Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIDAH Siman dipotong. Dia tepergok melihat rekayasa pengambilan gambar pendaratan manusia di bulan oleh kru asing di Pantai Parangtritis, Yogyakarta, pada 1960-an. Darah mengucur dan meninggalkan bekas di kausnya. Tak menghiraukan sakit yang dirasakan, dia mengayuh sepedanya cepat-cepat di antara pematang sawah. Lidah tak sempurna membuatnya bisu selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak itu, hidup Siman berubah. Dia bergerak dengan sangat lambat seakan-akan berada di luar angkasa yang tak punya gravitasi, seperti seorang astronaut. Teman-temannya sering mengolok-oloknya. Tak hanya saat berjalan, saat mengunyah makanan pun ia seperti terganjal jeda waktu yang sangat lama. Membuat geregetan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siman hidup di dunianya sendiri yang serba lambat, di sebuah bangunan seperti roket (yang dibuatnya dari berbagai tumpukan rongsokan) di belakang rumahnya. Dari jendela seperti kaca di mesin cuci ia memandang kehidupan di luar rumahnya. Penduduk desa mengganggapnya tak waras. Apalagi saat ia berkeliaran mengenakan pakaian tebal, helm, dan jeriken layaknya astronaut berkeliaran. Namun dengan pakaian astronoutnya itu ia menghibur masyarakat, ikut serta dalam rombongan kuda lumping.
Gunawan Maryanto menjadi pemeran Siman, tokoh bisu dalam film The Science of Fictions besutan sutradara Yosep Anggi Noen. Dalam bahasa Indonesia, film itu diberi judul Hiruk-Pikuk Si Al-Kisah. Dalam film ini, Gunawan berakting tanpa dialog sama sekali. Dia juga tidak menggunakan bahasa isyarat untuk berinteraksi dengan pemain lain. “Saya hanya bertumpu pada bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Ekspresi yang mengungkapkan emosi masa lalu yang terus menghantui ,” kata Gunawan kepada Tempo di rumahnya di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 2 Desember lalu.
Kepiawaian Gunawan, yang akrab dipanggil Cindhil, membuatnya dinobatkan sebagai Aktor Pilihan Tempo 2019. Pada 2017, Gunawan juga terpilih sebagai Aktor Pilihan Tempo melalui film Istirahatlah Kata- kata karya Yosep Anggi Noen. Dalam film tersebut, ia berperan sebagai penyair Wiji Thukul yang bersembunyi di Kalimantan. Gunawan saat itu memerankan karakter Wiji Thukul yang dalam pelariannya lebih banyak mengisolasi diri dan diam. Kini Gunawan berperan menjadi sosok Siman yang tak menampilkan sepotong pun dialog. Betapapun demikian, ia meyakinkan sebagai sosok yang menyaksikan, mengalami, sebuah kepahitan dan menanggung trauma seumur hidup. Ia tak bisa mengungkapkan penderitaannya, yang dimunculkan dalam sebuah laku, bergerak lambat, sebagai ungkapan trauma.
Gunawan Maryanto (kanan) dalam The Science of Fictions.
Akting bisu dan tubuh melambat Gunawan ditempatkan sutradara di tengah kehidupan pasar, persawahan, kesenian kuda lumping, pabrik. Sutradara mampu membuat habitat yang bagus untuk sang aktor sehingga dia bisa memancarkan aura traumatisnya. Adegan potong lidah pun cukup bagus dan dieksplorasi dalam gerak. Gunawan sempat merayu Anggi agar menyisipkan sedikit dialog pada adegan awal ketika lidah Siman dipotong. Anggi semula setuju membubuhkan satu dialog. Tapi, dalam hasil penyutingannya, potongan dialog itu dihilangkan. Walhasil, tak ada dialog sama sekali untuk Siman.
Gunawan mengatakan tak mudah mendalami karakter Siman. Dia harus ekstra keras menggunakan bahasa tubuh untuk memerankan Siman, yang dipotong lidahnya, sementara Siman ingin bercerita tentang diri sendiri dan kenyataan di sekitarnya. Gunawan tidak secara khusus mendalami karakter tokoh bisu dengan mempelajari orang bisu. Siman sulit berbicara. Ia sesungguhnya bisa saja bersuara meski tidak jelas. Karena itu, sepanjang film ia tak mengeluarkan sepatah pun kata.
Tantangan paling berat yang Gunawan jalani adalah bergerak melambat atau melayang seperti astronaut itu. Gerakan-gerakannya mayoritas slow motion. Misalnya ketika Siman menjadi buruh, menggendong sayur dalam karung. “Bergerak lambat secara fisik lebih berat ketimbang bergerak normal,” ujar aktor kelompok Teater Garasi itu.
Dia mengimitasi gerak astronaut dengan berlatih dan mengamati gerakan Neil Armstrong ketika mendarat di bulan melalui video di YouTube. Gerak slow motion itu seperti gerak melawan irama yang alami pada tubuh. Beranjak sangat pelan perlu energi yang lebih. Tapi kemampuan teater dan tari menjadi modal Gunawan. Ia hanya perlu menyesuaikan iramanya dan merusak keindahan gerak teater dan tari yang biasa ia peragakan di panggung.
Gunawan ingat tatkala harus berkostum baju astronaut. Kostum rancangan perupa Hendra “Blankon” Priyadhani ini cukup membuatnya gerah karena berbahan parasut. Ia harus sering membuka dan menutup kostum. Kostum itu pun disobek sedikit di beberapa bagian agar udara bisa menyusup. Semula kru film menawarkan kostum dipasangi kipas angin mini dan bantal-bantal. Tapi ia menolaknya karena khawatir mengganggu gerak tubuhnya dan masuk angin.
Menurut Gunawan, adegan bergerak lambat yang memerlukan usaha keras adalah saat makan. Ia merasa kesulitan harus mengunyah makanan dengan sangat pelan. Gunawan kemudian berupaya menyiasatinya dengan menggigit-gigit makanannya dan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan dia makan cepat. Tapi dalam beberapa adegan ada pula gerakan yang agak cepat, misalnya ketika Siman menari jatilan bersama para penari di desa. Gamelan mengiringi Siman dan dia menari seperti orang yang kerasukan. Atau ketika ia terbakar amarah dan nafsu.
Cerita tentang Siman tidak lumrah dan bukan cerita yang mudah. Siman menghadapi penolakan dan kebencian. Ia pun dipermainkan. Tapi dia juga menuai simpati. Orang bersimpati kepada Siman yang tidak bisa berbicara, ditinggal mati ibunya. Dia dibenci ketika tak bisa mengontrol diri dengan kekecewaan, kemarahan, dan berahinya. Meskipun bisu, Siman kerap ke tempat prostitusi. “Siman bukan hero dan anti-hero. Tapi kompleksitas karakter: bukan melulu jadi orang baik atau jahat,” ucap Gunawan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo