Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA adalah gumuk pasir Parangkusumo di Pantai Parangtritis, Daerah Istimewa Yogyakarta. Suatu malam, saat menatap gumuk-gumuk pasir itu tertimpa cahaya bulan, Yosep Anggi Noen teringat pada foto-foto lanskap bulan. Imajinasinya berkembang liar. Demikian mirip suasana gundukan-gundukan pasir di Parangkusumo itu dengan atmos-fer bulan. Fantasinya melejit: “Bagaimana kalau sebetulnya pendaratan manusia pertama di bulan pada 1969 sesungguhnya dilakukan NASA di Yogyakarta?”
Itulah awal gagasan membuat film The Science of Fictions atau Hiruk Pikuk Si Alkisah. Tentu saja ini adalah gagasan aneh, sangat tak lazim dalam sinema Indonesia. Namun Anggi berani merealisasinya tanpa takut filmnya bakal tak diterima publik atau kritikus. Dalam benaknya, gagasan itu bisa ditautkan pada salah satu persoalan paling besar dalam bangsa ini: rekayasa sejarah.
Film dibuka dengan suara gemuruh. Dari jauh, seorang pria berbadan besar serta berjas penuh lencana dan tanda kehormatan bak Sukarno (dimainkan -rocker Ecky Lamoh) menenteng kamera seraya pergi meninggalkan sebuah lokasi syuting. “I don’t want to be a part of this biggest lie,” tutur pria tersebut. Belum terang soal apa. Namun kata “cut” ia teriakkan kepada sekelompok kru bule yang tampak sedang memproduksi sebuah film. Di bagian lain, pria yang berkelakuan mirip Sukarno tersebut terlihat memutar lagi tayangan adegan pendaratan itu di dalam ruangan.
Penonton masih belum tahu kisah ini tentang apa. Perlahan, Anggi membuka tabir dengan menampilkan sosok petani bernama Siman (diperankan Gunawan Maryanto) yang bisu dan sehari-hari berkelakuan seperti astronaut. Siman adalah korban dari syuting rekayasa pendaratan manusia di bulan itu. Syuting itu adalah syuting rahasia yang dibuat negara dan digunakan untuk sebuah propaganda memanipulasi orang sedunia. Siman kepergok sedang mengintip proses syuting. Dan ia dihukum. Siman dipaksa menggigit lidahnya sendiri sampai putus sehingga ia bisu dan tidak bisa menceritakan apa yang dilihatnya. Siman, setelah itu, mengalami trauma berkepanjangan. Adegan pendaratan di bulan itu menempel terus dalam diri Siman, membuat ia sehari-hari berperilaku bak astronaut.
Yosep Anggi Noen saat menyutradarai The Science of Fictions. Dok. Angka Sinema/Kawan Kawan Media/Limaenam Films
Trauma yang dialami Siman itulah yang menjadi unsur utama film. Melalui Siman, Anggi ingin berbicara bagaimana negara banyak membuat rekayasa dan manipulasi sejarah. Yang membuat The Science of Fictions lain daripada yang lain adalah Anggi berani menyajikan persoalan kekerasan negara bukan lewat sajian verbal dan klise. Tidak ada adegan pemukulan, penangkapan, atau eksekusi massal berbau politik yang dilakukan tentara dalam film, kecuali hanya sekilas beberapa menit adegan lidah berdarah Siman. Selebihnya adalah metafor. Para juri Film Pilihan Tempo memuji cara tak terduga Anggi ini. Tragedi 1965 sesungguhnya sebuah kanvas besar, tapi Anggi tak tergoda menggambarkan adegan “sexy” seperti mengangkat penculikan para jenderal atau konflik para tokoh besar.
Lewat cara berjalan Siman yang bergerak seolah-olah berada di bulan, berjalan demikian lamban, mengunyah demikian lambat, Anggi justru ingin berbicara tentang tragedi 1965 dan kekerasan lain. Jelas ini berbeda dan tak terpikirkan oleh siapa pun sebelumnya. Film panjang kedua Anggi ini memang begitu terkonsep. Secara implisit dengan memilih tema rekayasa pendaratan di bulan, Anggi juga ingin berbicara mengenai bagaimana fungsi kamera. Propaganda besar negara dulu dilakukan melalui medium film. Rekayasa fakta dilakukan melalui seperangkat kamera-kamera mahal yang hanya bisa difasilitasi negara. Kini, di zaman post-truth ini, dengan kamera biasa setiap orang bisa membuat hoaks. Kini manipulasi bisa dilakukan siapa saja. Penentu kebohongan atau kebenaran, menurut Anggi, kini tak hanya ada di tangan pemilik kuasa. Sekarang siapa saja bisa melakukannya.
Anggi melibatkan sederet nama, seperti Gunawan Maryanto, Yudi Ahmad Tajudin, Ecky Lamoh, Alex Suhendra, Asmara Abigail, Marissa Anita, dan Lukman Sardi, yang sesungguhnya memerankan masyarakat kita. Dari penjahit di pasar, mantan tenaga kerja Indonesia yang mencoba peruntungan membuka lapangan pekerjaan di kampung, pemilik warung nasi, penari jatilan, sampai pelacur. Latar Parangkusumo sengaja dipilih Anggi karena memang mendukung untuk itu. “Pantai Parangkusumo, kita tahu, adalah tempat spiritual bagi orang Jawa. Di situ secara reguler kita ketahui keraton dan para pelaku spiritual melakukan upacara labuhan memberikan sesajen kepada Nyi Roro Kidul. Tapi di Parangkusumo juga sehari-hari banyak prostitusi,” kata Anggi.
Siman dipaksa menggigit lidahnya sendiri sampai putus sehingga ia bisu dan tidak bisa menceritakan apa yang dilihatnya. Siman, setelah itu, mengalami trauma berkepanjangan. Adegan pendaratan di bulan itu menempel terus dalam diri Siman, membuat ia sehari-hari berperilaku bak astronaut.
Khusus untuk karakter utama, sejak ide ini muncul, sosok dramawan Gunawan Maryanto yang menjadi pilihan Anggi. Dalam bayangan Anggi, hanya Gunawanlah yang kuat memerankan Siman. Ada sekitar 200 pemain ekstra terlibat dalam produksi The Science of Fictions. Anggi mengatakan film ini menjadi produksi terbesar yang pernah ia buat sekaligus yang paling menyenangkan sepanjang proses produksinya. Melalui latar Parangkusumo dan persawahan Yogya, Anggi mampu membuat habitat yang bagus untuk para aktor sehingga semuanya menonjol dan tampil saling mendukung. Ia berhasil menghadirkan penyutradaraan yang kuat dalam hal penciptaan adegan-adegan yang imajinatif, puitis, sekaligus simbolis.
Dalam film ini juga Anggi mengacak waktu sesukanya. Jangan menuntut adanya logika yang realis saat menyaksikan kronologi waktu dalam The Science of -Fictions. Sosok Siman yang dipotong lidahnya pada 1965, wajahnya tak ditampilkan tua saat muncul di masa sekarang. Juga pemeran-pemeran lain. Sosok Ecky Lamoh, yang memerankan figur orang kuat bak Sukarno yang bisa menghentikan proses syuting di awal film, bisa muncul lagi di bagian akhir film dengan penampilan lain sebagai orang biasa. “Memori juga kan tidak pernah urut berdasarkan kronologi,” tutur Anggi.
Seperti halnya Istirahatlah Kata-kata, film Anggi yang bertema tentang pelarian penyair Wiji Thukul di Kalimantan, melalui kisah astronaut bernama Siman ini ia berbicara tentang sejarah kekerasan yang susah kita bicarakan. Film ini juga me-refleksikan masyarakat kita yang tanpa sadar sesungguhnya banyak menikmati propaganda atau manipulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo