Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

The Lady dan Dana dari Langit

Siti Hardijanti Rukmana dituding menerima suap 16,5 juta pound dari pabrik tank Scorpion Inggris. Peran Cendana dalam pembelian senjata terkuak lebar.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya adalah kejengkelan Chan U Seek. Warga Singapura itu merasa diperdaya oleh Alvis Vehicle Limited, perusahaan pembuat tank Scorpion berbasis di Coventry, Inggris. Tuan Chan adalah Direktur Avimo Singapore. Nama pedagang senjata itu mendadak melejit di media massa Indonesia, pekan lalu. Gugatan hukumnya kepada Alvis itu justru beranak kisruh di Indonesia.

Di pengadilan Inggris, dia mengaku punya andil atas terjualnya 100 unit tank Scorpion ke Indonesia pada 1994 sampai 1996. Total kontrak penjualan itu sebesar 160 juta poundsterling (sekitar Rp 2,8 triliun). Sebagai bekas konsultan Alvis, Chan menuntut jatah komisi sebesar 6 juta pound. Tapi, sampai delapan tahun kemudian, duit itu tak kunjung singgah ke kantongnya. Lalu, dia pun menggugat Alvis ke meja hijau. Sengketa ini sebetulnya sudah mulai reda. Awal bulan ini, keduanya dilaporkan sepakat berdamai.

Tapi koran Inggris The Guardian ternyata mengulik lagi soal itu. Dalam laporan mereka dua pekan lalu, tercium banyak hal tak patut di balik penjualan senjata itu. Apalagi, dalam kontrak ada perjanjian, senjata itu tak boleh dipakai menumpas pemberontakan dalam negeri. Sebelumnya, protes keras juga muncul dari Campaign Against Arm Trade (CAAT) yang berpusat di London. Mereka mencatat, pada masa rezim Orde Baru, Indonesia memakai Scorpion di Timor Timur. Terakhir, setahun lalu, Scorpion turut menyengat para pemberontak di Aceh.

Atas nama hak kebebasan informasi, The Guardian meminta pengadilan membuka ke publik berkas keterangan saksi dalam perkara Chan versus Alvis. Dan terkuaklah fakta heboh: Alvis memberikan komisi yang secara halus disebut ?pajak? atau ?insentif? sebesar 16,5 juta poundsterling (Rp 291 miliar) kepada Siti Hardijanti ?Tutut? Rukmana. Duit itu, katanya, termasuk pula jasa untuk Chan. Mbak Tutut, putri sulung bekas presiden Soeharto itu, diberi kode The Lady.

Dalam sekejap, berita itu pun turut membisingkan Tanah Air. Departemen Pertahanan angkat bicara. Direktur Jenderal Sarana Pertahanan Aqlani Maza membongkar kembali berkas kontrak sekitar sepuluh tahun lalu itu. Dokumen kontrak itu ternyata setebal lima jari dan terbagi dua. Bersampul hijau, keduanya memuat kontrak dalam dua periode.

Kontrak pertama diteken pada 13 Januari 1995 oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Wismoyo Arismunandar. Direktur Komersial Alvis Vehicles Limited, Geoffrey Charles Abel, bertindak selaku penjual. Nilai kontak sekitar 79 juta pound atau US$ 2,2 juta per unit. Total pembelian 50 unit, terdiri dari tank Scorpion 30 unit dan 20 unit kendaraan angkut personel (APC, armoured personal carrier) berbagai jenis. Total 50 unit. Harga itu, kata Aqlani, sudah termasuk ongkos pelatihan para awak dan teknisi.

Kontrak kedua diteken Jenderal R. Hartono selaku Kepala Staf Angkatan Darat pada 19 Agustus 1996. Alvis masih diwakili Geoffrey Charles Abel. Nilai kontrak 81 juta pound. Tipe alat tempur yang dibeli sama dengan pertama, yaitu dua jenis tank Scorpion-90 Danton, Scorpion-90 Santon, tambah kendaraan angkut personel dengan berbagai tipe. Jumlah seluruhnya 50 unit.

Pada kedua berkas kontrak itu, kata Aqlani, ?Tak ditemukan nama Mbak Tutut.? Tapi nama lain muncul, yaitu PT Surya Kepanjen, sebagai agen Alvis di Indonesia. Bos perusahaan itu adalah Ny. Widhorini S. Sukardono atau dikenal sebagai Rini Soewondho.

Barangkali untuk mengecilkan peran Tuan Chan, Rini membeberkan kesaksiannya dengan lugas. Putri bekas Pangdam Jawa Timur Brigadir Jenderal Soewondho itu mengatakan sudah terjun di bisnis senjata sejak 1979. Sebagai agen, dia telah membujuk petinggi TNI AD membeli Scorpion sejak 1992. Karena anggaran militer terbatas, soal pembelian jumlah besar harus melewati meja Presiden. Agar RI 1 setuju, kata Rini, harus ada cantelan ?lingkaran dalam? yang tepat. ?Saya berhasil mengatur pertemuan dengan anggota inner circle,? ujar Rini seperti dikutip dari dokumen kesaksiannya itu.

Yang dimaksud Rini tak lain adalah Mbak Tutut. Nama Tutut jelas disebut oleh Nicholas Martin Prest, Ketua dan Kepala Eksekutif Alvis Plc. Kata Martin, orang yang disebut Rini itu mereka panggil Madam Tutut. ?Nama sebenarnya adalah Nyonya Siti Rukmana, putri sulung Presiden Soeharto,? ujar Nicholas Martin atau Nick, seperti dikutip dari dokumen kesaksian pengadilan itu. Pertemuan dengan Tutut, kata dia, berlangsung pada Februari 1994.

Saat itu Tutut mengatakan siap membantu dan minta pengaturannya diikat dalam perjanjian konsultan. Tutut pun memberikan jasanya lewat perusahaan bernama Global Select. Akhirnya, pada 7 Mei 1994 ditekenlah perjanjian antara Alvis Plc. dan Global Select. Sejak saat itu Rini bekerja erat dengan Tutut. Menurut Nick, Madam Tutut adalah, ?Jembatan untuk menembus berbagai pihak, dari Menteri Pertahanan di lain pihak, dan Presiden, Bappenas sampai Kementerian Keuangan,? ujar Nick. Setelah Global Select, pada kontrak kedua Tutut memakai bendera lain, yakni Basque.

Manajer Penjualan International Alvis Lionel Steele menyampaikan fakta yang sama. Menurut dia, PT Surya Kepanjen dan Global Select telah memuluskan pembelian tank itu. Peran Tutut, kata Steele, adalah membujuk Presiden agar setuju mengucurkan ?on top budget?. Maklum saja, anggaran belanja TNI saat itu terlalu kecil bagi pembelian alat tempur berjumlah besar. Satu-satunya jalan adalah mengucurnya ?on top budget? itu.

Kesaksian dari Inggris itu tampaknya mempertebal kisah bisnis Cendana pada zaman jayanya rezim Soeharto. Menurut seorang perwira tinggi Mabes ABRI, saat itu Tutut bisa meloncati semua prosedur. ?Saya turut memberikan paraf di proposal itu,? ujar sumber yang menolak disebut namanya itu. Tapi, menurut dia, cuma kepentingan pencatatan. Selebihnya, dia mengaku tak tahu sama sekali. Apalagi skema pembelian memakai cara kredit ekspor. Gerilya Tutut lebih efektif karena kata akhir pembelian itu sangat bergantung pada ayahnya, Presiden Soeharto.

Waktu itu, kata sang perwira, Tutut bisa masuk lewat pintu mana saja. Bahkan, dia tak segan memotong prosedur. Mau protes? ?Mana ada, sih, yang berani. Jenderal saja digebuk, kok,? tuturnya. Posisi Soeharto yang sangat kuat, kata dia, memang menguntungkan. Dia bahkan berkuasa memutar keran uang. Termasuk pembelian senjata dengan skema kredit ekspor, yang tak dapat ditanggung anggaran tahunan APBN. Harapan terakhir biasanya pada pundi dana cadangan Menteri Keuangan. Tapi uang itu hanya bisa cair atas perintah Presiden. Inilah ?on top budget? itu. ?Kami menyebutnya dana dari langit,? kata sumber itu.

Sudah jadi rahasia umum, pembelian senjata adalah jatah bisnis lingkaran Cendana. Bukan cuma putra-putrinya, Soeharto sendiri pernah turun tangan. Misalnya, Soeharto menangani langsung pembelian rudal Rapier asal Inggris pada 1985. Seorang pialang senjata berkisah bahwa mark-up harga sangat brutal pada waktu itu. Soeharto bahkan pernah membeli 4 detasemen Rapier seharga 800 juta pound. ?Padahal, sekarang saja 1 detasemen cuma berkisar US$ 35 juta,? ujar si broker senjata. Bayangkan, duit proyek itu membengkak hampir tujuh kali lipat.

Tentu, saat itu bisnis The Cendana Kids ini haram diganggu. Para petinggi militer pun seperti berebut memberikan proyek kepada anak-anak Soeharto. Imbalannya lumayan. Ada jenderal naik pangkat gara-gara pintar melayani kemauan putra-putri Presiden. ?Dengan proyek Scorpion itulah Jenderal Hartono naik jadi KSAD,? kata dia. Hartono sebelumnya Kassospol ABRI. Setelah proyek Alvis, dia memang naik pangkat menggantikan posisi Wis-moyo Arismunandar sebagai KSAD.

Saat dimintai konfirmasi, Hartono membantah terlibat dalam patgulipat pembelian tank Kalajengking itu. Menurut dia, secara struktural, dia tak punya wewenang. Posisinya saat itu Kepala Staf Sosial dan Politik (Kassospol). Lalu naik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Kepala Staf, kata dia, tak berhak campur tangan dalam pembelian senjata. ?Itu kewenangan Mabes ABRI, yang administrasi keuangannya berada di Departemen Pertahanan dan Keamanan,? ujarnya. Dari angkatan, kata Hartono, usul masuk ke Markas Besar. Lalu proses berlanjut ke Departemen Pertahanan, Bappenas, dan Departemen Keuangan.

Namun Hartono tak membantah bahwa dia bersama Kepala Staf Umum ABRI Letnan Jenderal H.B.L. Mantiri sempat bertandang ke London. Waktu itu, kata Hartono, dia diajak oleh Mantiri yang menjabat Kepala Staf Umum ABRI. Kapasitasnya adalah sebagai orang dari kesatuan kavaleri. ?Saya pernah menjadi Wakil Komandan Pusat Persenjataan Kavaleri pada 1986,? ujarnya.

Setidaknya, kata Hartono, dia orang yang mengerti tentang tank. Dia pernah menangani Scorpion pada 1976. Hartono mengaku dia juga memberikan rekomendasi agar kavaleri membeli tank yang mampu bergerak cepat di segala medan itu. Urusan duit? ?Wah, saya tak mengerti,? ujarnya. Menurut dia, proses negosiasi pembelian tank itu sudah berjalan sejak 1992.

Kesaksian Nick Prest dari Alvis berkata sebaliknya. Menurut dia, pada Juli 1994, Panglima ABRI mengirim surat ke Presiden yang meminta tambahan duit US$ 250 juta. Atas usul Global Select, undangan resmi dikirimkan Alvis untuk dua Kepala Staf ABRI, yaitu Letjen Mantiri dan Letjen Hartono, untuk berkunjung ke pabrik Alvis di Coventry. Maksud kunjungan itu adalah membuat ABRI kian yakin dan segera meneken kontrak. Madam Tutut, kata dia, menyertai mereka. ?Saya ada di sana selama kun-jungan,? ujar Nick.

Nick juga mendengar bahwa tak lama setelah kunjungan itu, ABRI memotong anggaran tambahan mereka untuk proyek ini. Awalnya US$ 250 juta, lalu menjadi US$ 125 juta. Dengan dana separuh itu, ABRI tetap ingin mendapatkan pengiriman sekitar setengah dari total 100 unit tank Scorpion. Tujuannya, agar tank itu bisa merayap di Ibu Kota saat Hari Ulang Tahun ABRI ke-50. Tentu saja, dengan waktu yang mepet, Alvis dibikin repot. Tank itu, kata Nick, akhirnya dapat dikirim dengan angkutan udara sebanyak 26 unit pada September 1995.

Meski begitu, perjuangan Alvis, kata Nick, belum selesai. Pada 1996, ada perdebatan tingkat tinggi di ABRI untuk melakukan pembelian batalion kendaraan berikutnya. ?Kami saat itu menghadapi saingan berat dari Korea,? ujarnya.

Tawaran harga tank buatan pabrik Daewoo dari Korea itu lebih murah. Bahkan kreditnya ringan. Tapi mereka bisa menang karena memperoleh dukungan dari Departemen Pertahanan dan Keamanan Indonesia. ?Madam Tutut sangat penting dalam mencapai hal ini,? ujar Nick. Jenderal Hartono pula, kata dia, yang mengatur pertemuan penting dengan Presiden pada Februari 1996. Saat itu Hartono mendesak keras pentingnya tank Scorpion. Tak lama, duit dari Departemen Keuangan pun cair.

Hartono sendiri mengaku tak tahu soal tank Korea itu. Setahu dia, Korea tak membuat tank, tapi kendaraan angkut personel. Justru dia mendengar bahwa Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie akan membeli tank Leopard bekas buatan Jerman. Kendati tank itu sudah computerized, menurut Hartono, tetap barang usang, buatan 1972. ?Saya bilang, itu sudah tak benar,? ujarnya. Beratnya saja, kata Hartono, sudah 60 ton. Padahal, berat maksimal bagi medan Indonesia cuma 25 ton.

Tapi usul Habibie itu ternyata sudah disepakati Pangab Jenderal Feisal Tanjung dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman. ?Saya lapor ke Pak Harto,? ujar Hartono. Sebagai perwira kavaleri, Hartono berpendapat, beli Leopard bekas itu cuma buang duit. Akhirnya, rencana itu pun gagal.

Bukan cuma kali itu saja Hartono menikung Habibie. Menurut dia, ada rencana dari Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) untuk tukar guling tank angkut personel buatan Korea Selatan dengan pesawat CN 235 sekitar tahun 1996. ?Saya minta analisis Pussenkav, mereka tak setuju,? ujarnya. Korea bukanlah pembuat tank yang baik. Lagi pula, untuk kendaraan angkut personel, Indonesia tak butuh sampai 80 unit. Hartono saat itu hampir gagal. Lalu, Soeharto turun tangan lagi. Akhirnya, ?Tak jadilah kendaraan itu dibeli,? ujarnya.

Selain soal pesawat terbang, Habibie rupanya punya obsesi dalam soal senjata. Pada pertengahan 1980-an, Habibie pernah berniat membuat tank Scorpion sendiri. Salah seorang pejabat tinggi Bappenas mengatakan, Habibie sudah mencoba membeli lisensi dari Inggris. Artinya, tank itu bakal diproduksi Pindad. ?Lebih hemat dan ada alih teknologi,? ujar sumber yang menolak disebut namanya itu. Tapi rencana itu ditolak Mabes ABRI. Menurut sumber itu, kalau tank diproduksi dalam negeri, banyak jenderal bakal kehilangan rezeki dari komisi pembelian senjata.

Selain kesaksiannya di Inggris itu, Rini Soewondho memilih bungkam. Setelah heboh kasus sogok itu, rumahnya di Jalan Cikini IV, Jakarta Pusat, mendadak sepi. Dia juga tak terlihat di kantornya, BII Tower lantai 12, Jalan Thamrin. Menurut salah satu karyawannya, Rini menjenguk cucunya yang sedang sakit di luar kota. Kepada Jawa Pos, Rini mengatakan dia tak tahu-menahu urusan duit sogokan itu. Kalaupun duit itu ada, itu tak bisa disebut suap, karena Tutut berperan sebagai konsultan. Selebihnya adalah urusan Tutut dan Alvis.

Tutut menolak diwawancarai Tempo mengenai pembelian Scorpion ini. Sampai Sabtu pekan lalu, semua kontak sudah dicoba, termasuk mendatangi rumahnya di Jalan Cendana. Tapi si Mbak tetap menolak. Dia hanya mau berbicara lewat kuasa hukumnya, Amir Syamsuddin. Hanya sepatah kata dari Mbak Tutut: ?Semua kehebohan ini tak perlu terjadi. Saya tak pernah menerima uang fee 16,5 juta pound itu,? ujarnya seperti ditirukan Amir.

Nezar Patria, Y. Tomi Aryanto, Indra Darmawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus