Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gus Dur Ditekan, Gus Dur Menyerang

Operasi penangkapan para koruptor terus dilakukan. Tapi rencana rokade menteri urung diumumkan.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


INILAH taktik politik cattenacio ala Gus Dur. Menghadapi tekanan politik yang terus menjepit, Presiden Abdurrahman Wahid justru tambah galak menyerang balik. Pekan-pekan ini, untuk mengatrol citranya yang sedang terpuruk, ia semakin bersikap "tiada ampun" bagi para koruptor. Tersangka Ginandjar Kartasasmita sudah ditahan. Terpidana Bob Hasan dikirim ke Nusakambangan. Belakangan, Ali Wardhana, mantan Menteri Keuangan, ditetapkan sebagai tersangka. Dan sejumlah tokoh lain terus diincar. Sambil mencuri simpati masyarakat, Presiden berupaya "menghajar" pusat-pusat kekuatan lawan.

Kendati cara itu—sementara ini—kelihatannya cukup manjur, Abdurrahman rupanya mulai pula berpikir untuk menerapkan cara lain. Untuk mempertahankan diri, sekaligus mengadu domba pihak lawan, ia membocorkan rencananya untuk merokade beberapa menteri. Kabar yang semula masih sayup-sayup ini kian santer terdengar Jumat malam pekan lalu. Bahkan, seorang staf di Istana Negara memastikan, pada Sabtu pagi sekitar pukul 11.00 WIB, pergeseran itu bakal diumumkan.

Arifin Junaidi, Sekretaris Dewan Syura PKB, juga menebarkan kepastian. "Rencananya memang hari ini (Sabtu) diumumkan. Entah pagi atau sore, itu terserah protokol," katanya kepada TEMPO. Namun, sampai hari berganti, rokade itu urung disiarkan. Hari itu, Abdurrahman Wahid malah pergi ke kawasan Matraman untuk menghadiri acara siraman keluarganya. Sore harinya, ia menghadiri rapat DPP PKB di Kuningan, Jakarta. Ketika ditanya pers seusai rapat, Presiden menepis kabar tentang pencopotan Marzuki Darusman. "Siapa yang mau mencopot?" kata Abdurrahman. Maka, buyarlah rencana itu.

Padahal, skenarionya sempat tersusun rapi. Baharuddin Lopa, yang kini Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, kabarnya akan menjadi jaksa agung menggantikan Marzuki Darusman. Tapi Marzuki tidak dibuang. Tokoh Golkar tersebut bakal menjabat Menteri Pertahanan, menggeser Mahfud Md. Lalu, Mahfud akan mengisi kursi yang ditinggalkan Lopa. Dua pekan lalu, kepada TEMPO, Mahfud juga mengakui adanya rencana tukar posisi itu. Orang Madura ini sudah mendengar bahwa dirinya akan dipindah ke Departemen Kehakiman. Tapi, "Saya kira Pak Lopa sudah tepat di situ. Jadi, bisa saja saya dipulangkan ke kampus," ujarnya sambil ketawa.

Simpul rencana pertukaran kursi itu sebenarnya bertumpu pada Marzuki Darusman. Sudah lama ia disebut-sebut bakal diganti karena dianggap terlalu lamban menangani kasus korupsi yang melibatkan para mantan pejabat Orde Baru. Menurut Arifin Junaidi, keluhan itu sudah berkali-kali disampaikan kepada Abdurrahman. "Dan sekarang, bukan hanya PKB yang ingin Marzuki diganti, tapi juga masyarakat," katanya.

Namun, sejauh ini, Marzuki cukup pandai berkelit. Tokoh Golkar itu baru bergerak setelah berkali-kali diancam akan dipecat oleh Presiden. Di ujung Februari lalu, ia diminta menjerat 10 koruptor kelas kakap, tapi hanya beberapa yang diciduk. Lalu, pertengahan Maret lalu, datanglah ultimatum dari Abdurrahman Wahid. Ia disuruh menangkap tiga tokoh penting. Kalau tidak berhasil, pada akhir Maret, ia bakal digusur.

Menurut sumber TEMPO, salah satu tokoh itu adalah Ginandjar Kartasasmita, yang telah menjadi tersangka dalam kasus technical assistance contract untuk pengeboran empat sumur minyak. Dua lainnya yang masih diincar adalah Arifin Panigoro, Ketua Fraksi PDI-P di DPR, dan Fuad Bawazier, tokoh Poros Tengah. Presiden, menurut sumber TEMPO, mengatakan, jika salah satu dari tiga serangkai ini bisa ditangkap, orang itu akan "menggigit" dua orang lainnya.

Setelah diancam, Marzuki bagai berpacu dengan waktu. Dengan segala upaya, ia berusaha menahan Ginandjar. Tapi mantan Menteri Pertambangan dan Energi itu cukup licin. Saat diperiksa, sesepuh Golkar tersebut sempat kabur dengan alasan mau berobat ke dokter. Rencana penahanan pun gagal. Akhirnya, Jumat malam pekan lalu, Marzuki dipanggil Presiden. Saat itulah kabar mengenai tukar posisi menteri kian merebak. Tapi, setelah keluar dari Istana, belum ada tanda-tanda ia akan digeser. "Tidak ada pembicaraan soal pergantian," kata Marzuki kepada TEMPO.

Dalam pertemuan itu, kata Jaksa Agung, mereka hanya membicarakan kasus yang sedang ditangani kejaksaan. Di antaranya perkara PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang melibatkan Ali Wardhana. Yang menarik, mantan Menteri Keuangan itu baru ditetapkan sebagai tersangka satu jam sebelum Marzuki bertemu dengan Presiden. Dan perkara Ginandjar turut dibahas juga. Tapi, kata Marzuki, "Itu hanya disinggung sedikit karena beliau sudah mengetahui perkembangannya."

Dari situ tampak sekali Jaksa Agung sedang mengejar setoran gara-gara "ditekan" Presiden. Nyatanya, keesokan harinya, ia langsung mengirimkan Tim Penyidik Kejaksaan Agung untuk "menjenguk" Ginandjar yang dirawat di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta Selatan. Dan di situ tim yang dipimpin Direktur Penyidikan Dibyo Saleh itu membacakan surat penahanan buat Ginandjar.

Di mata Rully Chairul Anwar, penahanan tersebut terkesan terlalu dipaksakan karena tersangka dalam keadaan sakit. Wakil Sekretaris Jenderal DPP Golkar itu melihat, politik telah menunggangi hukum. Rully juga mencium iktikad buruk di balik ultimatum yang diberikan kepada Jaksa Agung. Ada upaya membelah tokoh-tokoh Golkar. Dengan diancam akan dipecat, Marzuki berada dalam posisi sulit. "Ia harus memilih: kehilangan jabatan atau kehilangan kawan-kawan (di Golkar)," ujarnya.

Bisa jadi, Marzuki tak mau kehilangan kedua-duanya. Hanya, keberaniannya untuk menahan Ginandjar tidak menjamin ia lepas dari ancaman diganti. Konon, proses rokade itu macet lebih karena ganjalan dari kalangan TNI. Menurut sumber TEMPO di lingkungan Angkatan Darat, mereka kurang suka bila Marzuki tampil menjadi Menteri Pertahanan. Pengetahuan dan pengalamannya dalam urusan pertahanan dianggap kurang. Mereka berharap Presiden menunjuk tokoh dari kalangan TNI sendiri yang memimpin departemen tersebut.

Demikian pula ihwal penempatan Lopa sebagai jaksa agung. Kabarnya, sebagian petinggi TNI kurang suka terhadap figur yang tak kenal kompromi itu. Mantan Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tersebut dikhawatirkan bakal menyeret para jenderal yang terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur ke pengadilan. Sekarang saja Lopa telah membuat gebrakan yang mengejutkan: mengirim terpidana Bob Hasan ke Nusakambangan.

Faktor Megawati pun perlu dihitung. Teorinya, untuk memperkuat pertahanan Abdurrahman, dukungan Wakil Presiden harus diraih sebelum kebijakan apa pun diambil. Tapi, sejauh ini, menurut sumber TEMPO di PDI-P, Megawati tak mau memberikan pertimbangan apa pun. Ada yang melihat, hal itu menunjukkan bahwa ia menghargai kewenangan Presiden yang mempunyai hak prerogatif. Tapi ada juga yang menilai Megawati telah patah arang.

Apa pun alasan di balik batalnya rencana tukar posisi, tampaknya, Presiden Abdurrahman Wahid masih dalam keragu-raguan. Di satu sisi, ia ingin Kejaksaan Agung lebih berfungsi. Tapi, di sudut yang lain, ia masih menakar untung-ruginya secara politik. Padahal, di kalangan PKB, sudah tersebar keyakinan bahwa Abdurahman sudah setuju Lopa ditaruh di kejaksaan. Demikian pula penempatan Mahfud di Departemen Kehakiman. Yang masih mengganjal, kata mereka, hanya satu: menunjuk Marzuki sebagai Menteri Pertahanan.

Hanya, keyakinan orang-orang PKB itu bisa meleset. Sebab, ada tanda pula Presiden belum mantap betul untuk menempatkan Lopa di kejaksaan. Ini tersirat dari pengakuan Adhi M. Massardi. Menurut juru bicara Presiden itu, Abdurrahman memang pernah membahas masalah ini. Kata Adhi, Presiden sudah mempunyai program besar yang harus dilakukan Lopa, yaitu menata hakim. "Walaupun jaksa telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, semua perkara percuma saja kalau hakimnya brengsek," katanya mengutip Presiden.

Dalam soal itu, Abdurrahman tak salah. Tapi hakim yang baik pun tak dapat berbuat apa-apa jika jajaran kejaksaan tidak menyelesaikan tugasnya dengan baik. Harap sabar, membenahi negara memang bukan perkara gampang.

Gendur Sudarsono, Adi Prasetya, Andari Karina Anom, Rommy Fibri, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus