UNTUK disebut sebagai kota. Pomalaa masih harus menunggu
perkembangan selanjutnya. Meski berpenduduk 15 ribu (semuanya
pendatang) Pomalaa memperlengkapi dirinya dengan fasilitas
perkotaan. Sebuah rumah sakit berkapasitas 500 tempat tidur
dengan 3 dokter dan 40 paramedis. misalnya sudah ada di sana.
Lalu sekolah, sejak Taman Kanak-kanak hingga SMP, sudah pula
tersedia. Juga mesjid dan gereja. Dan sederetan barak, telah
dibenahi jadi pertokoan.
Itu semua kabarnya disediakan oleh pabrik peleburan nikel yang
mendekam di sana. Tak hanya diperuntukkan para karyawan saja,
semua terbuka untuk penduduk sekitarnya. "Juga pesawat terbang
Cessna yang menghubungkan Pomalaa dengan Ujung Pandang,
Menyediakan tempat duduknya untuk penduduk", tutur Kosim
Candaatmaja, Kepala Proyek Peleburan Nikel Pomalaa. Tentu saja
bagi yang mampu membayar.
Meski begitu penduduk Pomalaa yang semula cuma terdiri atas para
karyawan pertambangan nikel, tak berapa lama berlipat dua karena
masuknya buruh - buruh kontraktor pembangun pabrik. Dan mereka
tak bisa melepaskan diri dari masyarakat sekitarnya. Misalnya
dalam soal kebutuhan sayur-mayur dan bahan makanan lainnya.
Semua itu harus dibeli di Dawi-dawi, kurang lebih 2 kilometer
sebelah utara Pomalaa. Sedang Dawi-dawi sendiri
mendatangkannyanya dari daerah-daerah lain di sekitarnya atau
Sulawesi Selatan. Misalnya beras dari Kendari, Kolaka atau
Sulsel. Sayur-mayur dari kompleks transmigrasi yang tak jauh
dari Pomalaa.
Hiburan Malam
Dawi-dawi sendiri hanyalah sebuah kampung, semula tak jauh dari
lokasi pabrik. Tapi karena dikhawatirkan terkena pencemaran,
perkampungan dengan 350 rumah dan penduduk 2000 orang itu
dipindahkan ke daerah kurang lebih 2 Km dari Pomalaa. Tentu saja
dengan ganti rugi. Selain harga tanah Rp 25 per M2, juga
tanaman, rumah dan sumur-sumur mandapat ganti rugi. Semua tak
kurang Rp 56 juta. pabrik menutup ganti rugi tersebut. Hal itu
nyaris menyebabkan timbulnya kericuhan, karena para tergusur
merasa tak puas atas ganti rugi harga tanah. Tapi dapat diatasi
Kosim dengan, "membantu memindahkan rumah-rumah mereka ke tempat
yang baru".
Itu tak berarti segalanya berjalan nyaman buat para karyawan
pabrik. Terutama bagi tenaga-tenaga yang direkrut dari Jakarta
(tenaga-tenaga lain diambil dari Ujung Pandang, Kendari atau
Kolaka). Di sana sangat terasa adanya keterpencilan dan
kurangnya hiburan di malam hari. "Bioskop cuma satu dan jarang
ada filmnya. Hiburan lainnya menembak burung atau mamancing di
laut", tutur Kosim. Atau mendengarkan radio. Selain itu boleh
mendengkur bersama dengung nyamuk malaria, bila tak berkelambu.
Terdengar pula keluhan -keluhan lain misalnya tentang hak cuti
dan pelayanan logistik. Juga bahwa karir mereka sulit berkembang
ketimbang mereka yang bekerja di PT Aneka Tambang Pusat. Anehnya
jumlah uang cuti sama saja jumlahnya dengan yang di pusat.
Pelayanan logistik pun lebih jelek dari rekan mereka di kantor
pusat: di Jalan Bungur Besar Jakarta. "Mestinya kami yang
menghasilkan nikel untuk dijual orang pusat itu, diperhatikan
lebih baik sedikit", kata mereka. Keadaan tersebut amat
meresahkan Kosim. Sebab pabrik nikel di Soroako. konon, memberi
fasilitas lebih baik. Dan dengan pengalaman di Pomalaa, bayaran
lebih tinggi bisa didapat. "Kalau mereka sampai terbujuk ke
sana, apa jadinya peleburan nikel di Pomalaa ini", ujar Kosim.
Ya, bagaimana, ya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini