Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gempa Politik dari Pulsa Telepon

Bocoran rekaman telepon Habibie-Ghalib menggelinding menjadi skandal politik. Penyelidikan atas substansi percakapan bisa mengganjal pencalonan Habibie sebagai presiden.

22 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan ini saya meletakkan jabatan sebagai Presiden Amerika Serikat." Itulah bunyi surat pernyataan berhenti yang amat singkat dari Richard Milhous Nixon. Skandal Watergate yang melegenda itu mengempaskannya dari puncak kekuasaan pada 1974. Ia terbukti terlibat aksi penyadapan ilegal terhadap kubu lawan politiknya, Partai Demokrat. Nixon akhirnya memang tercatat sebagai presiden pertama yang mengundurkan diri dari Gedung Putih, dua setengah tahun sebelum masa jabatannya berakhir. Presiden B.J. Habibie, tentu saja, bukan Nixon. Dalam kasus rekaman percakapan telepon yang menghebohkan ini, Habibie bukan dari pihak yang "menyadap", melainkan yang "tersadap" Meski demikian, dampak politiknya boleh jadi sama. Beredarnya kaset rekaman yang diyakini banyak pihak merupakan pembicaraan telepon antara Presiden Habibie dan Jaksa Agung Andi Ghalib itu menyimpan sebuah gempa politik yang mahadahsyat. Kasus ini ibarat belati bermata dua. Di satu sisi, ada skandal penyadapan, yang bukan hanya tak etis, tapi juga merupakan tindak pelanggaran hukum. Tindakan yang seharusnya sangat terlarang?bukan hanya karena menyangkut orang nomor satu di republik ini?terhadap rakyat jelata sekalipun. Tapi, di sisi lain?yang lebih tajam?jika isi rekaman itu memang autentik, substansi berhalo-halo kedua petinggi negara itu jelas mengandung skandal politik yang tak bisa dianggap sekadar angin lalu. Soalnya menyangkut barometer reformasi: pemeriksaan mantan presiden Soeharto. Sementara bocoran rekaman itu mengesankan dengan amat kuat bahwa proses pemeriksaan Soeharto ternyata tak lebih dari pentas sandiwara. Perhatikan cuplikan berikut ini, yang dikutip dari majalah Panji. Di salah satu bagian, ada suara (mirip) Habibie yang menanyakan, "Tapi dengan Bapaknya baik, ya?" Suara (mirip) Ghalib lalu menjelaskan (sambil tertawa-tawa) pemercepatan proses pemeriksaan itu. Ia membandingkannya dengan yang dialami para terperiksa lain, contohnya Bob Hasan, yang sampai tujuh jam lamanya. Untuk Soeharto, tiga jam saja, "Ya, sudah cukup," kata suara mirip Habibie. Ghalib menimpali, "Iya, tapi kan kalau cuma dua jam juga, nanti kata orang, wah, sandiwara apa lagi nih. Ha-ha-ha?." Rekaman ini kontan dianggap sebagai bukti ketidakseriusan Habibie dalam memeriksa "guru besarnya" itu. Apalagi kilas balik kasus ini semakin mencuatkan kecurigaan itu. Sejak pemeriksaan 9 Desember lalu di Kejaksaan Tinggi Jakarta, hampir tiga bulan sudah waktu berlalu, tanpa ada kejelasan tindak lanjutnya. Yang ada malah gejala antiklimaks: pendeponiran kasus ini karena tak cukup bukti. Selasa dua pekan lalu, misalnya, Ghalib mengungkapkan nihilnya hasil penelusuran harta Soeharto di luar negeri. Lalu, pengusutan atas tujuh yayasannya tidak berhasil menemukan adanya unsur tindak pidana. Soal Keputusan Presiden (Keppres) mengenai Mobil Nasional Timor juga tak jelas juntrungannya. Satu versi cerita di balik penggantian Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Syamsu Djalaluddin, makin memperkuat kesan "main-main" itu. Syamsu mengungkapkan, dalam kasus mobil nasional, timnya telah menemukan bukti adanya unsur yang merugikan negara. Karena itulah, dalam rapat pimpinan kejaksaan yang dipimpin langsung Ghalib, ia merekomendasikan peningkatan status pemeriksaan Soeharto dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Hasilnya, bukannya usulan itu dibahas, Syamsu malah ditendang. Selain itu, ada kejutan lain. Nama-nama yang nongol di rekaman sekitar empat menit itu bukan sembarangan. Sekali ayun, empat tokoh sentral langsung tertonjok. Selain Habibie dan Ghalib, disebut-sebut pula nama Panglima ABRI Jenderal Wiranto dan Ketua Harian Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Achmad Tirtosudiro. Ini lebih dari cukup untuk mengguncangkan salah satu pilar kekuatan politik saat ini. Lalu, apa komentar mereka? Ghalib langsung membantah. Pembicaraan yang mirip benar dengan vokalnya itu tidak pernah ada. "Saya tidak yakin itu suara Bapak. Kan, suara itu bisa ditiru-tiru," kata Kepala Hubungan Masyarakat Kejaksaan Agung Soehandoyo. Sedangkan Achmad Tirtosudiro?dalam rekaman itu dinyatakan memberikan informasi kepada Habibie untuk menindak Arifin Panigoro dan kawan-kawan?tidak tegas-tegas menolak. "Saya tidak tahu apa pernah membicarakan hal itu atau tidak," katanya. Menteri-Sekretaris Negara Akbar Tandjung justru mengeluarkan statemen yang berbalik jadi bumerang. Habibie, ini menurut Akbar, telah memerintahkan penyelidikan dan penindakan atas pelaku penyadapan tersebut. Artinya, secara tersirat ia mengakui perbincangan itu memang ada. Dari pihak Wiranto, Kepala Pusat Penerangan ABRI Mayjen Syamsul Ma'arif menyatakan, rekaman itu belum bisa dipastikan sebagai hasil penyadapan. Ia lalu mengungkapkan kekhawatirannya, kalau isu ini bergulir terus, kredibilitas pemerintah bakal jeblok. Tapi isu sudah bergulir. Bola menggelinding terus. Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), yang namanya ikut nyantol di pita kaset itu, malah pasang kuda-kuda mengagetkan. Kepada pers, Sekretaris Umum KAHMI Jakarta, Zulvan Lindan, menyatakan, sampai aparat bisa membuktikan rekaman itu palsu, pihaknya berpendirian bahwa pembicaraan itu memang ada. Lebih lanjut, mereka pun meminta pertanggungjawaban Habibie untuk segera mengklarifikasi masalah tersebut. Reaksi keras yang menyodok ke substansi rekaman langsung menyeruak. Salah satunya dari Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Matori Abdul Jalil. Ia mewanti-wanti agar mewaspadai upaya pengalihan perhatian dari materi percakapan itu sendiri. Padahal, katanya, soal ini jauh lebih penting ketimbang siapa yang melakukan penyadapan. Ia bahkan telak-telak memvonis Habibie mengkhianati Ketetapan MPR Nomor XI/1998 yang mengamanatkan pemberantasan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme secara tegas, termasuk kepada Soeharto. "Dengan demikian, berarti Habibie telah mengkhianati rakyat. Ia harus turun!" katanya geram. Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Amien Rais, punya pendapat serupa. Ia berpendapat, aksi penyadapan memang harus diusut, tapi ini sekaligus mengandung berkah tak terduga. Sebab, "Telah mengonfirmasikan kesan selama ini bahwa pemeriksaan Soeharto ternyata memang cuma sandiwara," katanya kepada Raju Febrian dari TEMPO. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, Hendardi, memperingatkan agar kasus ini jangan direduksi sebatas penyadapan dan pembocoran. Ia malah melihatnya lebih jauh: unsur penyalahgunaan kekuasaan, khususnya tentang perintah Presiden ke Jaksa Agung untuk menyeret lawan-lawan politiknya ke pengadilan. Karena itulah ia lalu mendesak MPR agar segera membentuk komisi khusus untuk menyelidiki kasus ini. Peluang untuk itu tersedia dalam UU Nomor 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru saja disahkan. Di situ, parlemen punya kewenangan meminta?bahkan memaksa?pejabat negara memberikan keterangan tentang segala sesuatu yang terkait kepentingan negara. Belakangan, tindakan para wakil rakyat ini dikenal sebagai hak subpoena. Mungkinkah hal itu? Ketua Fraksi Karya Pembangunan MPR, Marzuki Darusman, bersikap hati-hati. Meski tak menampik, Golkar toh menunggu hasil penyidikan pemerintah. Sikap Partai Ka'bah lebih galak. Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan DPR, Zarkasih Nur, memastikan akan mempermasalahkan substansi rekaman tersebut. Ia pun kini tengah melobi fraksi lain. Sebab, undang-undang mensyaratkan, parlemen baru bisa bergerak jika ada persetujuan dari minimal dua fraksi. Jika itu tercapai, Habibie dan Ghalib mesti bersiap-siap ke Senayan untuk didengar keterangannya. Dan jika lalu terbukti benar substansi pembicaraan itu, parlemen akan mendesak Ghalib?yang pernah diberi ayam betina itu?mundur secara jantan dari jabatannya. Mosi tidak percaya juga bisa dilayangkan ke Presiden, meski ia masih bisa duduk di kursinya, sampai Sidang Umum MPR menilai pertanggungjawabannya. Salah meniti kasus ini, Habibie yang lagi dijagokan Golkar sebagai calon presiden berikutnya itu memang bisa kesrimpet di tengah jalan. Karena itulah seorang petinggi militer pro-Habibie langsung menuding ada konspirasi politik untuk menjatuhkan citra duet Habibie-Wiranto. "Ini pembantaian karakter," katanya sambil tak lupa menunjuk hidung kelompok mantan Panglima ABRI Benny Moerdani sebagai pihak yang berada di balik permainan. Alasannya, kubu ini membenci Habibie sampai ke ubun-ubun dan selalu ngebet merebut kepemimpinan nasional. Lagi pula, ujarnya, kelompok Benny yang pernah membangun teknologi komunikasi ABRI memang jagonya urusan sadap-menyadap. Apa pun tudingan itu, tak urung kubu Beringin dibuat bergoyang. Perkembangan sikap Ketua FKP MPR Marzuki Darusman mungkin bisa menggambarkannya. Jumat siang kemarin, kepada TEMPO, ia langsung mengutuk penyadapan tersebut. Ia yakin benar kasus ini tak akan terlalu berpengaruh pada kans Habibie sebagai calon presiden. Tapi, sore harinya, ia sudah buru-buru meralatnya. Katanya, kalau nanti memang terbukti ada penyimpangan pemerintah dalam proses penegakan hukum, khususnya terhadap Soeharto, Golkar akan bersikap lain. Marzuki, yang mengaku sudah mendengar rekaman tersebut, malah kemudian mengamini bahwa substansi kaset itu harus ditindaklanjuti. "Secara pribadi, saya merasa itu ada benarnya juga," katanya. Jadi, akankah Senayan mengikuti jejak Capitol Hill seperempat abad lalu, ketika parlemen memutuskan pembentukan komisi khusus untuk mengusut skandal Watergate? Sambil menunggu perkembangannya, ada yang perlu dipetik dari sejarah. Nixon jatuh bukan hanya karena keterlibatannya dalam skandal itu, tapi juga karena terbukti melakukan tindakan memalukan: menghalang-halangi penyelidikannya dan berbohong. Akankah Habibie jatuh setragis itu? Sulit ditebak. Yang jelas, seperti yang dikatakan Marzuki Darusman, Partai Golkar bisa jadi melirik calon presiden lain pada saat rapat kerja nasional 7 Maret mendatang. Pertarungan memang bisa lewat apa saja, termasuk melalui pulsa telepon. Karaniya Dharmasaputra, Darmawan Sepriyossa, Edy Budiyarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus