Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gurita Cendana di Bisnis Senjata

Untuk waktu yang lama bisnis senjata TNI tak bisa lepas dari peran serta keluarga Cendana. Kasus Tutut hanya pucuk gunung es.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang terasa mengganjal dalam parade prajurit pada ulang tahun ABRI tahun 1993. Dari tahun ke tahun peralatan tempur yang disuguhkan mendampingi barisan gagah para tentara di hadapan Presiden Soeharto hampir tak berubah. Keprihatinan itulah yang sempat dibisikkan Pak Harto kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ketika itu, Jenderal Wismoyo Arismundar. Ketika satu unit tank melintas, yang tampak adalah tank-tank yang pernah ia pakai ketika masih menjadi perwira TNI. ?Ini harus diganti,? bisik Pak Harto.

Soeharto tengah berada di puncak kekuasaannya. Bisikannya mudah ditafsirkan sebagai perintah. TNI lalu menghitung: dibutuhkan paling tidak tiga batalion tank dengan kekuatan masing-masing 50 unit. Tapi anggaran militer amat terbatas. Bujet yang tersedia paling hanya mampu untuk membayar 6 atau 7 tank.

Satu-satunya jalan lain adalah mengupayakan pembiayaan dari pos anggaran yang disebut ?on top budget?, atau yang di kalangan para komandan militer dikenal sebagai ?dana dari langit?. Dana cadangan yang terpusat di rekening Menteri Keuangan ini hanya bisa cair atas restu Presiden. ?Yang dibutuhkan, ya, hanya restu itu,? kata seorang jenderal yang dulu mengurusi pengadaan alat-alat tempur di TNI. ?Kami sudah tidak ikut-ikut, kecuali memberikan paraf untuk keperluan administrasi.?

Presiden sudah memberikan sinyal untuk membeli tank baru. Yang penting adalah menjaga agar Presiden tetap mengingat perintahnya itu. Sang pengingat itu tak lain adalah keluarga Presiden.

Seorang sumber di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bercerita, ketika itu semua yang terlibat dalam proyek semacam ini mafhum akan pentingnya peran putra-putri Soeharto. ?Waktu itu tak ada yang pernah protes dan menganggapnya sebuah kesalahan,? katanya kepada Tempo. ?Kekuasaan Pak Harto sangat sentral. Ia berjarak dengan semua anak buahnya. Di sinilah dibutuhkan anak-anak Soeharto sebagai perantara,? kata sumber itu.

Dalam urusan memasok senjata dan peralatan militer, jejak anak-anak Soeharto terekam pada awal 1990-an. Si sulung Siti Hardijanti Rukmana sebagai pelopor. Dalam aneka proyek selanjutnya, adik-adiknya seperti Siti Hutami atau Mamiek pun akhirnya ikut terjun. Sebagai imbalan, perusahaan yang dikelolanya?atau mitra yang digandeng?dijadikan konsultan. Dengan demikian, jalur bisnis tampak berjalan wajar, dan pelicin yang dikucurkan bisa dianggap sudah semestinya. ?Semua proyek pasti menganggarkan fee seperti itu, dan sah dalam bisnis,? kata seorang purnawirawan jenderal.

Bukan kebetulan pula jika di kemudian hari sebuah celah peraturan pun disiapkan khusus untuk memuluskan agar setiap pembelian melibatkan kalangan dekat Pak Harto. Tak seperti proyek lain di pemerintahan yang mengharuskan adanya tender, dengan alasan kerahasiaan negara, bisnis senjata memiliki aturan khusus.

Celah itu adalah Surat Keputusan Panglima ABRI Nomor 724 Tahun 1995, berisi petunjuk administrasi penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa di lingkungan ABRI. Pada pasal 37 keputusan ini disebutkan bahwa pelaksanaan pemborongan/pembelian di lingkungan ini tidak dilakukan dengan pelelangan umum. Di pasal selanjutnya dikatakan bahwa pengadaan melalui prosedur pemilihan langsung kepada satu pemasok dengan berbagai alasan kerahasiaan dan efisiensi.

Satu lagi yang penting adalah ketentuan mengenai rekanan. Peraturan ini mengharuskan salah satu pimpinan atau pemegang kunci pembuat keputusan semua perusahaan rekanan mestilah dijabat oleh purnawirawan/veteran/istri atau anaknya. Mereka inilah yang akan bertindak selaku penghubung antara perusahaan dan ABRI. Terbukti kemudian bahwa peraturan ini memang sangat efisien memberikan alasan kuat bagi kolusi antara para pemasok dan para petinggi militer, terutama keluarga Presiden sendiri.

Akibat lainnya pun mudah ditebak. Seperti halnya praktek kolusi lain, yang terjadi kemudian adalah aneka manipulasi. Penggelembungan nilai proyek dan harga barang-barang yang dipasok adalah modus yang paling lazim. Selama itu pula semuanya dianggap lumrah. Bahkan adalah Soeharto sendiri yang mempraktekkan modus itu pada 1985.

Seperti dituturkan seorang pebisnis senjata yang sering memasok kebutuhan militer dan polisi, pada tahun itu tentara membutuhkan penguatan armada tempur dengan peluru kendali. Dan pilihan jatuh pada rudal Rapier buatan Inggris. ?Inilah mark-up gila-gilaan yang pertama di bisnis senjata,? kata pengusaha ini. Saat ini, kata sumber ini, harga satu detasemen Rapier adalah US$ 35 juta. Dan 16 tahun lalu rudal itu dibeli dengan harga 800 juta poundsterling untuk empat detasemen, yang masing-masing berisi 16 launch peluru.

Proyek demi proyek berikutnya belajar banyak dari cara itu (lihat tabel). Jadi, kalau kini skandal suap pembelian tank Scorpion Inggris pada 1995 dan 1996 itu mencuat kembali, anggota Komisi Pertahanan DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Djoko Susilo, melihatnya hanya sebagai fenomena ?gunung es?. ?Banyak proyek lain yang melibatkan anak-anak Soeharto,? kata wakil rakyat yang sedang sekolah di Inggris ketika pembelian tank itu terjadi.

Selama Orde Baru tak ada yang protes atas praktek yang menjebol brankas negara ini, karena semua ?bisa dipertanggungjawabkan? Presiden Soeharto. Tapi kini berbagai pihak mendesak pemerintah untuk mengusut kembali kasus-kasus ini, termasuk tuntutan adanya pemberesan dalam pengaturan pengadaan barang dan jasa bagi TNI. ?Pengusutan harus lebih diarahkan pada adanya penggelembungan harga itu,? kata Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki.

Sayang, kecuali melalui pengacaranya, keluarga Cendana memilih tutup mulut atas semua tudingan ini (lihat wawancara Amir Syamsuddin). ?Sudahlah saya jamin, Mbak Tutut tidak akan bicara tentang (bisnis senjata) ini,? kata seorang kerabat dekat Cendana.

Y. Tomi Aryanto, Nezar Patria


Indikasi Mark-Up Pembelian Senjata dan Peralatan Tempur

Rudal Rapier/Blindfire 4 detasemenTahun: 1985Harga Wajar/Unit: US$35 juta per detasemen (harga saat ini)Realisasi Pembelian: 800 juta poundsterling untuk empat detasemen (16 tahun lalu) atau 200 juta pound per detasemenKeterangan: Pembelian dilakukan di bawah kendali langsung Presiden Soeharto.

Tank Amfibi BVP-2 25 unitTahun 1994Harga Wajar/Unit:US$0,5 jutaRealisasi Pembelian:US$2 jutaKeterangan:Diduga mark-up senilai US$ 37,5 juta untuk tank produksi Rusia ini.

Kapal perang eks Jerman Timur 39 unitTahun: 1994Harga Wajar:US$12 juta (Tanpa suku cadang)Realisasi Pembelian:US$ 442,8 juta (Total)Keterangan:Menurut Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie, harga sudah termasuk suku cadang dan mesin. Terdiri dari 16 korvet tipe Parchim, 14 unit landing ship tank kelas Frosch, dan 9 penyapu ranjau. Dana US$200 juta merupakan kredit dari Kreditanstat fur Wiederaufbau (KfW) milik pemerintah Jerman.

BAE Hawk 100/200 40 unitTahun: 1993- 1995Harga Wajar/Unit:US$8 jutaRealisasi Pembelian:US$30 jutaKeterangan: Kontrak melalui perantaraan PT Bheering Diant Pratama yang diduga milik Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, dengan British Aerospace. Mark-up mencapai US$ 880 juta.

Tank Scorpion 50 unitTahun: 1995Harga Wajar/Unit:US$1 jutaRealisasi Pembelian:US$2,2 jutaKeterangan:Fasilitas kredit ekspor dijalankan melalui Lloyds Bank Plc. (Inggris), Bank Exim (sekarang merger di Mandiri), dan BNI cabang London. Parik Alvis Plc. Inggris menjual melalui PT Surya Kepanjen, dengan perantaraan Tutut mewakili Global Select.

Tank Scorpion 50 unitTahun: 1996Harga Wajar/Unit:US$1 jutaRealisasi Pembelian:US$2,2 jutaKeterangan:Masih melalui Tutut, kali ini dengan perusahaan Basque.

Suku cadang Pesawat C-130 HerculesTahun: 1996Harga Wajar/Unit:US$14,1 jutaRealisasi Pembelian:US$15 jutaKeterangan:Pembelian ke Amerika Serikat melalui PT Manggala Krida Yudha yang diduga milik Siti Hutami Endang Adiningsih.

Simulator C-130 HerculesTahun: 1996Harga Wajar/Unit:US$25 jutaRealisasi Pembelian:US$30 jutaKeterangan:Melalui PT Dwipangga Sakti Prima yang diberitakan milik Siti Hutami Endang Adiningsih.

Panser V AB 89 unitTahun: 1996Harga Wajar/Unit: US$1 jutaRealisasi Pembelian: US$1,7 jutaKeterangan: Pembelian ke GIAT Industries Prancis melalui PT Bheering Diant Pratama yang dikabarkan milik Tutut.

Senapan AK47 14 ribu unitTahun: 2001Harga Wajar/Unit:US$300Realisasi Pembelian:US$360Keterangan: Pembelian melalui PT Krisjaya Mandiri, yang diduga milik mantan Gubernur Akademi Kepolisian Mayjen Polisi (Purn) Pamoedji R. Soetopo dan Austaminda Environmental, agen State Corporation Rosvoorouzheinie, Rusia.

Senjata MP5 SD 3 Kal 9 mm (buatan AS)14 ribu unitTahun: 2001Harga Wajar/Unit: -Realisasi Pembelian:US158,40 jutaKeterangan:Pelaksanaan dengan menunjuk PT Matra Perdana Mandiri melalui Deep Blue Sea Trading, Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus