Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terselamatkan Dua Kompromi

Sebelum memvonis Akbar Tandjung, anggota majelis hakim sempat terbelah. Ada yang menghendaki terdakwa langsung masuk penjara.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAKIM Andi Samsan Nganro gelisah. Baru sekali mengisap sebatang rokok, buru-buru dia masuk kembali ke sebuah ruang di Gedung Badan Meteorologi dan Geofisika Kemayoran, Jakarta Pusat. Andi bergabung lagi dengan Amiruddin Zakaria, I Ketut Gede, Pramodana K. Kusumah, dan Herri Swantoro, para anggota majelis hakim yang menangani kasus Akbar Tandjung. Di dalam ruangan itu mereka serius berunding. Di antara mereka ada yang membolak-balik berkas, lalu jari tangannya menunjuk ke sebuah halaman. Setelah mengetahui rapat ini terlihat dari luar, kelima hakim menyingkir ke pojok ruangan untuk menjauhi jendela. Sekitar 25 menit kemudian barulah mereka keluar satu per satu. Penentuan vonis berlangsung alot? ”Ya, ini karena substansi persoalannya menghendaki demikian,” kata Andi Samsan. Tepat pukul 10.00 pembacaaan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dimulai dan baru berakhir delapan jam kemudian. Dalam sidang Rabu pekan lalu itu, majelis hakim yang diketuai Amiruddin Zakaria ini menyatakan: Akbar bersalah dan dihukum tiga tahun penjara. Tapi terdakwa tidak dinyatakan harus masuk bui. Menghadapi vonis ini, Akbar lewat kuasa hukumnya langsung menyatakan banding. Dua terdakwa lainnya, Ketua Yayasan Raudatul Jannah Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang (kontraktor penyalur kebutuhan pokok), masing-masing diganjar hukuman satu setengah tahun kurungan. Itulah ujung kisah skandal penyalahgunaan dana Bulog Rp 40 miliar. Putusan tersebut tetap berpijak pada skenario awal bahwa duit yang dikucurkan pada 1999 tersebut mampir ke Yayasan Raudatul Jannah, dan bukannya mengalir ke Golkar. Padahal skenario ini sudah kedodoran dan belakangan terkoyak lagi oleh kesaksian terbaru Rahardi Ramelan, bekas Kepala Badan Urusan Logistik (lihat Rahardi Terlambat Bernyanyi). Dalam pertimbangan hakim disebutkan, sebagai Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung telah menabrak prinsip kehati-hatian dalam mengelola uang negara, menyalahgunakan wewenang jabatan. Sikap ini memberikan peluang terdakwa lain, Dadang dan Winfried, melakukan tindak pidana. Akibatnya bukan cuma merugikan keuangan negara tapi juga mengganggu perekonomian nasional. Kata hakim, ”Uang Rp 40 miliar bila benar-benar dibelikan kebutuhan pokok bisa dinikmati jutaan rakyat.” Putusan itu—terutama soal lama hukumannya—menurut salah seorang hakim, ditentukan pada detik-detik terakhir. Jadi, kira-kira setengah jam sebelum vonis dijatuhkan baru dilakukan voting di antara anggota majelis hakim. Ini persis yang terjadi ketika memutus kasus Tommy Soeharto. Kebetulan kelima hakim yang menangani kasus Akbar sama dengan anggota majelis hakim yang menvonis kasus Tommy. Sebelumnya, anggota majelis hakim itu, kata sumber TEMPO, juga sempat terbelah dalam dua kubu. Satu pihak menginginkan Akbar Tandjung dihukum berat dan langsung masuk penjara. Kubu lain menghendaki terdakwa tidak dihukum alias bebas. Karena masing-masing ngotot pada pendiriannya, akhirnya ditempuh jalan kompromi. Dia dihukum tiga tahun tapi tak langsung masuk bui. Hanya, Andi Samsan, yang juga juru bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, enggan mengungkap ihwal perdebatan tersebut. Yang jelas, ”Proses penentuan vonis memang berlangsung alot,” ujarnya. Keretakan di tubuh majelis hakim itu sejatinya sudah mencuat awal April lalu, saat mereka memutuskan penangguhan penahanan bagi Akbar. Dengan putusan ini, terdakwa yang sebelumnya jadi tahanan Kejaksaan Agung akhirnya dilepas. Ketika itu beberapa hakim sempat tidak setuju. Mereka menghendaki agar status Akbar dialihkan saja menjadi tahanan kota. Keinginan ini diabaikan oleh Amriruddin Zakaria, ketua majelis hakim, yang diduga mendapat intervensi dari pihak Akbar. Hanya, kabar ini ditepisnya. ”Saya ini orang Aceh. Orang datang saja tidak berani, apalagi menekan-nekan,” kata Amiruddin. Kendati friksi itu mencuat lagi saat penentuan vonis, toh ujungnya kompromi juga. Padahal sejak awal dakwaan terhadap Ketua Umum Golkar sudah merupakan buah dari kompromi di kalangan elite politik. Buktinya, aliran dana ke bendahara Golkar tak pernah dibongkar. Setelah terdakwa divonis tiga tahun penjara, akankah posisi Akbar sebagai Ketua DPR masih diselamatkan lewat kompromi politik pula? Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus