Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA amisnya sudah tercium sejak awal Maret lalu. Saat itu, tim audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sedang mengaudit pengadaan lima logistik pemilu legislatif 2004, di antaranya kotak suara. Hasilnya, tim menemukan ada aliran dana dari perusahaan rekanan kepada oknum pejabat Komisi Pemilihan Umumbiasa disingkat KPU. "Di antaranya dari PT Survindo Indah Prestasi (SIP)," kata anggota BPK Hasan Bisri.
Jika ditelusuri, isi laporan audit yang kemudian diserahkan ke DPR itu sungguh mencengangkan. Ditemukan sejumlah dokumen yang mengarah ke adanya dugaan kongkalikong dalam pengadaan kotak suara. Pantas jika tak mudah memperoleh dokumen itu. Apalagi, kata Hasan, pihak KPU terkesan tidak membantu sepenuh hati. Dalam sebulan pertama, tim yang terdiri dari 15 auditor itu belum mendapat data berarti. "Tapi tim kami tidak bodoh," kata dia.
Tim lalu mengubah strategi. Mereka mendatangi PT SIP, pemenang tender pengadaan kotak suara itu. Berhasil. Setumpuk kertas berupa notulensi rapat dan memo penting bisa didapat tim investigasi. Bukti tertulis itu di antaranya menyebutkan "sumbangan" yang disetor PT SIP kepada oknum KPU. Uang tanda tali asih itu digunakan untuk berbagai macam keperluan pegawai atau pejabat komisi.
Sebuah memo direksi juga jadi petunjuk. Dikirim dari direktur keuangan kepada steering committee dan Komisaris PT SIP. Surat tertanggal 3 November 2003 itu berisi permintaan dana sebesar Rp 150 juta untuk diserahkan kepada KPU. "Sebagai success fee yang akan dikurangkan dari jumlah yang telah disepakati bersama antara PT SIP dan KPU," begitu sebagian bunyi memo tersebut.
Memo lain tak kalah seru. Ditulis oleh direktur utama dan ditujukan kepada direktur keuangan. Nota bernomor MEM-01/SIP/DRU-SPM/XI/2003 itu berisi perintah penggunaan dana Rp 3 miliar untuk pembayaran down payment management fee oknum KPU. Surat tertanggal 21 November itu juga menyebut bahwa dana yang dipakai diambil dari pinjaman PT SIP kepada Kopsurindo (Koperasi Pegawai PT Surveyor Indonesia).
Tim juga menemukan berkas lain yang terasa janggal, yakni berupa laporan penggunaan dana Rp 63 juta untuk keperluan halal bihalal KPU. Permintaan dana yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keperluan pengadaan kotak suara itu dikeluarkan pada 11 Desember 2003. Belum lagi berbagai catatan PT SIP yang intinya menunjukkan adanya penyerahan sejumlah dana kepada oknum KPU.
Coretan "pengeluaran" itu isinya bisa bikin kaget. Sebab, dibikin berdasarkan rekapitulasi pengeluaran dana PT SIP dari September 2003 sampai Januari 2004. Di situ disebutkan bahwa Rp 125 juta yang dikeluarkan pada 19 November 2004 sebagai biaya khusus untuk salah satu panitia pengadaan kotak suara. Dari berkas lainnya, tim audit menemukan catatan dana Rp 70 juta yang disalurkan untuk panitia lelang.
Dalam memo lain, disebutkan juga ada pengeluaran Rp 200 juta yang ditulis dengan kata "sandi": entertainment proyek KPU. Data itu tertera dalam surat perintah pengeluaran dana dari direktur utama kepada direktur keuangan tertanggal 8 Desember 2003. Laporan audit juga menyebut ada Rp 465 juta danadicairkan empat kaliyang dipakai sebagai uang pelancar pencairan tagihan PT SIP kepada KPU. Catatan itu diperoleh tim audit dari lampiran surat PT Asgarindo kepada PT Surveyor Indonesia (PT SI). PT SIP adalah perusahaan mitra kerja sama operasi (KSO) PT Surveyor Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh koperasi pegawai perusahaan itu.
Lebih mengagetkan lagi, dalam laporan audit investigasi BPK itu juga disebutkan ada catatan pengeluaran dana untuk salah satu pengacara KPU. Biayanya Rp 50 juta, dikeluarkan pada 1 Desember 2003. Tidak dijelaskan apakah dana itu terlebih dahulu masuk "kas" ok-num KPU atau langsung ditransfer ke rekening sang penasihat hukum. Walhasil, duit seabrek-abrek itu dicipratkan ke mana-mana.
Dari sederetan memo dan catatan itu, tim audit investigasi menyimpulkan ada indikasi main mata antara PT SIP dan KPU yang bertindak sebagai panitia pengadaan kotak suara. "Ada komitmen KPU memenangkan PT SIP, maka PT SIP juga berkomitmen memberikan sejumlah dana kepada KPU", begitu di antara kesimpulan yang tertulis dalam laporan audit investigasi KPU yang diserahkan kepada DPR.
Komitmen PT SIP itumasih dalam laporan yang samaantara lain diwujudkan dalam bentuk dana untuk management fee, success fee, dan biaya entertainment. Jika ditotal jenderal, PT SIP mengeluarkan Rp 4,49 miliar untuk tanda "kasih sayang" itu. "Saya tidak tahu apakah uang itu termasuk dalam dana taktis yang disebut oleh Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin," kata Hasan Bisri.
Hasil audit investigasi itu memang tidak otomatis membuktikan bahwa dana itu benar-benar mengalir ke kantong oknum KPU. Menurut Hasan, timnya sebatas menemukan aliran uangdi luar biaya pembuatan kotak suarayang dikeluarkan PT SIP. "Bisa saja di kemudian hari ada pegawai PT SIP yang ditugasi "menghantar" uang itu mengaku tidak menyetorkan ke oknum KPU," kata dia.
Adanya uang tanda tali asih itu juga ditemukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketika melakukan penggeledahan di kantor KPU, KPK menemukan uang US$ 150 ribu (sekitar Rp 1,35 miliar). Uang itu tersimpan dalam "brankas" di ruangan Hamdani Amin. Menurut pengakuan Hamdani ketika itu, uang itu berasal dari perusahaan pemenang tender pengadaan logistik pemilu.
Hamdani kini menjadi tersangka kasus penyuapan terhadap pejabat BPK. Ia mengaku bahwa dana yang disetor oleh perusahaan pemenang tender sebanyak Rp 20 miliar. Uang itu sebagian besar sudah dibagi-bagikan ke pegawai maupun anggota KPU. Dan bagi-bagi rezeki nomplok itu dicatat dengan teliti. "Semua anggota KPU memperoleh bagian dari uang itu," kata Hamdani usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi, pekan lalu.
Sekretaris Jenderal KPU, Sussongko Suhardjo, juga buka suara. Tersangka kasus penyuapan pegawai BPK itu juga menyebutkan bahwa dana tali asih yang telah terkumpul dari rekanan KPU mencapai Rp 20 miliar. "Uang itu setahu saya sukarela, jadi tidak mungkin diatur jumlahnya," katanya kepada Nezar Patria dari Tempo, Jumat pekan lalu.
Pengakuan Hamdani Amin dan Sussongko Suhardjo tidak segaris dengan pernyataan anggota KPU Mulyana W. Kusumah, yang juga Ketua Panitia Pengadaan Kotak Suara. Ia balik menuding bahwa laporan BPK itu bias. Ketua KPU, Nazaruddin Sjamsudin, malah mengaku tidak tahu ada dana "siluman" yang parkir, di luar anggaran komisi penyelenggara pemilu itu.
Tapi, benarkah tak ada dana taktis yang masuk ke kantong pribadi anggota KPU? "Kalau itu pertanyaannya, ya pasti jawaban mereka tidak ada, dong," kata Hasan. Ia menduga, di kocek para pejabat KPU, ramai berseliweran dana siluman itu. Sumbernya tak lain dari uang sogok pelicin proyek, yang selama ini disamarkan dengan sebutan dana taktis, uang terima kasih, uang tanda kasih.
Johan Budi S.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo