VONIS penjara bisa punya sejuta makna bagi setiap orang. Bisa berbuntut sejuta perkara bagi kita. Tapi, bagi Akbar Tandjung, takrifnya menjadi lain: jeruji terali besi tak bisa menyentuh kulit arinya barang semenit. Ia tak perlu harus langsung meringkuk masuk bui di Cipinang ataupun di Salemba. Ketua DPR ini malah bisa bebas melanglang buana. Bersama sejumlah rombongan, jika tak ada aral, Ahad kemarin Akbar bertolak ke Hanoi, Vietnam, menghadiri Konferensi Antar-Parlemen se-Dunia.
Aral agaknya segan menghadang. Sejak majelis hakim menjatuhkan hukuman, tak ada kejelasan apakah Ketua Umum Partai Golkar ini praktis akan dihambat geraknya—sebagaimana terjadi untuk pelaku kriminal sekelas maling ayam. Kepastian pencekalannya ternyata simpang-siur. Para pejabat saling lempar bola panas. Barman Zahir, juru bicara Kejaksaan Agung, menyebut pihaknya tak punya kewenangan. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga geleng kepala. Hakim Andi Samsan Nganro balik menuding kejaksaanlah yang harusnya mencekal.
Akbar, walhasil, belum kena jerat hukum. Jangan bayangkan karir politiknya bakal gampang ditamatkan. Politisi yang berkarir sejak era Orde Baru ini memang terancam kehilangan kursinya sebagai Ketua DPR. Gerakan menggoyang Akbar di Senayan muncul seusai majelis hakim pimpinan Amiruddin Zakaria menjatuhkan vonis tiga tahun penjara baginya, Rabu pekan lalu. Hakim yakin Akbar terlibat dalam menilep uang Badan Urusan Logistik senilai Rp 40 miliar semasa menjabat Menteri Sekretaris Negara pada tahun 1999 lalu. Akbar banding dan, dengan dalih vonis itu belum berkekuatan hukum tetap, ia ngotot tetap menjabat. Apalagi masih ada peluang bebas di peradilan lanjutan.
Boleh juga dalihnya untuk tetap bebas dan berkuasa. Orang ramai mungkin menggerutu: betapa kuat dan licinnya Bung Akbar ini. Bagaimana sikap para wakil rakyat di Senayan? Tampaknya kurang gereget, kalau tak bisa dibilang adem ayem. Reaksi sibuk terdengar dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Dua hari setelah jatuhnya vonis, fraksi kaum nahdliyin ini sibuk menggelar rapat. Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa, Amin Said Husni, cuma memberi kabar ihwal usulan agar dibentuk Dewan Kehormatan. Tapi buntutnya bikin pesimistis: prosesnya tak mudah, ada sejumlah tahapan alias prosedur yang mesti dilalui agar Akbar bisa disidangkan di depan dewan.
Dewan Kehormatan memang diatur. Bisa ditengok dalam Pasal 58 Tata Tertib DPR. Beleid ini menegaskan bahwa usulan pembentukan dewan mesti melalui laporan tertulis dari anggota kepada pemimpin DPR dengan identitas yang jelas. Setelah melalui penelitian, jajaran pemimpin akan menyerahkan gagasan tersebut kepada Badan Musyawarah. Nah, di tangan Badan Musyawarah, usulan pembentukan Dewan Kehormatan kembali dikaji ulang. Tarik-menarik antarkekuatan yang pro dan kontra bisa terjadi. Badan ini pula yang berwenang memutuskan: apakah usulan dari anggota mereka pantas diajukan ke sidang paripurna atau sekadar disimpan di laci meja.
Repot, dan tampaknya masih perlu waktu lama. ”Saya tidak terlalu optimistis,” kata Amin Said. Apalagi jika hanya mengandalkan dukungan dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, yang notabene jumlah kursinya kalah banyak dibandingkan dengan Golkar. Strategi ini rupanya sudah terbaca oleh Akbar. Seusai salat Jumat pekan lalu, di Slipi, markas Golkar, Akbar menyebut gagasan pendirian Dewan Kehormatan merupakan tindakan yang bermaksud melengserkan dirinya dari kursi Ketua DPR.
Usulan serupa juga terdengar dari sejumlah anggota Fraksi PDIP. Wakil Sekretaris Fraksi PDIP, Firman Jaya Daeli, kepada Jobpie Sugiharto dari Koran Tempo menuturkan bahwa beberapa rekannya di kubu Banteng siap mendukung pembentukan Dewan Kehormatan untuk ”mengadili” Akbar. Bambang Pranoto, juga dari Fraksi Banteng, malah yakin bahwa sebagian besar koleganya ingin Akbar mundur saja dari kursi Ketua DPR. Tapi sikap pengurus pusat partai di Lenteng Agung masih remang-remang. Ketua Fraksi PDIP, Roy B.B. Djanis, lalu mengambil jalan aman: menyerahkan keputusannya kepada tiap-tiap anggota fraksi.
Sebenarnya Lenteng Agung bukan tidak berhitung terhadap posisi Akbar. Sumber TEMPO di kalangan petinggi PDIP membisikkan, kubu Banteng merestui upaya anggota fraksinya untuk terus-menerus mengangkat kasus Akbar ke permukaan. Polemik tentang perlu-tidaknya pembentukan Dewan Kehormatan akan diekspos besar-besaran. Dengan begitu, Akbar akan terus jadi sorotan publik. ”Hingga akhirnya Golkar menilainya sebagai beban yang tak lagi harus dipertahankan,” kata sumber penting ini.
Golkar juga sudah berancang-ancang. Mereka bikin pertemuan khusus di Jakarta. Judulnya, konsolidasi antara jajaran pengurus pusat dan daerah Partai Golkar, di Hotel Peninsula, Jumat pekan lalu. Sang Ketua Umum Akbar Tandjung jelas jadi sorotan. Salah satu orang pusat di Golkar, Marzuki Darusman, mengaku kristalisasi dari blok pendukung dan penentang Akbar mulai terasa di dalam tubuh partainya. Suasana kaku terasa sejak saat makan malam. ”Tiap-tiap kelompok saling bergerombol, bukan lagi semeja dan mencair seperti biasanya,” kata seorang tokoh Golkar yang menyaksikan suasana aneh itu. ”Saya akan mengumpulkan gerakan untuk bikin mosi tidak percaya,” kata sumber dari Fraksi Golkar yang berseberangan dengan Akbar.
Tapi pertemuan Peninsula itu akhirnya memang ”dimenangi” Akbar. Hampir semua Ketua Golkar di berbagai provinsi akhirnya sepakat menyatakan sumpah setia. Intinya, mempertahankan posisi Akbar sampai pengadilan memutuskan perkaranya sehingga berkekuatan hukum tetap. Bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam ini juga digariskan harus memimpin partai sampai 2004. Fraksi Beringin di DPR juga didesak agar mementahkan setiap usulan yang akan menggoyang posisi sang bos. ”Tapi kebulatan tekad itu tidak mengikat, bisa saja berubah saat rapat pimpinan Golkar, Oktober nanti,” kata seorang kolega Akbar.
Fraksi Reformasi jelas pasang posisi. Ketua Fraksinya, Farhan Hamid, malah blakblakan meminta agar Akbar mundur karena ”secara moral sudah tidak layak memimpin DPR” setelah jatuhnya vonis hakim. Ia menyayangkan sikap keras kepala Akbar mempertahankan posisinya. Apalagi jika Akbar berani berkoar-koar tak gentar hidup di balik bui. ”Jangan-jangan,” demikian kata Farhan, ”Akbar sudah terobsesi dan menyetarakan dirinya dengan Sukarno, Nelson Mandela, atau A.M. Fatwa, yang pernah dipenjara.” Padahal para tokoh politik itu menginap di hotel prodeo karena keberanian mereka melawan penguasa. ”Bukan karena terbukti melakukan korupsi.”
Proses ”peradilan Akbar di Senayan” tetap saja ditempuh. Dua fraksi yang kali ini kebetulan seiring, Reformasi dan Kebangkitan Bangsa, akan mendesak agar para pemimpin DPR (minus Akbar, tentu) dan fraksi segera bikin rapat konsultasi. Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa di DPR, Rodjil Gufron, berharap agar melalui rapat konsultasi ini bisa dibahas berbagai aspek politik, hukum, dan moral sebagai akibat turunnya vonis untuk Akbar. Wakil Ketua Fraksi Persatuan Pembangunan, Thahir Saimema, berharap rapat menyarankan Akbar nonaktif daripada didesak mundur. Wakil Presiden Hamzah Haz, yang Ketua Umum PPP, malah mengkritik Senayan tak tegas. ”(Nasib Akbar) jangan dibiarkan mengambang,” katanya.
Serangan bertubi-tubi ini tak membikin para pengikut ciut nyali. Salah se-orang Ketua Pengurus Pusat Golkar, Rambe Kamarulzaman, menilai usulan agar Akbar mundur atau nonaktif dari DPR demi pertimbangan moral tak bisa dipenuhi. ”Moral itu tak bisa diukur. Lagi pula vonis itu belum berkekuatan hukum tetap,” kata Rambe. ”Justru moral ini tak bisa ditawar-tawar, bangsa ini butuh keteladanan,” kata Alvin Lie dari Fraksi Reformasi. Farhan, Alvin, Rodjil, dan rekan-rekannya berteriak: apakah pantas seorang berstatus terpidana tiga tahun penjara memimpin lembaga legislatif yang bakal menelurkan produk berupa undang-undang?
Mungkin pertanyaan itu terlalu jauh. Ada yang lebih mencolok mata: di Hanoi, Vietnam, dalam Konferensi Antar-Parlemen yang prestisius itu, delegasi Republik akan dipimpin seorang ketua yang notabene terhukum kasus korupsi. Tentu saja dengan fasilitas negara dan protokoler yang keren, tanpa aral, sonder ada pertanyaan ba-bi-bu di ruang imigrasi bandara. Jelas, keistimewaan ini merupakan kemenangan tersendiri bagi Akbar, saat karir politiknya di Senayan telah bergulir ke ufuk barat.
W.M., Widjajanto, Fadjar W.H., Andi Dewanto, Deddy Sinaga (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini