DARI segi teknologi, menyadap pembicaraan telepon termasuk mudah. Dengan atau tanpa bekerja sama maupun dibantu petugas yang mengurusi sistem komunikasi, penyadapan bukan lagi sesuatu yang luar biasa. Tak aneh bila selama Orde Baru, penyadapan komunikasi lewat telepon begitu merebak, baik oleh intel resmi maupun intel amatiran.
Dengan alasan demi kepentingan keamanan negara, intelejen acap melakukan hal itu. Demikian pula aparat penegak hukum, terutama polisi, dengan alasan kegiatan penyelidikan. Dasar hukum yang melindunginya adalah Undang-Undang Narkotika Tahun 1971, Undang-Undang Kepolisian Tahun 1997, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahkan, pada awal tahun lalu, polisi menyadap pengguna telepon genggam. Alasannya saat itu, banyak telepon gelap berisi ancaman adanya bom yang dilakukan lewat telepon genggam.
Masalahnya, orang pun khawatir bahwa yang disadap kemudian bukan cuma mereka yang dicurigai berbuat kriminal, melainkan bisa meluas pada saluran telepon genggam, saluran telepon di rumah maupun di kantor-kantor, milik mereka yang dinilai kritis terhadap pemerintah. Bila sudah memasuki wilayah pribadi dan intern seseorang, niscaya urusan sadap menyadap jadi lain. Ini sudah menyangkut pelanggaran hak asasi manusia, sebagaimana diatur pada Piagam Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1948, maupun konvensi internasional tentang telekomunikasi tahun 1982, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1985.
Menyadap pembicaraan telepon boleh disamakan dengan mencuri, atau membuka surat orang tanpa izin. Ada dua perbuatan yang terlarang: menyadap tanpa hak dan membeberkan isinya. Pelanggaran ini sama dengan melanggar hak asasi akan kemerdekaan dan rahasia dalam surat menyurat yang tak dapat diganggu gugat, selain atas perintah hakim atau kekuasaan lain berdasar undang-undang. Ini juga bisa digolongkan melanggar Undang-Undang No. 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi, serta merupakan kejahatan tentang membuka rahasia yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Apabila kasusnya dihubungkan dengan rahasia negara, ada delik spionase pada Pasal 113 sampai Pasal 120 KUHP. Jadi, pijakan hukumnya bisa dicari di berbagai undang-undang. Ingat kasus penyadapan telepon yang melibatkan mantan gubernur Jakarta Tjokropranolo? Terdakwanya juga dijaring dengan Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1971, pada pasal penyuapan dan pembukaan rahasia orang lain.
Entah bagaimana pihak kepolisian bakal menyisir kasus penyadapan telepon Presiden dan Jaksa Agung ini. Yang pasti, menurut praktisi hukum T. Mulya Lubis, hal terpenting yang pertama harus diusut pada kasus itu adalah keautentikan suara kedua pejabat tadi. "Bila benar yang disadap itu adalah suara Habibie dan Ghalib, bayangkan, saluran telepon presiden saja bisa disadap, apalagi saluran telepon orang biasa," ujar Mulya.
Dengan kalimat lain, benar tidaknya suara kedua pejabat itu mesti diuji serius. Tentang hal itu, Presiden Habibie, sebagaimana diutarakan Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung, sudah meminta agar aparat keamanan mengusut tuntas kasus ini. Adapun Jaksa Agung Andi M. Ghalib ternyata tak mengakui kebenaran suaranya pada rekaman yang beredar itu. Andaikata saja baik Habibie maupun Ghalib sepakat membenarkan pembicaraan lewat telepon itu, kasus penyadapan dan penyebarluasan ini bisa dimasukkan tindak pidana berat.
Sebuah sumber yang mengaku mengetahui sistem pengamanan informasi negara merasa yakin bahwa suara pada kaset rekaman itu adalah benar suara Habibie dan Ghalib. Kata si sumber, Habibie yang mengontak Ghalib di kediamannya, dan waktu itu Habibie menggunakan telepon genggam. Ya, lebih mudah lagi disadap.
Namun, sekiranya tak terbukti bahwa suara pada rekaman itu adalah suara Habibie dan Ghalib, tentu kasusnya menjadi delik penyebaran keterangan bohong. Untuk soal ini, tetap mesti ditelusuri dan ditindaklanjuti penanganan hukumnya, agar jelas siapa pelakunya dan apa motifnya. Dan, untuk kepentingan politik siapa?
Happy S., Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini