Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI anak dan bapak, Ginandjar mengikuti jejak Soeharto. Kamis pagi kemarin, salah satu menteri terlama Orde Baru itu melangkahkan kaki ke Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP), Jakarta Selatan. Di sini ia meringkuk di kamar very very important person nomor 603. Persis di sebelah kamar 604, di bangsal yang sama, tempat Soeharto pernah bolak-balik dirawat. Ia, sama dengan "bapak"-nya tadi, dinyatakan sakit, dan (untuk sementara, semoga) mantan orang kuat Republik itu lolos dari jerat hukum.
Dibandingkan dengan Soeharto yang nyaris hilang ingatan, Ginandjar boleh dibilang tergolong "sehat". Kata pengacaranya, Muchyar Yara, kondisi kliennya bagus, tidak sakit parah. Cuma ada soal di tangan kirinya yang kesemutan dan badan meriang. Tapi Bung Joniebegitu ia disapalancar berkomunikasi, meski agak stres karena dikejar-kejar jaksa. "Saya lihat, sih, ada infus di tangan kirinya," kata Yara.
Sakitnya politisi kawakan ini bertepatan dengan keluarnya surat perintah penahanan kejaksaan untuknya. Persis ketika Presiden Abdurrahman Wahidyang posisi politiknya sedang amat terjepitmengeluarkan ultimatum keras. Jika Ginandjar tak ditangkap sampai 31 Maret kemarin, Jaksa Agung Marzuki Darusman akan digeser dari Gedung Bundar. Mantan Menteri Pertambangan dan Energi ini memang lagi kencang diburu. Ia dijadikan tersangka karena dituduh ikut meloloskan kontrak bantuan teknis (technical assistance contract) pengeboran kembali empat sumur minyak di Jawa Barat dan Sumatra Selatan. Dalam kasus berbau korupsi ini kas negara dibobol US$ 24,8 juta.
Sempat enam bulan mengasingkan diri ke Boston, Amerika Serikat, Ginandjar layak jerih. Dua tersangka lainnya telah lebih dulu dijebloskan ke sel kejaksaan. Rabu pekan lalu, sehari sebelum ia diopname, Direktur Utama PT Ustraindo Petro Gas, Praptono H. Upoyo, ditahan. Adapun mantan direktur utama Pertamina, Faisal Abda'oe, sudah sejak 28 Maret lalu menginap gratis di Gedung Bundarmeski Kamis kemarin "dilepas", menjadi tahanan rumah, dengan alasan jantungnya kumat.
Selasa sebelumnya, menjawab 26 pertanyaan selama tujuh jam, Ginandjar diperiksa sebagai saksi di Gedung Bundar. Sempat mangkir, hari itu ia datang juga karena surat izin dari Panglima TNI atas pemanggilannya sebagai saksi telah keluar. Pembelanya bersikeras cuma bersedia diperiksa oleh tim koneksitas, karena saat kasus ini terjadi (1992-1993) Ginandjar adalah seorang perwira militer aktif berpangkat marsekal muda.
Pemeriksaan akan dilanjutkan keesokan hari. Datang di kejaksaan pagi, Ginandjar mengatakan kurang enak badan dan minta izin pergi ke RSPP pukul satu siang untuk diperiksa dr. Soemarno, dokter pribadinya yang ahli penyakit dalam. Pemeriksaan dihentikan. Penyidik minta ia menunggu dan akan mendatangkan dokter kejaksaan untuk memeriksanya. Ginandjar menolak. Ia mengatakan cuma bersedia diperiksa dr. Soemarno. Sore hari, heboh terjadi. Tanpa izin penyidik, berikut pengawal dan pengacaranya, Ginandjar gopoh meninggalkan ruang pemeriksaan dan masuk ke dalam Volvonya. Menurut dua sumber TEMPO, keputusan "cabut" diambil setelah pengacara Ginandjar mendapat bisikan gawat. Seorang oditur militer yang menjadi anggota tim penyidik koneksitas rupanya membocorkan bahwa surat penahanan segera diteken oleh Direktur Penyidikan Soedibyo Saleh. Ginandjar mestinya masuk sel sore itu juga.
Ketua tim penyidik Barman Zahir kontan mengejar. Menggedor kaca dan atap mobil, ia minta Ginandjar berhenti. "Tunggu, tunggu, Pak. Kami sedang mendatangkan dokter. Sebentar lagi dokter dari RSPP datang. Anda belum selesai diperiksa," kata Barman. Tak digubris. Mobil Ginandjar malah tancap gas dengan kecepatan tinggi. Sambil berlari, Barman minta gerbang belakang ditutup. Baru dirapatkan setengah, mobil Ginandjar menerjang. Volvo hitam pun tak tertahan melesat ke jalan raya.
Wakil ketua majelis yang terhormat itu kabur dari pemeriksaan? Ginandjar membantahnya. "Saya minta izin untuk berobat ke dokter, karena sudah keluar keringat dingin. Tapi selama empat hingga lima jam tidak ada jaksa yang memeriksa. Kami dibiarkan saja. Ini hukum apa?" katanya sengit. Menurut Muchyar, sejak pagi penyidik telah menyatakan pemeriksaan selesai. Ginandjar disepakati cuma menjawab satu pertanyaan tentang kondisi kesehatannya. Pihaknya juga baru belakangan tahu bahwa dr. Soemarno telah dipanggil penyidik, dan sedang dalam perjalanan ke kejaksaan untuk memeriksa Ginandjar.
Rabu malam itu juga, pukul 22.00, datang surat panggilan berikut untuk kembali diperiksa besok pagi. Kali ini sebagai tersangka. Tapi surat izin dari Panglima TNI tak dilampirkan. Maka, jangankan ke Gedung Bundar, Ginandjar memilih dirawat inap di RSPP. Dan ia nyaris menjadi kartu mati di tangan Jaksa Agung Marzuki, yang diultimatum Presiden akan segera dicopot bila gagal menangkap Ginandjar per 31 Maret ini.
Upaya aparat penyidik menyegerakan penahanan membentur tembok kukuh. Pensiunan marsekal ini rupanya kuat dilindungi korps asalnya: militer. Para penasihat hukum dari Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI dan pengawalan polisi militer selalu ketat menempelnya.
Dikejar tenggat Presiden, Kamis itu juga tim kejaksaan memburu Ginandjar sampai ke rumah sakit. Sekitar pukul delapan malam, menurut seorang jaksa, tiga penyidikY.W. Mere, Fahmi, dan Nawir Anasdatang membawa surat perintah penahanan. Tapi langkah mereka cuma sampai ruang tunggu di muka bangsal. Pintu kamar Ginandjar tertutup rapat. Di depannya berdiri dua orang polisi militer dan Letkol Payaman Pangaribuan dari Badan Pembinaan Hukum TNI. Mereka dilarang masuk. Para penyidik bersikeras. Alasannya, mereka perlu mengecek separah apa sebenarnya sakit Ginandjar dan menyampaikan surat penahanan. Adu mulut terjadi.
Payaman bilang ini atas perintah Panglima TNI. Penyidik tak mau kalah. Mereka bilang bertindak atas nama undang-undang dan diperintah Jaksa Agung. Suara Payaman malah meninggi. "Saya tidak tunduk kepada Jaksa Agung, saya hanya tunduk kepada Panglima," kata sang jaksa menirukan. Dari dalam kamar Ginandjar, seorang perwira berpangkat letkol lain keluar. Ia menyampaikan pesan yang sama. Memang ada perintah lisan dari Cilangkap yang melarang penyidik melakukan penahanan, kecuali ada izin tertulis dari Panglima TNI.
Mereka tak berkutik. Surat persetujuan dari Panglima TNI memang belum dikantongi. Mereka pun balik kanan, mengontak para petinggi Gedung Bundar. Tak lama kemudian datang Jaksa Agung Muda (JAM) Tindak Pidana Khusus Bachtiar Fachri Nasution, JAM Intel Mayjen (Purn.) Chalid, Direktur Penyidikan Sudibyo Saleh, dan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Antasari Ashar.
Menjelang tengah malam situasi makin sumpek. Pintu kamar tetap rapat terkunci. Ruang lobi penuh sesak dengan pengawal Ginandjar, polisi, dan jaksa. Hadi Basalamah, salah satu direktur Medco (perusahaan milik Arifin Panigoro) dan sohib Ginandjar, bahkan mengancam akan mengusir para jaksa yang dianggapnya bertindak di luar kepatutan. Wajah tim penyidik terlihat tegang. Mengempit map merah berisi surat penahanan Ginandjar, Jaksa Fahmi tampak kelelahan menahan kantuk. Di ruang sebelah, Fachri, Chalid, dan Antasari sibuk berkoordinasi. Sebentar-sebentar datang telepon dari Jaksa Agung Marzuki. Kata Basalamah, rencananya malam itu Marzuki akan datang.
Pukul 23.15 tiba-tiba muncul para petinggi Golkar, langsung dipimpin ketua umumnya, Akbar Tandjung. Turut dalam rombongan Enggartiasto Lukito, Ferry Mursidan Baldan, dan Yasril Ananta Baharuddin. Kepada pers Akbar bilang, mereka datang menjenguk setelah ditelepon Muchyar Yara, pengacara Ginandjar. Muchyar mengadu, kejaksaan akan menggunakan cara-cara pemaksaan.
Kali ini pintu kamar terbuka. Tapi khusus untuk rombongan Golkar. Para aparat hukum tetap tak bisa masuk. Setengah jam kemudian Akbar keluar. Melihat jalan sudah buntu, Jaksa Chalid memutuskan tim kejaksaan pulang dan baru kembali lagi keesokan harinya.
Sekonyong-konyong, pintu satu lift terbuka. Dari dalamnya menghambur seregu pasukan Perintis Sabhara dari Kepolisian Resor Jakarta Selatan, lengkap dengan senapan laras panjang dan pelontar gas air mata. Situasi jadi tegang. Letkol Payaman sontak menghampiri Jaksa Chalid. "Jenderal, bagaimana ini, ada polisi masuk. Kalau polisi masuk, pasukan saya juga bisa masuk," katanya sengit. Terperangah dengan perkembangan mendadak itu, Chalid bilang, "Oke, oke, nanti saya suruh keluar. Mana Antasari?" Untunglah, insiden tak meletup. Antasari lantas minta komandan regu menarik mundur pasukannya.
Telepon genggam Kepala Pusat Penerangan dan Penyuluhan Hukum Mulyohardjo berdering. Di seberang sana suara Marzuki. Mulyo menjelaskan perkembangan situasi. Setelah itu, ia diperintahkan membuat sebuah keterangan pers: ada upaya menghalang-halangi pembacaan status tahanan Ginandjar. Pukul 01.00 malam, rombongan jaksa pun turun. Ginandjar besok akan dijemput, kata Mulyo.
Besoknya pukulan lebih telak malah datang. Menurut apa yang didengarnya dari Kepala Babinkum TNI, Mayjen Timur P. Manurung, Muchyar bilang Jumat siang kemarin oditur militer ditarik sementara dari tim koneksitas. Alasannya, dua unsur penyidik lainpolisi dan polisi militerbelum dilibatkan. Itu artinya, dalam versi Muchyar, rencana penahanan mesti batal demi hukum. Sayang, Timur Manurung tak dapat dikonfirmasi. Istri dan ajudannya mengatakan ia sedang amat sibuk dan tak dapat dikontak.
Namun, Sabtu kemarinhari terakhir tenggat penentuan nasib Marzuki, 31 Maretkejaksaan kembali merangsek ke RSPP. Surat penahanan dibacakan. Dan Ginandjar pun resmi berstatus tahanan. Cuma, ia tak akan segera meringkuk di rumah tahanan kejaksaan cabang Salemba, Jakarta. Sementara, ia masih tergolek di kasur empuk ruang perawatan kelas satu.
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso, Rian Suryalibrata
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo