Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Cerita Indah Anak Indonesia

Dokumentasi drama anak Nusantara hadir lagi di layar kaca. Masih bercerita tentang Indonesia yang indah.

8 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


TUBUH hitam itu meloncat, lalu tempuling berkait tajam menghunjam laut. Seketika, seekor ikan besar menggelepar, tak berdaya. Sang ikan ditarik, biduk dikayuh, dan para pemburu ikan itu pulang dengan riang. "Semua orang akan kuberi tahu ikan pari yang kudapat," kata Nasu, bocah nelayan dari Lamalera, Nusatenggara Timur, sambil memanggul ekor ikan itu keliling kampung.

Keceriaan Nasu, yang belajar tentang tradisi tua pemburu baleo (paus) lewat dunia bermain anak nelayan lokal yang khas, hanyalah satu gambar anak Indonesia dari 32 paket video multikultur Pustaka Anak Nusantara (PAN), berjudul Ikan Pariku yang Pertama. Inilah tontonan baru yang lahir dari ide Kelompok Visi Anak Bangsa—sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pengajaran sipil—yang tampil setiap Minggu pagi di TVRI dan SCTV sejak awal Maret silam. Untuk mereka yang tertinggal karena jam penayangannya yang terlalu pagi, silakan menikmatinya melalui video compact disc (VCD) dan buku, yang dijual bebas dan disebar ke sekolah-sekolah di Indonesia.

Dengan target penonton anak usia taman kanak-kanak hingga kelas enam sekolah dasar, Garin Nugroho memberi supervisi kepada 15 sutradara muda untuk menjelajahi berbagai wilayah terpencil di Indonesia untuk memperoleh ilham cerita tayangan ini. Dari belantara Papua hingga Pulau Penyengat Riau, setiap tayangan itu diharapkan mendidik penonton anak-anak tentang keragaman kebudayaan Indonesia.

Pengulangan kisah sukses Anak Seribu Pulau? Ya dan tidak. Dari segi tema, sudah jelas paket Pustaka Anak Nusantara terpengaruh oleh keberhasilan Anak Seribu Pulau. Apalagi, paket tayangan Anak Seribu Pulau, yang ditayangkan empat tahun silam, juga dilahirkan oleh serombongan sutradara dan produser seperti Garin Nugroho (juga) dan Mira Lesmana. Episode Rawa dan Dusun Saya karya Asep Kusdinar, 29 tahun, misalnya, yang menggunakan Rawa Biru suku Kanum—60 kilometer dari Merauke—di Taman Nasional Wasur, akan mengingatkan penonton pada episode Rumah Luasku, karya Garin Nugroho dalam paket Anak Seribu Pulau (1996).

Dari segi penggarapan, apa boleh buat, paket ini terasa kurang menggigit. Mengapa ? "Paket Anak Seribu Pulau menggunakan format film, sedangkan kami menggunakan video," ungkap Koko L.F. Kartiko, 32 tahun, yang menjabat sebagai produser pelaksana paket Pustaka Anak Nusantara.

Selain itu, ASP dibesut sutradara berpengalaman, seperti Garin sendiri dan Mira Lesmana. Sedangkan PAN digarap sutradara muda—bahkan ada yang tak punya jam terbang. Bekal lampu 400 watt dua buah, kamera standar Betacam, tujuh hari shooting di tengah gejolak keamanan juga terasa menekan. Meski begitu, teknik bagus muncul juga. Misalnya pada adegan bawah air dalam Anak di Bentang Sungai Amandit (dengan sutradara Lianto Luseno).

Tapi, eksplorasi cerita baru bukannya tidak ada. Dian Sasmita, 25 tahun, sutradara wanita pemula, membesut penari zappin di komunitas tertutup Arab Palembang.

Yang patut dicatat, dokudrama kali ini memotret uniknya budaya, nilai keluarga, persahabatan, dan tradisi kerja dengan baik. Riset yang cermat, dikerjakan oleh tim khusus, membantu menemukan gambar utuh budaya. Di setiap gambar, aktivitas fisik muncul dengan aspek nonfisiknya. Hanya, tajam-tidaknya bergantung pada kemampuan "menangkap" tiap-tiap sutradara. Dalam Singa si Alun, sutradara Ravi L. Bharwani terlihat mencoba memotret kemiskinan Cina di Singkawang. Sayang, gambarnya terlalu molek untuk kemiskinan yang pahit.

Setiap tokoh, selain sebagai anak yang gembira dan khusyuk dalam doa, juga anak yang bahagia di keluarga dan lingkungannya. Itu memang resep lama. Namun, Garin yakin tidak akan kekurangan daya tarik. Kuncinya, kata Garin, sederhana saja. "Program harus punya adonan sensasi gambar dan pameran perhatian yang kuat," ia menjelaskan. Dan sajian permainan anak, keindahan alam, petualangan, dan kebiasaan unik bisa diekploitasi. Lihat, betapa entengnya Nasu menelan mata ikan mentah, Samuel Ndimar makan daging ntouri (kanguru) dalam upacara bakar batu di Irian, atau si kecil Alun dari Singkawang bersilat menarikan barongsai. "Kami berusaha menyampaikannya secara wajar, tanpa menggurui, sesuai dengan psikologi anak," tutur Garin.

Garin sengaja tidak bercerita tentang kepedihan anak Indonesia, seperti pernah dibuatnya dalam Dongeng si Kancil untuk Kemerdekaan (1996). Cerita kekerasan tidak pas untuk paket pendidikan. Adegan pembunuhan ikan dalam Ikan Pariku yang Pertama tak direkamnya, meski diakuinya menarik. "Itu tidak mendidik," ujarnya.

Tema semacam itulah yang membuat Indofood tertarik untuk mencukongi PAN. "Program anak memang prioritas utama," kata Eva Riyanti Hutapea, Presiden Direktur Indofood. Mereka setuju membuat paket pendidikan yang mengajak anak mengenal budaya teman sebangsa, agar punya toleransi dan bisa bekerja sama.

Paket ini bukan permulaan, tak juga pamungkas. "Karya pendidikan multikultur wajib dikelola sampai jadi perilaku indrawi," ujar Garin. Memang, pendidikan multikultur semestinya tak lantas berakhir. Pertanyaannya, apakah selalu dengan cerita indah.

Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus