Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA menteri mendadak ”sakit gigi” akhir pekan lalu. Yang pertama adalah bekas Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang kini Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Ditemui Tempo dua kali di kantornya, Jumat pekan lalu, ia mengunci mulut rapat-rapat. Diberondong pertanyaan tentang pencairan duit Tommy Soeharto sebesar US$ 10 juta (Rp 90 miliar) di Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang London, Yusril malah membalikkan badan. ”Tanya saja ke Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Hamid Awaludin),” katanya sambil ngeloyor pergi. Belakangan, ketika dihadang puluhan wartawan yang biasa nongkrong di Istana, baru Menteri Yusril mau membuka mulut.
Adapun Menteri Hamid lebih ketat mengunci lidah. Tiga kali ditemui Tempo di kantornya pada hari yang sama, ia menghindar sambil mengelus-elus perut. ”Saya lapar. Saya mau makan, nih,” katanya.
Padahal keduanya menghadapi persoalan serius. Menteri Yusril dituding mengetahui pemberian ”surat sakti” departemennya agar BNP Paribas mencairkan duit Tommy Soeharto meski uang itu ditengarai tak halal. Menteri Hamid disebut-sebut ”punya peran” dalam melancarkan aliran dana itu sehingga kembali masuk ke kocek Pangeran Cendana. Kedua menteri terlibat? Begitulah cerita sejumlah sumber yang ditemui Tempo pada saat menelusuri kasus ini.
Sebelum Anda bingung, baiklah kita bagi cerita ini ke dalam dua babak. Babak pertama adalah kisah kejaksaan Indonesia yang berjuang di Pengadilan Distrik Guernsey, Inggris, untuk mendapatkan Rp 425 miliar fulus Tommy Soeharto yang tersimpan di BNP Paribas cabang Guernsey. Tommy gagal mencairkan fulus itu karena Paribas dan pemerintah Inggris menduga uang itu diperoleh dengan cara tak patut. Pengadilannya akan digelar pada Kamis pekan ini (lihat Mencari Hulu Duit Panas).
Babak kedua adalah kisah yang justru belakangan terungkap: sepanjang 2004-2005 Tommy Soeharto ternyata telah mencairkan Rp 90 miliar duitnya dari Paribas cabang London. Yang membuat kasus ini berbeda dengan kasus sebelumnya adalah di sini pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, telah memberikan jaminan bahwa uang itu masuk kategori ”halal” alias tak bermasalah. Padahal, ”Duit itu milik negara,” kata Yoseph Suardi Sabda, Direktur Perdata Kejaksaan Agung, pejabat yang mengurus soal ini.
Cerita ini bisa ditarik jauh ke belakang. Tersebutlah sebuah perusahaan bernama Motorbike Corporation milik Tommy Soeharto yang berdomisili di Bahama, Amerika Tengah. Direktur Utama Motorbike adalah Sudjasmin Lubis, teman dekat Tommy. Putra bungsu Soeharto itu menduduki kursi komisaris utama. Rekening Motorbike ditengarai menampung duit hasil kejahatan. Ini atas laporan Financial Intelligence Service (FIS)—lembaga yang memantau pergerakan uang di Inggris—yang mencurigai sejumlah rekening di BNP Paribas terkait dengan korupsi Soeharto.
Berusaha menyelamatkan uangnya, putra bungsu penguasa Orde Baru ini sempat menyewa pengacara dari Inggris dan Amerika. Tapi lawyer asing ternyata tak sukses. Atas saran sahabat Tommy, Irvan Gading, ditunjuklah pengacara lokal Hidayat Achyar untuk membantu. Hidayat adalah advokat dari Kantor Firma Hukum Ihza and Ihza—perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia saat itu, Yusril Ihza Mahendra. Pagi-pagi Hidayat sudah membantah bahwa ia menggunakan power Yusril dalam kasus ini. ”Kita tidak menerabas aturan,” kata Achyar, Januari lalu.
Pada 2004, Achyar diberi kuasa oleh Sujasmin Lubis, yang juga direksi Timor Putra Nasional (TPN) untuk mengurus fulus Tommy tersebut. Seperti Irvan, Sudjasmin selama ini dikenal sebagai sobat kental Tommy Soeharto. Dalam surat kuasa itu Sudjasmin meminta Ihza and Ihza mencabut pembekuan rekening atas nama Motorbike Corporation.
Hidajat menggunakan Pasal 533 dan 1965 Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai amunisi. Pasal itu menyebutkan, seseorang atau badan hukum harus dinyatakan beritikad baik, sampai bisa dibuktikan sebaliknya. Ia juga berargumen bahwa negara wajib membantu Tommy agar uang itu disimpan di Indonesia karena milik orang Indonesia. ”Negara kan juga wajib melindungi warga negaranya,” kata Achyar.
”Dalil” itu diterima Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman Zulkarnain Yunus—kini ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat pengadaan alat pemindai sidik jari (lihat Terjerat Proyek Sidik Jari). ”Beliau bersedia membantu,” kata Achyar. Hidayat dan Zulkarnain sebelumnya memang sudah saling kenal. Keduanya pernah sama-sama terlibat dalam tim likuidasi Bank Harapan Santosa yang dibekukan pemerintah.
Singkat cerita, Hidayat ditemani seorang pengacara dari Ihza and Ihza plus Sudjasmin, Irvan, dan Zulkarnain berangkat ke London. Di ibu kota Inggris itu, mereka mampir sebentar ke Kedutaan Besar Indonesia. Tapi Duta Besar Juwono Sudarsono sedang sibuk setelah ia ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Saya cuma diberi tahu ada Direktur Jenderal Departemen Kehakiman datang,” kata Juwono pekan lalu. ”Tapi saya tak bisa menemui mereka.”
Wakil Duta Besar Edi Pratomolah yang kemudian menemui para tamu, termasuk mengantarkan mereka ke kantor BNP Paribas di London. ”Kami (kedutaan) cuma tukang pos, karena cuma kami yang tahu di mana kantor Paribas,” kata Edi kepada Titis Setianingtyas dari Tempo. Belakangan kedutaan juga menjadi pengantar surat dan dokumen ke bank tersebut selama proses surat-menyurat antara kedua belah pihak terjadi.
Debat sengit sempat terjadi antara Motorbike dan Paribas. Bank itu memang ngotot tak mau mencairkan dana nasabahnya. Tapi Achyar tak kalah nyali. Di akhir debat dia berkata, ”Begini. Uang itu punya you atau bukan? Kalau bukan, apa syaratnya agar Motorbike bisa mengambilnya?” Paribas lalu mengajukan syarat, di antaranya pernyataan resmi dari pemerintah bahwa duit itu tak bermasalah dan surat keterangan bahwa Motorbike bebas utang. Achyar dan kawan-kawan menyanggupi.
Di Jakarta mereka ”bergerilya”. ”Untuk membuat clearance, saya minta Departemen Kehakiman memberikan keterangan atau legal opinion dari pemerintah, yang menyatakan bagaimana asal duit itu menurut hukum kita,” katanya. ”Nah, (surat) itu kita dapat,” tambah Achyar. Mereka juga mendapat surat keterangan bebas korupsi dari Pengadilan Tinggi Jakarta. ”Pernyataan itu dipakai untuk menjelaskan bahwa di seluruh pengadilan Indonesia, tidak ada kasus korupsi yang melibatkan Tommy Soeharto,” kata Hidayat. ”Pidana, perdata, dan dalam tingkat apa pun.”
Tommy saat itu sedang dipenjara di Nusakambangan karena kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita. Buat pengacara seandal Achyar, status napi yang disandang Tommy bukan halangan. Toh, Tommy dibui karena membunuh, bukan korupsi atau mencuci uang, begitu pikir Achyar. Kantor Ihza and Ihza lalu membuat keterangan bahwa kasus pembunuhan hakim tersebut tak terkait dengan kasus cuci uang.
Untuk menguatkannya, Hidayat menghubungi lagi Zulkarnain Yunus. Intinya, Achyar meminta Zulkarnain menyurati Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan—lembaga yang memiliki wewenang memeriksa transaksi bank yang mencurigakan—agar membuat surat ”bebas dosa” kepada Tommy Soeharto dan pengurus Motorbike lainnya.
Kepala Pusat Pelaporan, Yunus Husein, membalas surat Zulkarnain dan menyatakan pengurus Motorbike—komisaris, pemegang saham, pendiri, dan direksi—tidak terlibat pencucian uang. Tapi kepada Tempo Yunus menyangkal memberikan surat sakti itu. ”Saya lupa. Mungkin saja itu surat itu balasan ke instansi resmi tapi disalahgunakan,” katanya.
Singkat cerita, semua dokumen dikirim ke Inggris. BNP menyatakan bersedia mentransfer simpanan itu namun mengajukan syarat tambahan: uang hanya akan dikirim ke rekening pemerintah. Sekali lagi Hidayat beraksi. Berbekal hubungan baiknya dengan Zulkarnain, ia meminta sang dirjen meminjamkan rekening Direktorat Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman sebagai tempat penampungan. Dari sana duit dikirim lagi ke rekening Timor—entah di bank mana. Kala itu tahun 2005. Menteri Kehakiman sudah beralih ke Hamid Awaludin. Di sinilah nama Menteri Hamid tersangkut.
Patgulipat? Akal busuk? Dalam hal meminjamkan rekening saja, persoalan sudah muncul. Rekening Direktorat Administrasi Hukum Umum hanya boleh dipakai untuk menampung pendapatan dari sidik jari, pengangkatan notaris, atau pengesahan akta pendirian perusahaan. ”Dan harus segera disetor ke kas negara, tak boleh mengendap lebih dari satu hari,” kata guru besar Universitas Padjadjaran dan mantan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional Romli Atmasasmita. Dirjen Administrasi Hukum Umum juga tidak berhak membuat keterangan bebas perkara. ”Pekerjaannya hanya mengurus izin,” kata Romli. Misalnya surat izin seperti pengangkatan notaris dan pendirian atau pembubaran perusahaan.
Ahli keuangan negara Arifin P. Soeriatmadja juga menyatakan bahwa rekening negara tidak bisa dipakai untuk kepentingan swasta. Jalur setor uang masuk hanya ke kas negara. Pengeluarannya juga harus lewat anggaran belanja negara (APBN). ”Ini namanya prinsip universalitas,” kata Arifin. Suara lebih keras datang dari Kejaksaan Agung. ”Surat Departemen Kehakiman itu tidak sah. Mereka tak punya hak,” kata Yoseph Suardi Sabda.
Yusril belakangan mengaku tahu soal pencairan duit Tommy itu. ”Ya tahu. Tapi nggak ada persetujuan dari saya,” ujarnya mengelak. Ia juga mengaku tak terlibat dengan Ihza and Ihza, firma hukum miliknya. ”Saya kan tidak bekerja di law firm lagi. Lagi pula pencairan dana itu terjadi bukan pada zaman saya,” katanya.
Selebihnya adalah keterangan yang setali tiga uang dengan penjelasan Hidayat Achyar. Pak Menteri membenarkan soal permintaan departemennya ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk memastikan halal-haramnya duit Tommy. Kata Yusril dalam kasus ini yang harus dilihat adalah ”bersih-kotor” uangnya, bukan si pemilik fulus.
Adapun Hidayat Achyar berkukuh bahwa tak ada yang salah dengan uang itu. ”Duit itu hasil penjualan saham Tommy di Lamborghini,” katanya. Sebelumnya Tommy bersama pengusaha Setiawan Djody pernah membeli saham pabrik mobil Lamborghini, Italia. Tapi belakangan pabrik itu dijual lagi ke perusahaan Malaysia. Zulkarnain saat ini sulit dimintai konfirmasi. Pada Jumat lalu, ia menolak menjawab pertanyaan Tempo sesaat sebelum ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus pengadaan alat pemindai sidik jari.
AZ, Arif A. Kuswardono, Badriah, Dimas Adityo, Sunariah, Tito Sianipar
Berpacu di Jalur Duit
21 Mei 1998 Soeharto jatuh setelah 32 tahun berkuasa.
22 Juli 1998 Tommy Soeharto membuka tiga rekening bernilai US$ 60 juta di BNP Paribas Guernsey atas nama Garnet Investment of Trident, berdomisili di Tortola, British Virgin Island.
16 Maret 1999 Harian Inggris The Independent memberitakan penjualan properti mewah milik Keluarga Cendana senilai 11 juta pound sterling (atau sekitar Rp 165 miliar saat itu).
24 Mei 1999 Majalah Time menerbitkan laporan berjudul Soeharto Inc. Total kekayaan Soeharto dan keluarganya diduga mencapai US$ 15 miliar.
26 September 2000 Mahkamah Agung menghukum Tommy Soeharto 18 bulan penjara dan denda Rp 30 miliar dalam kasus tukar guling Goro. Tommy tak mau menjalani hukuman dan buron.
Agustus 2001 Finance Intelligence Service--lembaga yang memantau pergerakan uang di Inggris--mencurigai sejumlah rekening di BNP Paribas terkait dengan Soeharto. Rekening dibekukan. Belakangan diketahui simpanan di BNP London dan Guernsey milik Tommy.
28 November 2001 Polisi menangkap Tommy di Bintaro, Jakarta Selatan, setelah setahun buron.
26 Juli 2002 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Tommy 15 tahun penjara karena terlibat pembunuhan Syafiudin. Karena menolak banding, Tommy langsung dipenjara di Nusakambangan. Juni 2005, MA mengurangi hukumannya menjadi 10 tahun.
28 Oktober 2002 Tommy lewat Garnet Investment memerintahkan BNP Guernsey mengirim dana 6,450 juta euro (sekitar Rp 76,1 miliar) dan 15 juta euro (Rp 177 miliar) ke Heinrich Holding Limited. Lalu 15 juta euro (Rp 177 miliar) lagi ke Alanstown Finance Limited.
4 November 2002 BNP menghubungi Garnet dan menyatakan mereka memerlukan tambahan informasi sebelum melakukan transfer.
12 November 2002 Tommy mengirim perintah kedua: meminta bank memindahkan dana--masing-masing 47.500 pound sterling (Rp 836 juta) dan 7.960,49 pound sterling (sekitar Rp 140 juta)--kepada Peter Amy, Direktur Garnet. Perintah ini ditolak bank.
10 Desember 2002 Tommy mengulangi lagi perintahnya.
23 Desember 2002 BNP menjawab permintaan Tommy dan menyatakan ”bank memerlukan keterangan asal-muasal dana dalam rekening, sebelum melakukan transaksi atas rekening tersebut”.
23 Februari 2003 Tommy memerintahkan BNP memindahkan seluruh dana di rekening miliknya ke Overseas Bank Limited di Singapura--menyisakan hanya US$ 1 juta (sekitar Rp 8,5 miliar dengan kurs saat itu). Bank menolak dan menyatakan, ”keadaan dipidananya Hutomo Mandala Putra menunjukkan bahwa yang bersangkutan mungkin terlibat dalam tindakan korupsi di Indonesia...”.
Agustus 2004 Hidajat Achjar dari Firma Hukum Ihza and Ihza, yang antara lain dimiliki Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, ditunjuk sebagai pengacara Tommy untuk mengurus rekening di BNP London.
Oktober 2004 Tim kuasa hukum Tommy, ditemani sejumlah orang dari Timor, mengurus pembekuan rekeningnya di BNP London. Tim kuasa hukum berdebat dengan pejabat bank dan memperoleh daftar persyaratan untuk mencairkan dana.
November 2004 Ihza and Ihza mengurus dokumen yang diperlukan ke Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Pengadilan Tinggi Jakarta, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Bank Indonesia. Syarat-syarat itu lalu dikirim ke London. Bank menerima dan menyatakan akan mengirim duit tersebut ke rekening negara. Departemen Hukum dan Perundang-undangan ditengarai meminjamkan rekeningnya.
Februari 2005 Duit ditransfer ke rekening negara dan langsung dipindahkan ke rekening Tommy.
Juni 2005 Tommy dikabarkan mengurus rekeningnya yang juga dibekukan di BNP Paribas Guernsey. Sempat dilakukan beberapa pertemuan antara pengacara Garnet dari Inggris dan Amerika dengan bank. Tapi pejabat bank di Guernsey tak mau bekerja sama.
26 Maret 2006 Garnet mengajukan gugatan terhadap BNP Guernsey di pengadilan negara tersebut.
14 Juli 2006 BNP minta penangguhan pemeriksaan perkara.
13 September 2006 Royal Court di Guernsey menerbitkan perintah (court order) untuk menghubungi pemerintah Indonesia untuk menanyakan apakah akan melakukan intervensi terhadap perkara tersebut.
20 September 2006 Kedutaan Besar Indonesia di London mengirim faksimile ke Kejaksaan Agung Jakarta mengabarkan adanya gugatan dari Garnet Investment of Trident, milik Tommy Soeharto.
22 Januari 2007 Kejaksaan Agung ikut menggugat di Pengadilan Guernsey. Gugatan itu diterima dan pemerintah diminta mengajukan bukti-bukti di persidangan.
28 Februari 2007 Pemerintah menyerahkan bukti-bukti gugatan untuk dipelajari pengadilan Guernsey.
8 Maret 2007 Bukti-bukti gugatan pemerintah rencananya dibacakan di persidangan.
Sumber: riset dan penelusuran Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo