CREON berjalan menggotong sebongkah balok es. Ia berseragam mirip Gestapo. Es itu simbol bagi mayat anaknya sendiri. Di panggung, dua orang bertopi pet mengayun-ayunkan tongkat bisbol. Cahaya merah temaram. Muncul siluet filmis kayu-kayu yang saling silang di dinding. Tetes-tetes es berkilat bak darah.
Sebuah akhir drama yang menarik, meski gagasan penggunaan balok es tak cukup orisinal karena banyak teater telah menggunakannya. Sebuah pentas Caligula karya Albert Camus beberapa waktu lalu menggunakan balok es sebagai properti. Diyanto, sang penata artistik Antigone, juga dalam sebuah pameran seni rupanya di Solo pada 1990-an membuat instalasi balok es.
Drama Antigone adalah bagian ketiga dari trilogi Oedipus. Setelah Oedipus di Thebes tewas, dua anak lelakinya, Eteocles dan Polyneices, saling bunuh. Antigone berniat menguburkan kakaknya. Tapi pamannya, Creon, sang penguasa Thebes, melarangnya. Kelompok teater asal Bandung ini memilih naskah Jean Anouilh (1910-1987) yang melakukan tafsir "antikolonial" atas Antigone karya Sophocles. Thebes diasumsikan sebagai Paris yang diduduki Jerman. Creon adalah Nazi.
Syahdan di Yunani, untuk menggugah ribuan penonton, Sophocles selalu menggunakan banyak kor (chorus). Ada bagian dalam kor yang disebut stasimon. Di sini paduan suara bergerak, tak hanya berdiri terpaku di atas panggung. Kor melambangkan suara nurani masyarakat atau suara gaib dewata. Antigone disebut-sebut sebagai naskah Sophocles yang paling banyak variasi kornya. Anouilh mengubah kor ini menjadi kor yang kritis.
Bagian yang menarik adalah bagaimana kelompok ini menyiasati kor dan menggantinya dengan semacam monolog dalang yang keluar-masuk panggung. Muhammad Sunjaya, mengenakan topi perlente, memakai jas necis, dan ber-handphone, mengenalkan aktor satu per satu. Di tengah permainan ia bisa muncul mengomentari peristiwa. Cocok untuk ruang kecil seperti di Bentara Budaya.
Dalam adegan awal, para pengawal Creon muncul berkostum pemain bisbol. Eteocles dan Polyneices berkostum pesilat kendo Jepang yang memakai jubah rok hitam untuk mengenakan penutup kepala kayu yang disebut kendogu, pelindung dada atau tare, dan sarung tangan atau kote. Pemanggungan yang baik selalu menimbulkan visualisasi tak terduga dari teks. Sutradara mampu menciptakan ilustrasi visual yang cantik dan efektif, yang sesungguhnya tak ada dalam teks, sehingga memberikan ruang imajinasi penonton.
Visualisasi sosok Eteocles dan Polyneices yang berperang tanding pedang kayu dengan seragam kendo amat menyegarkan. Topeng adalah ciri khas trilogi Oedipus dan penggunaan kostum kendo seolah sebuah tafsir "nakal" atas topeng. Kita mengharapkan kejutan ini lebih lanjut. Tapi ternyata tidak. "Tafsir topeng kendo" hanya sebagai pembuka. Adegan bisbol itu juga hanya pembuka. Padahal penonton mengharapkan Actors Unlimited mampu melakukan "kegilaan" tafsir gaya Baz Luhrmann dengan Romeo + Juliet (1996). Sayang, "kegilaan" itu hanya polesan. Selebihnya, drama bergulir dengan alur konvensional.
Asep Budiman sebagai pemeran Creon terlihat cukup kuat. Raut mukanya yang bercambang dan karakter wajahnya yang keras ketika berseragam fasis terasa pas. Dan ketika rambutnya terurai, saat Creon setengah gila bermonolog sesudah membunuh Antigone dan Hemon, Asep menunjukkan kelasnya. Sayang, suaranya yang terlalu nyaring membuat telinga tak nyaman. Percakapan antara Creon dan Antigone, yang merupakan inti drama, alhasil jadi kabur. Akting Ria Ellysa Mifelsa (Antigone) cukup meyakinkan sebagai wanita lemah yang kemudian memberontak. Para pemeran pengawal juga terlalu berisik. Mengherankan, sutradara Fathul Husein kurang peka dan tak mencegah hal itu terjadi.
Toh, pementasan ini cukup lancar. Setidaknya pertunjukan ini lebih enak ditonton dibandingkan dengan Antigone yang disajikan Teater Kronos dari Yunani di Museum Gajah setahun lalu. Pementasan berbahasa Yunani yang berangkat dari naskah asli Sophocles itu kurang gereget karena cenderung konvensional. Actors Unlimited berpotensi melakukan tafsir atas tafsir teks Antigone, tentu saja dengan catatan bila mampu sepanjang pertunjukannya menyisipkan kejutan-kejutan visual yang cerdik seperti terjadi pada akhir pertunjukan.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini