Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cacat itu tersembunyi bertahun-tahun di balik derasnya Sungai Ndawe dan tiga gunung: Kut, Rajekwesi, dan Cubung. Desa terpencil itu adalah Krebet. Di desa yang masuk Kecamatan Jambon, Ponorogo, Jawa Timur, itu kini ada sekitar 200 orang idiot, dari anak balita hingga nenek-nenek, dan separuh di antaranya tinggal di Dusun Sidowayah. Sebagian dari mereka juga menderita cacat ganda, seperti bisu dan tuli.
Namun pemerintah Kabupaten Ponorogo baru ”menemukan” kasus itu pada awal 1990. Padahal jarak Krebet ke Kota Ponorogo cuma 35 kilometer. Hanya, akses jalan ke sana sangat buruk. Saat musim hujan, praktis jalanan berubah menjadi kubangan lumpur. Sungai Ndawe pun tak bisa diseberangi karena arusnya yang sangat deras. Tak mengherankan jika Krebet sangat terisolasi.
Penemuan itu pun seperti tak sengaja. Ketika itu, kata Kepala Desa Krebet Habib Husaeni, pemerintah sedang mengkampanyekan swasembada pangan. Eh, yang ditemukan malah puluhan perempuan dan pria dewasa mandi bersama di sungai atau sejumlah orang telanjang bulat di tengah keramaian desa. Mereka juga tak mengenal uang rupiah. Rumah mereka kebanyakan beratap alang-alang dan daun jati.
Pemerintah Ponorogo sebetulnya cukup tanggap. Mereka membuka akses jalan dan membangun jembatan yang menghubungkan antardusun. Pemerintah juga membangun fasilitas sanitasi dan merehabilitasi rumah. Untuk menunjang kehidupan mereka yang sangat miskin, pemerintah memberikan kambing dan benih. Kaum terbelakang ini juga diajari berpakaian.
Dua pekan lalu, sejumlah orang mendirikan lembaga kesehatan masyarakat untuk membantu menangani masalah itu. Mereka mengumpulkan dana Rp 10 juta sebagai modal. Pemerintah Ponorogo sendiri menyediakan kader kesehatan. Habib mengatakan lembaga ini akan menjadi tempat mengadu bagi mereka tentang kesehatan. ”Apa pun itu agar kami sehat, termasuk untuk saudara-saudara kami yang terbelakang mentalnya,” katanya.
Langkah ini diharapkan bisa mempercepat upaya mengentaskan sebagian penduduk Krebet dari momok itu. Apalagi kondisi sekarang masih jauh dari yang diharapkan. Ketika Tempo menyambangi Dusun Sidowayah, Selasa pekan lalu, situasinya memang tak banyak berubah. Keluarga Ibu Saimun, 65 tahun, misalnya. Anaknya, Kampret, 38 tahun, masih sering terlihat pergi ke mana-mana tanpa celana. Kalaupun ia dipaksa memakai celana, itu hanya sekejap mata. Adiknya, Sainem, 35 tahun, malah juga menderita bisu-tuli.
Empat dari tujuh anak Saimun menderita keterbelakangan mental. Selain Kampret dan Sainem, masih ada si sulung Soeran dan adiknya, Boiman. Saimun, yang cuma seorang pencari daun jati, tampak memang tak berdaya menghadapi hal itu, terutama setelah suaminya meninggal. Yang bisa dilakukannya hanya mencari daun jati sebanyak-banyaknya. Sekilonya hanya dihargai Rp 5.000.
Urusan ”anak-anak” diserahkan kepada kakaknya, Rohmani, karena setiap hari Saimun baru bisa pulang dari hutan menjelang magrib. ”Ayo... ayo... adus... adus... kono, mlebu omah... (ayo... ayo... mandi... mandi... sana, masuk rumah),” kata Rohmani keras-keras menyuruh mereka mandi sore. Tapi mereka hanya cengengesan tanpa beringsut.
Tak jauh dari rumah keluarga Saimun, tinggallah Kisut, laki-laki 32 tahun, bersama Munah, ibunya, yang sudah renta. Kisut tak pernah mau mandi. Kulitnya menghitam berlumur daki. Rambut, kumis, dan jenggotnya panjang serta kusut, tak pernah kenal sisir. Baju yang menempel di tubuhnya sudah nyaris sama hitam dengan kulitnya. Bau badannya... jangan ditanya lagi.
Kisut selalu tertawa dan matanya tampak ceria setiap kali diajak bicara. Tapi dia tidak menjawab apa-apa. Ketika melihat kilatan lampu kamera, Kisut cekikikan. Munah, yang sudah berjalan tertatih-tatih, selalu mengajak serta Kisut jika mencari kayu di hutan. ”Dia senang kalau diajak main ke hutan,” kata Munah dalam bahasa Jawa.
Sejatinya, mereka tidak banyak mengganggu lingkungan. ”Walau mendo (sebutan warga setempat untuk orang dengan mental terbelakang, yang juga berarti bodoh), mereka tidak pernah mengamuk dan meresahkan warga,” kata Sulyono, Kepala Dusun Sidowayah.
Kendati demikian, tetap saja situasi itu membuat risi. Susahnya, kondisi Krebet yang berpenduduk 12 ribu orang ini memang sangat buruk. Tanahnya kering-kerontang saat musim kemarau. Pada musim hujan, tanahnya berubah menjadi lumpur (lendut). Kadang-kadang mereka juga menjadi buruh tani di tanah milik Perhutani. Itu pula yang membuat kemiskinan seakan lekat dengan Krebet, yang begitu terpencil.
Menurut Sulyono, keterpencilan itu juga yang membuat warga kawin-mawin di antara mereka sendiri. Bahkan tak jarang mereka kawin dengan orang yang masih sedarah. Tidak terlalu mengagetkan jika keterbelakangan mental ikut turun-temurun. Ayah Nyonya Saimun, misalnya, juga idiot. Saimun sendiri normal meskipun empat anaknya idiot.
Persoalan ini pun tampaknya juga belum akan berakhir kendati pemerintah terus berusaha memperbaiki perekonomian masyarakat Krebet. Andika, misalnya. Anak laki-laki 8 tahun ini menderita keterbelakangan mental sekaligus salah satu matanya cacat. ”Mereka (pemerintah) hanya janji-janji membantu anak saya hingga pulih,” kata Supi, sang ayah. Dia mengaku tidak tahu mengapa anaknya idiot.
Memang belum pernah ada penelitian menyeluruh tentang penyebab keterbelakangan mental sebagian penduduk Krebet. Namun, secara umum, perkawinan dengan orang yang masih sedarah dapat menjadi penyebabnya. Secara medis, gen lemah (resesif) yang dimiliki pasangan menikah biasanya akan muncul pada anak atau keturunan berikutnya. Kemiskinan dan gizi buruk menambah dalam derita penduduk Krebet.
Menurut Kepala Dinas Sosial Kabupaten Ponorogo Muhammad Bedianto, diperlukan waktu bertahun-tahun untuk memperbaiki kualitas hidup di sana. Iswari Setianingsih, peneliti senior dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta, yang punya perhatian pada masalah genetis, mengajukan usul menarik.
Menurut dia, tak ada salahnya pemerintah Ponorogo melakukan penelitian genetika terhadap warga di sana. Dengan begitu, penyebab kelainan yang muncul, misalnya dugaan akibat adanya gen resesif dalam pernikahan sekerabat, bisa disingkap. Setelah itu, baru solusi yang tepat bisa diambil. Eijkman, kata Iswari, bersedia membantu meneliti kasus tersebut.
Pemerintah Ponorogo harus segera menyambut uluran tangan Eijkman. Bagaimanapun, langkah mereka memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat Krebet sudah tepat. Tapi hasilnya mungkin akan jauh lebih baik jika yang dilakukan adalah menghentikan ”perjalanan” gen buruk ini agar tidak terus berlanjut ke generasi mendatang.
Dwi Wiyana, Dini Mawuntyas (Ponorogo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo