Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rahardi Terlambat Bernyanyi

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI menjelang Akbar Tandjung divonis, Rahardi Ramelan baru bernyanyi. Bekas Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) ini melontarkan kesaksian penting pada sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Dia mengaku tidak menghadiri pertemuan pada 10 Februari 1999 di Istana, yang menentukan pengucuran dana Bulog Rp 40 miliar. ”Setelah melihat lagi catatan saya, ternyata pada hari itu saya masih berada di Amerika Serikat,” ujarnya lantang. Bagai geledek di tengah siang, pengakuan terdakwa kasus penyalahgunaan dana Bulog itu amat mengejutkan. Suara Rahardi seolah merobek-robek skenario pengucuran dana Bulog Rp 40 miliar ke Yayasan Raudatul Jannah seperti dipercaya para jaksa dan hakim selama ini. Soalnya, bermula dari pertemuan 10 Februari itulah skenario—yang diduga buat menutupi aliran dana ke Partai Golkar—tersebut dirancang. Sebelumnya telah dikisahkan oleh hampir semua terdakwa dan saksi dalam skandal Bulog bahwa pada tanggal tersebut memang terjadi pertemuan di Istana yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie. Dalam kesaksian Habibie pun disebut: Rahardi Ramelan hadir dalam pertemuan ini bersama Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Haryono Suyono. Lima hari setelah pertemuan misterius itu, pada 15 Februari Raudatul Jannah mengirim proposal penyaluran bahan kebutuhan pokok kepada Haryono Suyono. Sesudah kertas usulan Raudatul didisposisi Haryono, pengurus yayasan itu datang ke Akbar Tandjung. Pengakuan Rahardi jelas membuat alur itu rusak. Ini sekaligus membuka sebuah kemungkinan: pertemuan pada 10 Februari tersebut tidak pernah terjadi. Trimoelja D. Soerjadi, pengacara Rahardi, tidak mau terlalu menohok secara telak. Yang pasti, ”Ini menunjukkan adanya rekayasa,” katanya. Catatan yang digenggam Rahardi pun cukup kuat. Pada 3 Februari dia mengikuti sidang kabinet. Sehari kemudian ia bertolak ke Los Angeles, Amerika Serikat. Pada tanggal 7 dan 8 bulan yang sama, dia terbang ke Washington untuk memimpin sebuah misi dagang. Sehari berikutnya Rahardi bertolak ke New York dan Boston. Baru pada 13 Februari ia kembali ke Jakarta. Rekayasa itu semakin membuat orang yakin bahwa dana itu sebetulnya tidak pernah disalurkan ke Raudatul Jannah. Seperti yang pernah diungkap TEMPO, duit tersebut diduga kuat dikucurkan ke bendahara Golkar. Kesaksian Rahardi bisa juga menyediakan jerat bagi Habibie dan Akbar Tandjung. Keduanya bisa dijaring dengan pasal memberikan kesaksian palsu. Soalnya, mereka berkali-kali menyatakan adanya pertemuan pada 10 Februari 1999 itu. Habibie pun pernah mengakui pada hari itu dia memerintahkan Rahardi untuk mengucurkan dana Bulog Rp 40 miliar. Hanya, teriakan bekas Kepala Bulog itu tak didengar. Dalam memvonis Akbar Tandjung, kesaksian itu tidak menjadi pertimbangan. Para hakim tetap berpijak pada skenario lama. ”Kami hanya mengadili sesuai dengan dakwaan,” ujar Andi Samsan Nganro, salah anggota majelis hakim dalam kasus Akbar. Amir Syamsuddin, penasihat hukum Akbar, mempertanyakan mengapa hal itu baru terungkap sekarang. ”Sejak mulai diperiksa, Rahardi selalu mengakui adanya pertemuan 10 Februari,” katanya. Dia yakin kesaksian ini tidak akan mempengaruhi kliennya yang sudah divonis. Pengacara Habibie, Yan Juanda Saputra, pun mencak-mencak. Ia mengatakan bahwa adanya pertemuan pada l 10 Februari itu pertama kali justru diucapkan oleh Rahardi. ”Jadi, Habibie tidak bisa dijerat dengan pasal kesaksian palsu karena bukan dia yang mengatakan pertama kali,” ujar Yan. Hanya, ingatan Rahardi cukup kuat. Dia merasa tidak pernah secara definitif menyebut tanggal 10 Februari. Dia selalu mengatakan ”sekitar Februari”. ”Sekarang keyakinan saya hampir bulat, pertemuan itu sebenarnya terjadi pada 18 Februari,” katanya. Mungkinkah Habibie dimintai keterangan lagi? Lalu Mariyun, hakim dalam persidangan Rahardi, enggan berkomentar. Alasannya, masih dicek kebenarannya. ”Sudahlah, Anda kan tahu posisi saya. Saya kan punya kode etik sebagai hakim,” katanya. Nurkhoiri, Budi Riza, Suseno, Tomi Aryanto (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus