Kasus penyadapan telepon pernah digelar di pengadilan Jakarta. Jalannya persidangan kontroversial: tersangka otak pelaku penyadapan diputus bebas karena, menurut hakim, tak terbukti melakukan tindak kriminal itu. Hukuman penjara diganjarkan untuk dua "orang kecil" yang menerima order sadapan. Si "otak" belakangan malah dihukum lantaran kasus lain: memberikan kesaksian palsu di persidangan atas kasus serupa. Lebih menarik lagi, kasus ini melibatkan bekas Gubernur DKI, Tjokropranolo, walau sebagai saksi.
Syahdan, pada awal 1989, Wibowo Ngaserin, Direktur Bank Tani Nasional, mengadukan perihal penyadapan telepon?yang dilakukan di kantor dan di rumahnya di Jakarta?ke Markas Besar Kepolisian RI. Tersangka pelaku adalah M. Yasir Rangkuti, 44 tahun, karyawan PT Inti Indorayon Utama (IIU), dan tiga petugas Perum Telekomunikasi Jakarta Kota. Setelah diringkus polisi, mereka diseret ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Yasir didakwa membujuk Yohanes Tri Sutanto, selaku Kepala Subseksi RCM Dinas Pelayanan Perumtel Jakarta Kota, agar menyadap telepon Wibowo. Nah, dalam bujukan itulah nama Tjokropranolo, Komisaris Bank Tani Nasional, disebut-sebut sebagai sang pemberi order kepada Yasir. "Proyek" penyadapan lalu diberikan Yasir kepada Yohanes, sejak Januari sampai April 1988, dengan imbalan Rp 100 ribu per bulan. Untuk operasi rahasia ini, Yasir mengaku mendapat duit dari Tjokropranolo sebesar Rp 1,6 juta.
Yohanes tak sendiri. Ia kemudian menugasi dua anak buahnya untuk menyadap dan merekam pembicaraan telepon di kantor Wibowo di Jakarta Barat dan di rumahnya di Jakarta Utara. Semua hasil rekaman itu, sebanyak 600 buah kaset--dengan sandi "keroncong"?diserahkan Yasir kepada Tjokropranolo di kantor PT IIU di Jakarta. Menurut Wibowo, kejahatan itu berlatar belakang perselisihan bisnis antara dirinya dan Sukanto Tanoto, Presiden Komisaris Bank Tani Nasional serta bos PT IIU, United City Bank, dan sejumlah perusahaan lain.
Tapi, di persidangan berikutnya, Yasir mencabut keterangannya yang menyebutkan bahwa penyadapan itu atas pesanan Tjokropranolo. Penyadapan itu, kata dia, atas inisiatifnya sendiri. Alasannya: untuk menyingkap kasus perjudian di Bank Tani Nasional. Di hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Tjokropranolo membantah tuduhan keterlibatannya dalam kasus itu. Bahkan ia mengaku tidak mengenal terdakwa Yasir. Soal kaset rekaman di tangannya, kata Tjokropranolo, ia memperolehnya dari seseorang tak dikenal yang mengaku punya bukti bahwa telah terjadi perjudian lewat telepon di Bank Tani Nasional.
Di persidangan, komplotan itu dijaring jaksa M. Daud dengan senjata tua: Undang-Undang Antikorupsi, pada pasal penyuapan dan tuduhan telah membuka rahasia orang lain. Dalam perkara itu, sebanyak 25 kaset rekaman telepon dijadikan barang bukti. Dua kaset diantarkan sendiri oleh Wibowo ke penyidik, 15 buah dari Tjokropranolo, tiga kaset dari terdakwa, dan selebihnya disita dari kantor Yohanes. Wibowo sadar bahwa ia disadap karena seseorang bernama Johny mengontaknya?kebetulan si Johny lagi sakit hati dengan Sukanto Tanoto. Johnylah yang kemudian menyerahkan kaset rekaman telepon itu kepada Wibowo, yang?saking takutnya disadap?lalu memakai trik bicara putus-putus dan bahasa sandi di telepon.
Kasus penyadapan telepon itu menjadi kontroversial karena Yasir, tersangka otak penyadapan itu, divonis bebas pada 12 Desember 1989. Menurut hakim, Yasir tak terbukti terlibat. Ia memang pernah mengisi formulir pemesanan penyadapan telepon itu. "Tapi urusannya hanya sampai di situ. Bagaimana selanjutnya, ia tak tahu-menahu," kata hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Siti Djuwariyah. Penyadapan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pegawai Perumtel?kini PT Telkom. Jaksa M. Daud langsung mengajukan kasasi atas vonis bebas Yasir. (Lihat TEMPO, 10 Maret 1990.)
Yasir kemudian "hanya" dijerat untuk perkara memberikan kesaksian palsu, setelah mencabut keterangan kasus serupa pada persidangan sebelumnya. Ia lalu divonis lima bulan penjara dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, awal Maret 1990. Tjokropranolo alias Bang Noly? "Namanya disebut-sebut di sidang hanya untuk membuktikan kesalahan Yasir dalam kasus penyadapan telepon itu. Tentang penafsiran selanjutnya, itu terserah pada penilaian masyarakat," kata hakim Harifin. "Tjokropranolo mau datang ke sidang saja sudah bagus," kata jaksa Daud. Dan Bang Noly pun, yang wafat pada 1998 lalu, akhirnya memang tak tersentuh hukum.
Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini