Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALI ini, bagi Gina S. Noer, layar lebar adalah sebuah kanvas. Dan sejak awal dia memilih kanvas itu bukan hanya menampilkan warna, tapi juga gambar dan bunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Film Like and Share, film ketiga yang ditulis dan disutradarainya ini, adalah sebuah kanvas baru, pendekatan baru. Gina mengandalkan kanvas besar, semprotan warna-warni merah jambon, kuning, ungu, dan hijau dengan obyek permen lolipop, es krim, dan kue serta bebunyian dua remaja yang menikmati, mencium, menggigit, menghidu, dan menghirup makanan, minuman, es krim, sebatang pisang, limun, soda, bunga, sedotan, atau apa saja yang kelak mengirim bunyi, rasa, dan visual tanpa aroma kepada para penontonnya. Acara video itu bernama “Like and Share”, yang disajikan oleh Lisa dan Sarah. Itulah pembukaan skenario Gina dan itu pula yang kemudian terwujud dalam serangkaian adegan pertama film yang disutradarainya tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski kariernya sebagai sutradara masih cukup “dini”, sebagai penulis skenario Gina bisa dikatakan sudah veteran. Film Like and Share adalah skenario ke-19 yang ditulisnya sejak skenario pertamanya berjudul Foto, Kotak dan Jendela (2006, bersama Hanung Bramantyo). Tentu saja masyarakat penonton film Indonesia akan lebih mengenal skenario film-film yang ditulisnya seperti Ayat-Ayat Cinta (2008, ditulis bersama Salman Aristo), Habibie & Ainun (2012, bersama Ifan Ismail), dan Kulari ke Pantai (2016). Atau skenario film yang sekaligus disutradarainya seperti Dua Garis Biru (2019); Cinta Pertama, Kedua & Ketiga (2021); dan yang terbaru, Like and Share.
Para juri memilih Gina S. Noer sebagai Penulis Skenario Pilihan Tempo bukan cuma karena pengalamannya yang sudah sebegitu jauh—meski tentu saja hal itu membantu jam terbang dan kematangannya dalam menyusun adegan—tapi juga banyak faktor lain.
Sutadara Gina S. Noer (kedua kanan) bersama aktris Aurora Ribero (kiri) dan Aulia Sarah (kedua kiri) saat proses syuting film Like and Share. Dok. Film Like and Share
Lahir di Balikpapan, 24 Agustus 1985, dengan nama Retna Ginatri S. Noer, Gina menempuh pendidikan di Universitas Indonesia jurusan broadcasting. Tapi storytelling melalui kata dan visual tampaknya adalah kelebihan dan pilihannya.
Film Like and Share, yang tengah beredar di bioskop Indonesia saat ini, berkisah tentang persahabatan dua gadis sekolah menengah atas berusia 17 tahun, Lisa dan Sarah, yang mempunyai acara video yang didistribusikan melalui platform digital terkemuka.
Sehari-hari, seperti generasi Z lain, keduanya mengisi sebagian besar waktu mereka—selain di kelas—dengan menatap dan menikmati layar telepon seluler dengan caranya sendiri-sendiri. Di awal film, Lisa digambarkan begitu terserap pada video porno hingga rutin melakukan masturbasi di mana pun dia berada: di bawah selimut, di tempat tidur, bahkan di toilet sekolah.
Sementara itu, sahabatnya, Sarah, sibuk dengan “cinta pertama”-nya kepada Devan, seorang pemuda cakep yang berusia 10 tahun lebih tua daripada dia, bermulut manis, dan secara perlahan dan strategis mengajaknya bercinta di sebuah hotel. Selebihnya kita kemudian menyadari segala mimpi buruk yang terjadi. Brutal, mengerikan, hingga tahap mengguncang kepercayaan kita kepada kebaikan manusia.
Film yang melibatkan kekerasan berbasis gender online atau lazim disingkat menjadi KBGO, tentang kekerasan seksual secara fisik sekaligus penganiayaan fisik dan mental, tentu saja bukan sesuatu yang baru di perfilman Indonesia. Yang membuat cerita film ini menjadi berbeda dan penting adalah, pertama, Gina menggunakan platform digital sebagai sesuatu yang bisa menyenangkan, menghibur, dan menambah pengetahuan, tapi bisa menjadi monster yang mencengkeram, menyiksa, sekaligus membunuh fisik dan jiwa.
Sutadara Gina S. Noer saat proses syuting film Like and Share. Dok. Film Like and Share
Hal kedua, Gina berani mengajukan kekerasan seksual secara rinci (sekaligus menjadi “pendidikan” bagi yang belum memahami atau merendahkan pemahaman definisi kekerasan seksual). Ucapan “no means no” hingga saat ini masih menjadi perdebatan riuh karena para pengkritik feminisme tidak betah melihat perempuan yang “bersedia” diajak ke kamar hotel dianggap korban pemerkosaan. Mereka tidak menyadari di dalam “ajakan” itu ada fakta dan nuansa ketika korban bisa saja dipaksa ikut ke kamar hotel karena sang kekasih mengancam akan menyebarkan video saat dia diperkosa pertama kali. Atau bisa juga dia memang berubah pikiran, dari “mungkin” menjadi “tidak”.
Gina menulis skenario ini sebagai salah satu bagian terpenting tentang bagaimana sulitnya meyakinkan perangkat hukum ataupun masyarakat bahwa pemerkosaan bukan peristiwa seks, melainkan persoalan relasi kuasa.
“Masyarakat kita lebih gampang paham soal menghargai makanan dibanding menghargai tubuh perempuan,” ujar Gina. “Kita mudah paham kalau ada orang mengatakan ‘enggak mau pedas’, berarti orang itu enggak mau pedas sama sekali. Tapi, kalau ada perempuan bilang ‘enggak’ (di dalam kondisi apa pun), malah disangkanya cuma pura-pura,” katanya menjelaskan mengapa dia menggunakan adegan “food porn” dengan teknik autonomous sensory meridian response atau ASMR dalam adegan awal.
Persoalan sepelik dan serumit ini, apalagi menimpa dua perempuan yang bersahabat—dalam kasus yang berbeda—yang ditulis dengan rapi dan mencakup begitu banyak isu kekerasan diwujudkan sebagai cerita dan skenario pilihan Tempo. Tak mengherankan jika Gina dipilih tahun ini oleh kami. Ingat, dalam Festival Film Indonesia 2019, dia bahkan meraih dua Piala Citra untuk Skenario Asli (Dua Garis Biru) dan Skenario Adaptasi (Keluarga Cemara). Pada banyak skenario yang ditulisnya, baik yang ditulis sendirian maupun berdua, Gina melakukan riset yang dalam.
Aurora Ribero (kiri) dan Arawinda Kirana dalam adegan film Like and Share. Dok. Film Like and Share
Khusus untuk film ini, Gina mengaku mendapatkan ide awal karena menyaksikan sebuah video dengan akun anonim di media sosial ketika seorang gadis 18 tahun merasa lega sudah berhenti kecanduan pornografi. Dia mengaku kecanduan selama lima tahun. “Itu artinya dia kecanduan sejak berusia 13 tahun,” ucap Gina.
Dari sana Gina mendapatkan ide membentuk sosok Lisa. Lantas, riset berikut dan penulisan cerita bergulir. Gina juga memasukkan kasus pemerkosaan sebagai kasus berikut karena dia menyadari ada beberapa fakta yang melibatkan rekaman video yang memperlihatkan perempuan yang (tampaknya) diperkosa. Pretensi dari video itu adalah video porno yang dijual melalui subscriber. “Adegan posisi Fita dan Sarah yang dicengkeram dan menatap kamera dengan wajah meminta tolong sebetulnya terinspirasi dari kisah ini.”
Tentu tak ada gading yang tak retak. Catatan kecil pada skenario (dan film) ini adalah baik Lisa maupun Sarah digambarkan dari keluarga retak. Sementara Lisa adalah putri ibu tunggal yang menikah lagi, Sarah adalah yatim-piatu yang orang tuanya tewas karena kecelakaan. Stereotipe ini tentu melupakan anak dari keluarga lengkap dan “bahagia” pun banyak yang terjun dalam kehidupan gelap tersebut.
Tapi hal itu bisa kami abaikan karena skenario ini menghasilkan banyak hal: pendekatan baru, “pendidikan kepemilikan tubuh perempuan 1.001”, sekaligus film yang bagus dan breaking performance dari aktris Aurora Ribero sebagai Lisa.
Yang paling penting, skenario bagus ini juga menghasilkan film yang bagus, yang memberi “ingatan” kepada kita sisi dahsyat sekaligus sisi keji dari Internet bagi fisik dan jiwa kita, serta film yang mencerahkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo