Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gemerincing Gobang di Kantor KPU

Dana gelap KPU mengalir ke mana-mana. Disinyalir nama-nama beken di parlemen dan Badan Pemeriksa Keuangan ikut kecipratan.

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN wartawan di lobi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu malam pekan lalu, serentak bangkit. Mereka yang sempat tertidur pun ikut bergegas. Dari arah tangga terdengar langkah kaki orang yang ditunggu-tunggu: Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Diperiksa lebih dari 10 jam, ia tampak lunglai. Uluk salam dari para kuli tinta tak dibalas. Ia tak lagi bisa tersenyum. Suaranya pelan. Hamdani mengaku diperiksa KPK tentang pengumpulan dan penggunaan dana taktis sebesar Rp 20 miliar. Di hadapan penyidik, ia "bernyanyi". Katanya, "Masing-masing anggota KPU menerima US$ 150 ribu (sekitar Rp 1,008 miliar)."

Hamdani Amin adalah salah satu tersangka kasus korupsi KPU. Sebelumnya, anggota KPU Mulyana W. Kusumah sudah lebih dulu menyandang status tersangka karena tertangkap tangan menyuap auditor BPK, Khairiansyah Salman. Selain itu, ditangkap pula Sussongko Suhardjo, Pelaksana Harian Sekjen KPU, karena kasus yang sama.

Hamdani dituding menerima uang dari perusahaan rekanan KPU. Dana itu disebutnya sebagai dana taktis. Hamdani dituduh melanggar Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji yang diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Pelanggar pasal itu diancam penjara maksimal lima tahun atau denda maksimal Rp 250 juta. Jika dalam mengumpulkan dana taktis itu Hamdani melakukan pemerasan, dia bisa dikenai lagi Pasal 12a dan Pasal 12e UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 20 Tahun 2001. Hukumannya penjara maksimal seumur hidup dan denda Rp 1 miliar.

* * *

KEPADA KPK Hamdani mengungkapkan, dana siluman itu berasal dari perusahaan rekanan KPU. Sebuah sumber menyatakan, sekitar 10 perusahaan ikut menyetor. Seluruh dana lalu disimpan dalam tiga brankas, satu di ruang kerja Hamdani, dua di ruang kerja anak buahnya. Ketiga brankas itu telah diangkut KPK ketika dilakukan penggeledahan beberapa waktu lalu.

Salah satu rekanan KPU dalam tender surat suara mengaku tidak percaya kalau jumlah dana terima kasih cuma Rp 20 miliar. Dalam perhitungannya, nilainya bisa lebih. Soalnya, menurut dia, setiap tagihan proyek yang dilakukan rekanan dipotong sekitar 15 persen. Ada pula potongan pajak ditahan 10 persen, jasa 6 persen, dan PPh 1,5 persen. Total jenderal, uang yang disunat bisa mencapai 30 persen. Agar dirasa tidak membebani, potongan itu dibagi rata dari keuntungan anggota konsorsium.

Kecurigaan serupa disampaikan Wakil Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean. Menurut dia, angka Rp 20 miliar terlalu kecil bila dibandingkan indikasi penyimpangan temuan BPK. "Kami curiga ada dana yang lain," ujarnya.

Menurut Hamdani, uang terima kasih itu dikumpulkan atas perintah atasan. "Perintah tersebut dikeluarkan oleh Sekjen KPU," kata Abidin, pengacara Hamdani. Keterangan serupa disampaikan Gunawan Utomo, pengacara Sussongko, yang menyatakan Sekjen KPU-lah yang menugaskan Kepala Biro menerima uang dari rekanan.

Dinyatakan Abidin, meski tersirat lalu lintas dana terima kasih ini bagian dari permainan kantor Sekjen KPU, tak berarti anggota KPU tak tahu. Abidin menyatakan penerimaan dan pengeluaran dana taktis diketahui semua unsur rapat pleno KPU. "Itu keputusan rapat pleno yang dihadiri Ketua, Wakil Ketua, tujuh anggota, Sekjen, dan Kepala Biro," katanya.

* * *

KE mana saja dana gelap itu mengalir? Hamdani berkali-kali mengakui uang itu dinikmati semua anggota KPU, bahkan hingga pegawai terendah. Masing-masing anggota mendapat jatah sesuai dengan porsi jabatan dan tanggung jawabnya. Anggota KPU, misalnya, menerima US$ 105 ribu. Ketua dan Wakil Ketua menerima lebih besar. "Semuanya: dari pimpinan sampai pegawai biasa," kata Hamdani.

Dari catatan keuangan yang disusun Hamdani yang kini telah disita KPK sebagai barang bukti terlihat bahwa dana taktis juga mengalir deras keluar kantor KPU. "Dana itu digunakan untuk koordinasi kepentingan KPU," kata Hamdani. Dia enggan memerinci apa yang disebutnya "koordinasi" itu. Tumpak juga enggan menyebutkan ke mana saja dana itu mampir, tapi dia memastikan duit batil itu dialirkan tunai alias tanpa lewat transfer bank.

Seorang pejabat KPU menyebutkan, catatan harian Hamdani merekam lengkap pengeluaran dana taktis itu. Kepada Tempo, antara lain, ia menunjukkan dana taktis sempat dikirim ke anggota DPR periode 1999-2004 dan BPK sendiri. Informasi ini sesuai dengan pengakuan Hamdani kepada wartawan seusai pemeriksaan Jumat pekan lalu. Lewat Abidin, pengacaranya, Hamdani menyatakan duit yang dikucurkan ke BPK berjumlah Rp 520 juta dan dikirim dalam empat tahap.

Uang itu diserahkan dua kali melalui Sekretariat Jenderal KPU dan sisanya oleh seseorang di Biro Keuangan. "Dia tidak menyebut untuk apa uang itu. Tidak diperinci," ujarnya. Sedangkan untuk anggota DPR, menurut dia, nilainya hanya sekitar Rp 120 juta.

Sumber Tempo mengungkapkan, penggelontoran uang ke DPR terjadi selama Agustus-September 2004. Di sana tercatat pengeluaran untuk anggota Komisi II DPR terjadi dalam dua kali transaksi. Selain itu, tercantum juga transaksi untuk sejumlah pimpinan Komisi II DPR dan pimpinan atau anggota Panitia Anggaran; juga dalam dua kali penyetoran.

Ada beberapa orang yang bisa menjadi rujukan berdasarkan informasi itu. Agustin Teras Narang dan Abdurrahan Gaffar Rachman, misalnya, adalah pimpinan Komisi II DPR kala itu. Adapun pimpinan Komisi Anggaran, antara lain, Abdullah Zaini (kini Wakil Ketua BPK). Panitia anggaran yang berasal dari Komisi II di antaranya adalah Sayuti Rahawarin.

Beberapa anggota parlemen masa itu yang dimintai konfirmasi menyatakan tak pernah menerima dana apa pun selama bekerja bersama KPU. Sayuti Rahwarin, misalnya, menyatakan bahwa secara pribadi ia tak mungkin menerima dana dari KPU karena Komisi II-lah yang meminta BPK melakukan audit investigasi. Sebagai anggota Panitia Anggaran, saat itu dia menolak permohonan anggaran tambahan KPU. "Kalau saya terima duitnya, buat apa kami di Komisi II merekomendasikan audit investigasi?" kata Sayuti. Ia mensinyalir isu ini sengaja dilontarkan orang-orang KPU untuk mencari kambing hitam.

Bantahan serupa muncul dari mantan Ketua Komisi II, Agustin Teras Narang, dan Wakil Ketua Komisi, Abdurrahan Gaffar. "Dari awal saya katakan, kalau ada anggota DPR yang menerima uang dari dana taktis, buktikan saja," kata Narang kepada Yohanes Adi Wiyanto dari Tempo.

Hamdan Zoelva, juga mantan anggota Komisi II, mengisahkan hubungan kerja lembaganya dengan KPU pada masa itu lumayan tegang. Komisi II melakukan pengawasan ketat dan sering melontarkan kritik atas kinerja KPU. Apalagi, kerja KPU mempersiapkan Pemilu 2004 itu sempat lamban. "Rapat kerja dengan mereka selalu tegang dan alot," katanya. Hamdan mengaku tak pernah didekati orang KPU. "Saya pribadi tidak pernah, tapi entah yang lain," katanya.

Mantan Ketua Panitia Anggaran, Abdullah Zaini, menjamin tak menerima sepeser pun cipratan dana taktis, termasuk ketika Panitia Anggaran menyetujui penambahan anggaran KPU sebesar Rp 500 miliar. "Apakah yang namanya uang terima kasih atau apa, itu tidak ada," ujarnya, tandas. Menurut dia, Panitia Anggaran menyetujui penambahan anggaran karena sudah dibicarakan di Komisi II. "Kami di Panitia tinggal meneliti sedikit-sedikit saja," katanya.

* * *

TAK mudah membuktikan duit haram yang berpindah dari dompet ke dompet alias tanpa transfer bank. Sumber Tempo di KPU mengatakan, duit yang disebarkan selalu dalam amplop. Isi setiap amplop sama. Khusus buat pimpinan jumlahnya sedikit lebih besar. Tentu saja, tak ada tanda terima apa pun sebagai bukti transaksi. "Amplop-amplop biasanya diserahkan setiap rapat dengar pendapat," katanya.

Selain ke Senayan, dana batil juga bermuara ke BPK. Sumber Tempo menunjukkan adanya pengiriman dana Rp 100 juta pada 25 Oktober 2004 untuk auditor BPK. Lalu, pada 28 Oktober 2004 ada pengeluaran Rp 350 juta lagi untuk auditor. Uang itu diberikan setelah BPK menyerahkan laporan audit operasional pemilihan anggota legislatif pada 27 Oktober 2004. Dalam catatan itu disebutkan pula dua nama auditor BPK yang menjadi target suap, namun yang bersangkutan menolak.

Selama proses audit KPU, BPK memang mengerahkan 15 auditor yang dipimpin Harijanto (Ketua Tim Audit Investigasi) dan Djapiten Nainggolan (Kepala Biro Hukum dan Perundang-undangan BPK) sebagai auditor pelaksana. Di bawah mereka, ada lima tim yang masing-masing terdiri dari tiga orang. Mereka melakukan audit investigasi atas pengadaan kotak suara, surat suara, tinta sidik jari, teknologi informasi, dan pengadaan amplop/sampul rekapitulasi. Delapan tim lainnya melakukan audit umum pemilihan presiden. Setiap subtim beranggota tiga orang: satu koordinator dan dua anggota.

Sumber Tempo menyebutkan, KPU menyediakan dana untuk tiap auditor BPK. Anggota tim mendapat Rp 1,5 juta per minggu dan koordinator mengantongi Rp 2 juta. Ini berlangsung selama enam bulan terhitung sejak proses audit dilakukan pada Juni 2004. Tak hanya itu, selama proses audit investigasi (Januari-Maret 2005), serta tahap awal audit umum pemilihan presiden tahap I dan II, dana serupa juga disediakan, tapi informasi ini dibantah BPK. "Nggaklah. Masak begitu," kata Djapiten Nainggolan. Dia juga menyangkal didekati orang KPU selama audit investigasi berlangsung.

Masih ada lagi. Sumber Tempo juga menunjukkan catatan adanya aliran dana ke staf Direktorat Anggaran, Departemen Keuangan, pada Oktober 2004. Namun, di sana tak tercantum tanggal dan penerima dana sebesar US$ 78.484 (sekitar Rp 700 juta) itu. "Dana itu dikeluarkan agar KPU dapat tambahan anggaran Rp 500 miliar," kata sumber itu.

Karena dana taktis memercik ke mana-mana, ada saja yang ingin selamat. Di depan parlemen, pekan lalu, Tumpak menyatakan ada seorang dari luar KPU yang mengembalikan uang sebesar US$ 79 ribu plus Rp 342 juta setelah Hamdani "bernyanyi". "Dia mengaku baru tahu kalau duit itu berasal dari dana taktis," kata Tumpak. Orang tersebut mendapat uang itu pada Agustus 2004. Selain itu, Wakil Kepala Biro Keuangan M. Dentjik juga ikut mengembalikan dana taktis sebesar Rp 122 juta.

* * *

SEDARI pagi, tak lama setelah Mulyana ditangkap, semua anggota KPU membantah pernah main api dengan uang Komisi, termasuk dana taktis.

Anggota KPU Ramlan Surbakti dan mantan anggota KPU yang kini Menteri Kehakiman dan HAM Hamid Awaludin menyatakan tak pernah menerima duit haram itu, tapi ia mengaku pernah menerima dana di luar gaji berupa honor kelompok kerja.

"Semua itu ditandatangani serta ada pertanggungjawabannya," katanya. Lembaran yang ia teken itu juga ditandatangani Kepala Biro Keuangan. Sedangkan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin berkali-kali menyatakan tidak mengetahui keberadaan dana taktis. "Saya malah tahunya dari koran," kata dia.

Jumat, pekan lalu, Hamdani Amin menegaskan bahwa honorarium di luar gaji yang diterima anggota KPU memang diambil dari dana taktis. "Saya kira itu termasuk," kata Hamdani. Ia menguraikan, dana rekanan yang diberikan kepada anggota dan pimpinan KPU itu berbentuk uang kehormatan, kelompok kerja, insentif, dan honorarium. Uang itu diberikan sepanjang Januari-September 2004 dalam empat tahap. "Alat buktinya ada pada penyidik," ujarnya kepada Edy Can dari Tempo. Uang diberikan dalam mata uang rupiah dan dolar Amerika Serikat. Selain anggota KPU, Sekretaris Jenderal dan wakilnya turut menerima dana itu. "Jumlah lebih kecil dari anggota, sekitar US$ 75 ribu."

Sumber Tempo mengungkapkan, Hamdani menyerahkan dana itu secara bertahap dan tak semuanya kontan. Ada yang diberikan berbentuk telepon seluler atau parsel. Ada pula yang dikeluarkan untuk perjalanan anggota KPU ke luar negeri hingga uang lelah ini-itu. Juga, untuk acara halal bihalal, bonus Lebaran, dan uang lembur.

Pos pengeluaran yang terakhir ini yang bikin puyeng karyawan kecil KPU. Soalnya, menurut Wakil Kepala Biro Perencanaan Sekjen Komisi, Edi Suhaedi, ada sekitar 367 orang yang menerima pembagian dana itu dalam bentuk uang lembur. Nilainya mencapai Rp 1,2 miliar.

Salah satu staf golongan III mengaku menerima total uang lemburnya sebesar Rp 2.750.000. "Buat saya yang bergaji Rp 1 juta, duit itu sangat membantu. Saya tidak tahu kalau itu dari dana taktis. Ia mengaku tiap kali disodori amplop selalu meneken tanda terima. Kini ia bingung, "Jumlahnya terlalu besar buat kami. Kalau dipaksa untuk dikembalikan, kami memilih disandera saja…."

Tulus Wijanarko, Widiarsi Agustina, Mawar Kusuma, Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus