sukaesih, Itje Trisnawati, Herlina Effendi, Hamdan A.T.T., sampai penyanyi generasi terbaru. Kini satu lagunya dihargai Rp 5 juta. Dari Duh Engkang, Muchtar B., tamatan SMP itu, kecipratan bonus sekitar Rp 20 juta dan sebuah sedan Honda Civic Wonder. Yang lain, Endang Raees, salah seorang pencipta lagu dangdut yang sering dipakai GMR. Karena dari tangannyalah lahir lagu Termiskin di Dunia. Bahkan ia sudah menikmati dua buah mobil Suzuki Carry dan hadiah-hadiah lainnya karena lagu ciptaannya. Bahkan GMR merasa perlu mengadakan lomba cipta lagu dangdut secara teratur setahun sekali. Bagi pengarang lagu yang ingin memanfaatkan studionya untuk mencari ilham di kolam ikan yang ada di sana, atau sekadar genjrang-genjreng diberikan kesempatan seluas-luasnya. Bisnis dangdut tidak hanya berarti hak pengusaha rekaman. Di Medan, tepatnya di Aksara Plaza, seorang pengusaha jeli memanfaatkannya sebagai lahan usaha. Di pusat perbelanjaan yang modern itu, sejak tahun lalu dibuka diskotek dangdut dengan nama "Ria Dangdut" (yang lebih dikenal anak muda Medan dengan sebutan "Er De"). Memang rada aneh kalau sebuah diskotek diisi dengan hanya musik dangdut. Tapi inilah kenyataannya, dengan hanya mengeluarkan uang Rp 1.000, pengunjung boleh bergoyang -- di atas lantai dansa seluas 30 X 40 meter -- sampai loyo. Kelompok pemusik dan penyanyi dangdut yang tiap malam mengisi acara di sana siap memanaskan pinggul mereka dari pukul 8 sampai 12 malam -- malam Minggu sampai pukul 2 dinihari. "Buat apa risi dengan disko yang diiringi dangdut. Yang penting mereka terhibur," kata Qomar, manajer RD, kepada Munawar Chalil dari TEMPO. Letak Aksara Plaza yang agak di pinggiran kota itu mempunyai andil mengalirnya pengunjung sebanyak 300 sampai 400 orang setiap malamnya. Meskipun RD menempati gedung yang mewah serta dilengkapi dengan interior dan sound system yang canggih, itu tidak menghalangi penggemar dangdut yang hanya berkaus oblong dan bersandal jepit melepaskan kekakuan ototnya. Selain dari tiket masuk, si pemilik RD juga mengutip dari minuman yang dijual di sana. Melihat sukses RD, Chris Ramana, 43 tahun, koordinator RD, sudah punya niat membuat tempat hiburan Roller Skate dangdut di gedung yang sama. Lain lagi dengan Tonny Kasmiri, ia memilih menggeluti dunia dangdut lewat jalur showbiz. Sejak 1984 ia sudah memutuskan untuk menjadi pengusaha showbiz di Bandung dan mendirikan Primas Enterprise. Selain karena bakat dan hobi, ia juga mempunyai pengalaman selama lima tahun bergabung dengan Eddy Sud mengelola Artis Safari di Jakarta. Ia pun yang memperkenalkan Itje Trisnawati kepada bos Artis Safari itu. Untuk menunjang usahanya tadi, ia lebih dahulu membentuk sebuah grup dangdut yang diberi nama Primas. Grup inilah yang akan selalu ia pakai untuk mengiringi penyanyi-penyanyi dalam kegiatan show. "Saya sebetulnya tidak mengkhususkan diri untuk pertunjukan dangdut saja, tapi bisa rock atau pop," kata Tonny kepada wartawan TEMPO Achmad Novian. Pementasan yang dia kelola memang merupakan order dari promotor daerah. Dari sinilah kemudian disepakati pertunjukan dengan harga paket berapa yang diinginkan. "Ini penting, sebab saya bisa menerima order dengan paket yang berbeda-beda dan dengan harga yang berbeda pula," kata Tonny. Biasanya tarif yang dia tawarkan adalah Rp 14 juta sampai Rp 15 juta. Ini sudah termasuk penyediaan alat, sound system, dan lighting. Separuh dari nilai kontrak ini harus dibayarkan saat penandatanganan. Nilai paket bisa berubah jika materi penyanyi yang diinginkan juga berbeda. Dalam kategori Tonny, ada tiga kelas penyanyi yang biasanya ia tampilkan. Pertama, kelas yang paling atas. Mereka ini misalnya Ona Sutera, Meggy Z., Evy Tamala, dan Jhony Iskandar. Rata-rata penyanyi dengan kategori ini menerima bayaran Rp 3 sampai 4 juta untuk empat lagu yang mereka bawakan. Kelas yang agak lebih rendah adalah untuk penyanyi semacam Mercy Marsita dan Euis Faradila yang dihargai Rp 500 ribu. " Untuk penyanyi kategori ini, meskipun mereka sudah terkenal seperti Mercy Marsita, mereka belum menelurkan album yang menjadi hits," kata Tonny. Nah, kelas yang paling bawah adalah penyanyi-penyanyi baru atau yang belum masuk dunia rekaman. Meskipun bayarannya paling kecil Rp 75 ribu, "Mereka yang kerja lebih berat," kata Tonny. Karena penyanyi papan bawah ini yang menjadi penyanyi pembuka acara dan lagu yang dibawakan juga lebih banyak. Tonny bisa saja menggaet grup pengiring dari luar, kalau memang diminta oleh pemesan. Untuk ini ada ongkos tambahan guna membayar sewa grup pengiring. Selama ini Tonny biasanya memakai dua grup yang sudah punya nama seperti OM Irama Gangga dan OM King Cobra dengan bayaran Rp 2 juta. "Pekerja dangdut" mempunyai rentang atmosfer yang luas. Mulai dari dunia rekaman, dunia panggung, khitanan, perkawinan, sampai dengan menghibur di lorong-lorong pelacuran. Sebuah grup dangdut ataupun penyanyi dangdut kebanyakan memulai titian nasibnya di tempat-tempat yang paling bawah. Yakni menjalani kehidupan musik dari acara perkawinan ke acara perkawinan. Banyak yang masih dan sedang menapak jenjang itu. Misalnya saja IKKI Grup pimpinan H. Zainab Hamed. Grup yang berdiri tahun 1957 ini memulai dan sampai sekarang masih menapaki dari suatu acara perkawinan ke acara perkawinan. Untuk setiap pementasannya, IKKI masih mematok tarif yang cukup murah. Untuk sebuah acara perkawinan misalnya, mereka menarik bayaran mulai dari Rp 200.000. Uang ini masih lagi harus dibagi untuk 14 personel dan untuk kas. Namun, frekuensi pementasannya cukup tinggi. "Alhamdulillah bisa jalan terus," kata Zainab kepada Aina Rumiyati dari TEMPO. Kini, mereka bisa berharap lebih menaikkan "kelas" mereka, dengan munculnya nama Bariah Hamed di festival musik dangdut baru-baru ini. Anak H. Zainab ini beruntung dipercaya membawakan lagu karya Muchtar B. yang menjuarai festival tersebut. Tentu saja Zainab berharap keberuntungan anaknya itu menambah aset grup mereka. Di Jawa Timur ada "jalur dangdut" Gresik Lamongan-Tuban-Bojonegoro. Ini merupakan lahan yang basah bagi pekerja dangdut. Karenanya, kehidupan bermain musik dari satu panggung ke panggung yang lain, dari satu pesta ke pesta, dijalani juga di sini. "Di Jawa Timur sini, Mas, dangdut sudah mengakar sekali," kata Roni Wijaya, pimpinan Grup Mandiri. Melihat pasar yang menggiurkan tadi Roni memilih keluar dari grup Riskos dan kemudian mendirikan grupnya sendiri di tahun 1-985 dan diberi nama Mandiri. Grup yang terdiri dari 10 pemusik dan 5 penyanyi ini memasang tarif Rp 1 sampai 1,5 juta sekali manggung. Tarif tadi sudah mencakup biaya sewa alat berkekuatan 10 ribu watt termasuk lampu. Dari penghasilan yang mereka terima setiap kali naik pentas, setiap pemain musik rata-rata menerima bayaran Rp 30 ribu. "Lumayan untuk membantu teman-teman yang nganggur," kata Toni kepada Achmad Novian dari TEMPO. Sebagai grup dangdut yang tenar, mereka menerima pesanan rata-rata 10-20 kali pentas sebulan. Selain Mandiri, grup dangdut Moneta juga meraup sukses di Jawa Timur. Hanya saja, grup yang dikomando oleh Widodo ini memilih jalur selatan sebagai ladang mereka. Kota-kota seperti Jember, Banyuwangi, Malang, dan Madiun kerap kali digoyang grup ini. Dengan memasang tarif Rp 1 juta sekali pentas, mereka tidak kekurangan pemesan. Antara lain karena mereka punya Surya Rachman, Anis Fitria, Asnan Wijaya, dan Zen Arisandi, deretan penyanyi kebanggaan masyarakat Jawa Timur. Tapi inilah stereotipe salah satu sisi dunia dangdut yang sering digambarkan dalam film Indonesia: pelacuran, mabuk-mabukan, berkelahi, dan goyang. Dan di Jarak, Surabaya, sebuah kompleks pelacuran kelas bawah -- yang bersebelahan dengan kompleks pelacuran Dolly yang terkenal itu -- kehidupan dan desah dangdut terdengar di lorong-lorong rumah penghibur itu. Yang mendendangkannya, enam sampai dua belas pemuda yang membentuk sebuah kelompok pengamen dangdut. Tidak hanya satu-dua, di sini ada 10 grup dangdut "resmi" kompleks Jarak yang tergabung dalam Arset -- Artis Seniman Dangdut Surabaya Selatan. Kesepuluh grup inilah yang menyusuri lorong-lorong kompleks tersebut untuk mencari orang yang berminat menanggap mereka. Untuk memudahkan bergerak dari satu pemesan ke pemesan yang lain, mereka meletakkan peralatan elektrik yang digunakan, seperti pengeras suara dan aki, di atas becak. Penanggap biasanya adalah pengunjung kompleks yang ingin memamerkan keroyalannya atau karena ingin diiringi musik dangdut live di saat bercanda dengan teman kencannya. Dengan membayar Rp 6.000, si penanggap akan dihibur selama satu jam oleh grup tersebut. Hasilnya, "Lumayan buat hidup," kata Achmad, 40 tahun, pimpinan grup Delima. Kata "lumayan" menurut Ketua Arset ini, antara lain, ia bisa menghidupi keluarganya dengan layak, salah satu anaknya dibiayai sampai meraih gelar insinyur. Rustam F. Mandayun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini