Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kontroversi Gedung Arsip (1)

SETELAH muncul beberapa pemberitaan di media massa, permasalahan Gedung Arsip di Jalan Gadjah Mada No. 111 seolah-olah merupakan masalah rumit. Padahal, apabila kita kembali kepada duduk persoalan yang sebenarnya, permasalahan itu sangat sederhana. Yang membawa kepada kondisi yang rumit barangkali arogansi pihak-pihak yang telah merasa berjasa dan merasa bisa dalam pengelolaan gedung tersebut.

Sebenarnya, masalah muncul ketika kontrak pengelolaan oleh Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada berakhir pada 31 November 2001, dan Yayasan tidak mau  mengembalikannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Seperti diketahui dan harus diakui oleh pihak mana pun, termasuk Yayasan, gedung tersebut adalah barang/kekayaan milik negara di bawah penguasaan ANRI. Hal ini telah berlangsung lama, karena memang dulu merupakan kantor ANRI dan merupakan salah satu tempat menyimpan arsip.

Permulaan keberadaan Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada sebenarnya merupakan co-insiden. Pada waktu Indonesia ulang tahun emas, pemerintah Belanda memberi dana bantuan untuk merenovasi gedung-gedung tua yang bernilai sejarah tinggi. Pemerintah  Indonesia waktu itu menolak pemberian tersebut. (Perlu diketahui bahwa dalam masalah pengakuan kemerdekaan bangsa Indonesia, pemerintah Belanda masih berbeda pendapat dengan bangsa Indonesia. Sehingga, apabila pemberian hadiah itudikaitkan dengan status kemerdekaan bangsa Indonesia, wajarlah apabila pemerintah Indonesia pada waktu itu menolak pemberian tersebut).

Karena itu, masyarakat yang peduli pada gedung bersejarah mengupayakan pemecahan masalah dengan mendirikan Stichting Comite Cadeau Indonesia (Yayasan Komite Hadiah Indonesia), yang fungsinya menjembatani. Setelah dilakukan renovasi oleh Stichting Comite Cadeau Indonesia (Yayasan Komite Hadiah Indonesia), Gedung Arsip Gadjah Mada diserahkan kembali kepada ANRI.

Untuk melakukan pengelolaan gedung tersebut, maka dilakukanlah kerja sama dengan Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada. Untuk biaya pengelolaan gedung selama tiga tahun, Yayasan masih mendapatkan biaya dari Stichting Comite Cadeau Indonesia. Jadi, praktis selama mengelola gedung hingga 2001, Yayasan hanya mengelola dana pemberian dari Stichting Comite Cadeau Indonesia.

Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada (yang nama yayasannya sempat protes oleh ANRI) baru muncul pada 1997 dengan pertimbangan seperti yang dikemukakan di atas. Sedangkan Gedung Arsip di Jalan Gadjah Mada No. 111 Jakarta Pusat, sejak kemerdekaan sampai sekarang adalah barang/aset milik negara. Sebagai aset yang terkandung di dalamnya tidak hanya meliputi nilai sejarah dan seni, melainkan yang sangat penting adalah nilai ekonomis. Gedung yang terletak di pusat kota itu memiliki nilai ekonomis sangat tinggi bahkan sampai miliaran rupiah.

Rasanya terlalu naif apabila keberadaan gedung sebagai cagar budaya didramatisasi sehingga membuat orang tidak berpikir tentang nilai ekonomisnya. Padahal, secara ekonomis, gedung dan lingkungannya tersebut memiliki nilai sangat tinggi dan merupakan salah satu sumber pendapatan bagi negara. Barangkali itu jugalah yang menyebabkan pihak Yayasan begitu tidak mau meninggalkan gedung dan melepaskan penguasaan untuk mengelolanya. Apakah semata-mata hanya karena gedung adalah cagar budaya?

Dalam berbagai kesempatan pembahasan perihal pengembalian pengelolaan gedung tersebut dan berkali-kali pula diingatkan oleh jajaran Arsip Nasional, Tamalia, Direktur Eksekutif Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada, selalu mengemukakan bahwa dia tidak tahu tentang adanya peraturan tentang penghasilan negara bukan pajak (PNBP). Dengan alasan yang dibuat-buat berusaha membentuk opini di masyarakat bahwa seolah-olah dalam pengelolaan aset negara yang dilakukan oleh Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada itu tidak perlu memenuhi kewajibannya kepada pemerintah.

Yang lebih menyesatkan adalah Tamalia selalu memberitakan penghargaan yang diberikan oleh UNESCO Heritage Award Asia Pacific seolah-olah kepada Yayasan Gedung Arsip Gadjah Mada. Padahal, itu penghargaan yang diberikan kepada pihak yang melakukan pemugaran karena dalam proses pemugarannya memenuhi persyaratan pemugaran arkeologis yang ditetapkan oleh UNESCO Heritage Award Asia Pacific. Jadi, bukan kepada yayasan yang melakukan pengelolaan terhadap gedung oleh yayasan yang katanya baik sebagaimana sering diberitakan itu.

Perlu ditekankan, pihak yang melakukan pemugaran dan yayasan yang mengelola gedung adalah dua pihak yang berbeda. Sehingga, keliru sekali kalau Yayasan menganggap dirinya telah menerima penghargaan atas pengelolaan Gedung Arsip Gadjah Mada.

Bagaimana mungkin suatu yayasan dikatakan profesional kalau dalam pengelolaannya tidak bisa memberikan pemasukan bagi negara dalam bentuk PNBP, padahal selama pengelolaannya sering menyelenggarakan kegiatan yang tidak semata-mata bersifat sosial? Apakah masih dikatakan profesional kalau dalam pengelolaannya tidak dilakukan sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku? Apakah masih dikatakan punya niat baik jika Yayasan tidak menghormati keputusan pemerintah yang diputuskan dalam forum yang dihadiri dan disetujui oleh pengurus Yayasan pada waktu itu? Bukankah itu merupakan upaya terencana untuk mengambil alih terhadap aset milik negara oleh oknum tertentu yang mengatasnamakan masyarakat untuk kepentingannya?

Upaya pihak yayasan untuk tetap menguasai gedung tersebut dengan dalih kepedulian pada benda cagar budaya hanyalah alasan untuk memperoleh keuntungan secara ekonomis. Sebagai tokoh yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat dalam keberadaan yayasan tersebut, kalau memang tindakannya selama ini katanya membantu melestarikan gedung adalah perbuatan yang ikhlas, mengapa tidak mau menyerahkan pembeli gedung kepada negara dan bahkan tentang keberadaan gedung tersebut?

Kepada masyarakat umum, surat pembaca ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban dari orang yang peduli pada masalah arsip dan masalah aset negara bernilai miliaran rupiah. Dalih apa pun yang dikemukakan oleh pihak Yayasan, jangan sampai mengaburkan pemahaman tentang keberadaan gedung tersebut.

Dengan keberadaan gedung kembali ke tangan ANRI, maka sebagian aset negara dapat diselamatkan, benda cagar budaya dilindungi, sekaligus negara memperoleh pemasukan yang tidak kecil nilainya.

Kami cukup prihatin, masalah yang begitu sepele diseret begitu jauh sampai-sampai mengharapkan penyelesaiannya oleh Presiden. Padahal, berpijak pada data dan tata aturan yang ada, kalau tidak ada tendensi untuk meraih keuntungan bagi sekelompok orang tertentu, hal itu sangat mudah dipecahkan. Upaya Yayasan arsip membawa masalah itu kepada Presiden, ternyata ujung-ujungnya minta Yayasan ditetapkan sebagai pengelola tetap dengan keputusan presiden. Masyarakat sebangsa dan setanah air, silakan cermati, praktek-praktek sebagai warga yang berkedok atas nama masyarakat tetapi ternyata kepentingan kelompok.

RUDI ANTON SH Pegawai ANRI


Kontroversi Gedung Arsip (2)

SAYA sangat heran bahwa kepengurusan Gedung Arsip Nasional hendak diambil alih oleh pihak Arsip Nasional. Betapapun, instansi pemerintah apa pun tidak sanggup mengurus bangunan bersejarah dengan baik. Saya masih mengingat bahwa bertahun-tahun lamanya Gedung Arsip Nasional kosong dan hanya dihuni oleh kelelawar, yang keluar-masuk melalui jendela pada malam hari. Seandainya mampu, mengapa sejak dulu tidak memelihara gedung dengan baik dan memanfaatkannya dengan tepat? Mengapa sekarang sekonyong-konyong merasa mampu mengurus? Mengapa Arsip Nasional sendiri tidak diurusi sebelum mau menambah dan mengambil alih pekerjaan lain?

Lebih aneh lagi, Departemen Keuangan meminta uang dari pendapatan pengurusan Gedung Arsip Nasional. Apakah mereka tidak sadar bahwa mengurus bangunan kuno, memelihara barang antik yang dipamerkan dan melengkapi koleksi membutuhkan banyak biaya? Seberapa besar sumbangan pemerintah pada pemeliharaan Gedung Arsip Nasional sampai sekarang ini? Kalaupun pemerintah tidak mensubsidi kegiatan budaya, apa salahnya seorang mencari dana dan menggunakannya dengan tepat?

Begitu banyak bangunan bersejarah yang diurus oleh pemerintah rusak atau bahkan dibongkar. Selain bangunan yang sudah disebut dalam Tempo edisi 2-8 Mei 2005, perlu ditambahkan juga Gudang VOC di sebelah timur, Jalan Tongkol, Kota. Gedung dan tembok kota yang asli dari abad ke-18 itu, kini menjadi tambang batu bata dan kayu kuno oleh siapa saja yang mau. Mengapa tidak mengurus hal yang tidak berjalan dengan baik daripada mengganggu hal yang berjalan dengan baik?

Saya sangat mengharapkan bahwa instansi-instansi pemerintah tidak hanya tidak mengganggu kepengurusan profesional Gedung Arsip Nasional, melainkan memberi juga subsidi yang berarti. Terima kasih.

A. HEUKEN SJ Jalan Moh. Yamin, Jakarta


Pilkada (1)

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) secara langsung di negeri ini akan segera berlangsung. Peristiwa politik ini setidaknya merujuk kepada dua hal penting. Pertama, pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung pada Juni 2004. Kedua, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).

UU Pemda Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 memuat prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Pemerintah telah menerima surat pendaftaran kepengurusan partai politik yang baru saja melakukan pergantian kepengurusan. Namun, terhadap sejumlah parpol yang mengalami konflik internal seusai kongres atau muktamar, bisa saja ini mempersulit pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan mengganggu kerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

Memang, persoalan pencalonan itu lebih merupakan soal internal parpol. Bila dalam pencalonan di tingkat daerah terdapat permasalahan, maka penentuan siapa yang diajukan sebagai calon dikembalikan kepada dokumen atau AD/ART parpol yang

bersangkutan. Untuk itu, kalau ada persoalan, harus sepenuhnya harus dikembalikan ke parpol yang bersangkutan.

Kalau ingin demokratis, karena masalah pilkada bersifat lokal, maka parpol di daerah itu yang harus berperan, bukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) parpol. Dalam UU sudah jelas, pengajuan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan ketua dan sekretaris, atau sebutan lain dari pengurus parpol, di tingkat daerah. Kalau mengacu kepada ketentuan seperti itu, maka kewenangan sepenuhnya dalam pencalonan ada di tingkat daerah, bukan dari DPP dan peristiwa politik ini sekaligus menegaskan, masyarakat menjadi arah penentu kemajuan atau kemunduran daerahnya.

Jika calon tidak menjalankan amanat sesuai kontrak sosial saat pemilu, maka rakyat berhak pula melakukan tuntutan hukum. Dengan demikian, pilkada bukan sekadar ajang pesta demokrasi di tingkat lokal, atau momen untuk sirkulasi kepemimpinan lokal, tetapi juga sarana mewujudkan demokrasi dan perwujudan kedaulatan rakyat.

Untuk itu, menurut saya, KPUD harus bersikap tegas dalam menyikapi proses pencalonan, sehingga tidak menimbulkan permasalahan. Jika, pencalonan itu sudah diajukan ketua dan sekretaris, maka itu sudah memenuhi aspek legal formal. Kalaupun ada instruksi dari DPP untuk mencabut atau mengganti calon yang diajukan, itu sepenuhnya kewenangan parpol dan sebaiknya KPUD tidak mencampuri. Artinya, KPUD hanya memegang calon yang diajukan ketua dan sekretaris.

FACHRI RIFALDI Jalan Lolongok, Bogor


Pilkada (2)

PEMILIHAN kepala daerah di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota merupakan proses demokrasi dengan partisipasi masyarakat secara luas. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan kemampuan institusi politik dalam menyelesaikan persoalan pilkada pada setiap tahap pelaksanaannya.

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai institusi penyelenggara pilkada harus benar-benar memahami tahap-tahap penyelenggaraan dari  perhelatan akbar tersebut. Dengan demikian, dapat diantisipasi persoalan yang akan muncul pada setiap tahapnya. Soal surat suara, tinta, jumlah pemilih, penetapan daftar calon kepala daerah, dan anggaran merupakan masalah yang amat krusial.

Keberhasilan melaksanakan pilkada dengan terpilihnya pemimpin yang diharapkan oleh masyarakat hendaknya tidak menyisakan bom waktu masalah dalam bentuk adanya penyalahgunaan uang negara oleh anggota KPUD. Godaan konsumerisme yang begitu kuat dapat membuat anggota KPUD menyalahgunakan uang negara untuk memperkaya diri sendiri sebagaimana yang sekarang terjadi pada anggota KPU pusat.

Ironis sekali, setelah presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif terpilih sebagai buah dari kerja KPU, tiba-tiba kita dikejutkan dengan berita penyalahgunaan uang negara yang dilakukan oleh anggota KPU. Bahkan, menurut keterangan Mulyana W. Kusumah, penyalahgunaan uang negara tersebut dilakukan oleh institusi KPU, bukan lagi oleh oknum-oknum anggota KPU dan pengurus lainnya.

Pilkada memang diharapkan menghasilkan pemimpin yang punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi demi kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, proses pelaksanaannya pun diharapkan bersih dari cara-cara korup dan manipulatif. Semoga hal ini mewarnai pelaksanaan pilkada.

DONI ARDI Mahasiswa FISIP Universitas Nasional


Jangan Ganggu Tim Pencari Fakta Munir

ANGGOTA Komisi Hukum DPR RI dari FPAN, Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman, berinisiatif akan memanggil Nurhadi Djazuli, mantan Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara (BIN) ke DPR dan akan menegur Presiden sebagai atasan Nurhadi karena dianggapnya tidak mampu mendorong Nurhadi untuk bertemu dengan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir.

Perlu diingat bahwa upaya mendorong segera terungkapnya misteri kematian Munir merupakan keinginan dan harapan semua orang, bukan keinginan anggota DPR saja. Jadi, menyikapi proses pengungkapan kasus Munir yang terkesan lamban itu harusnya dengan kepala dingin dan realistis saja, tidak bisa disikapi dengan emosional, reaktif, dan grasa-grusu. Kalau salah kebijakan, bisa membuyarkan semua usaha keras aparat keamanan selama ini, bahkan dapat merusak tatanan, aturan, dan mekanisme yang sedang dibangun oleh TPF dan BIN.

Saya khawatir kalau DPR memaksakan kehendaknya untuk ikut memeriksa Nurhadi ataupun bersikap negatif terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal kasus Munir, bukannya dapat membantu menyelesaikan masalah, tetapi justru akan membuat masalah baru. Sebab, masalah akan semakin bias dan tidak fokus.

Kita tidak bisa memungkiri bahwa banyak pihak, terutama ormas, LSM dan kelompok tertentu yang menjadi lawan politik pemerintah, bisa memanfaatkan kasus Munir ini sebagai ”senjata” untuk menjelek-jelekkan, menyudutkan dan menurunkan kredibilitas pemerintah yang sedang berkuasa.

Kalau kondisi itu yang terjadi, jangan harap kasus Munir akan terungkap. Karenanya, anggota DPR harus lebih hati-hati menyikapi masalah ini. Jangan terjebak oleh opini, isu, dan propaganda menyesatkan dengan melangkahi tugas dan wewenang TPF.

Biarkan dan percayakan dulu proses pendalaman kasus itu dilakukan TPF. Jangan ganggu dan remehkan kerja Tim Pencari Fakta itu.

YUDIMAN SUBARDONO Wisma BNI 46, Jakarta


Ralat

  • PADA majalah Tempo edisi 2-8 Mei 2005 rubrik Teknologi Informasi halaman 47, tertulis, ”kecepatan pengiriman data saat ponsel dalam keadaan tak bergerak mestilah mendekati 2 megabyte per detik atau sekitar 50 kali kecepatan internet memakai telepon rumah. Dengan kecepatan ini, data dari tiga keping film VCD bisa dikirim dalam kecepatan sekitar sedetik.”

    Seharusnya, ”kecepatan pengiriman data saat ponsel dalam keadaan tak bergerak mestilah mendekati 2 megabit per detik atau sekitar 50 kali kecepatan internet memakai telepon rumah. Dengan kecepatan ini, data dari dua disket satu keping film VCD bisa dikirim dalam kecepatan sekitar satu jam.”

  • Dalam Tempo edisi 2-8 Mei 2005, rubrik Selingan (Gandrung Bocah di Tanah Wisata), tertulis: ”Mario Mannara dituntut oleh jaksa penuntut umum 5 tahun penjara. Mannara masih ’beruntung’ karena hanya diganjar hukuman 10 bulan potong masa tahanan.” Seharusnya, Mario Mannara dituntut oleh jaksa penuntut umum 15 bulan penjara. —Red.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus