Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOHAMAD "Bob" Hasan tidak tidur barang sekejap pun hingga lewat tengah malam, Selasa pekan lalu. Bob duduk di dalam selnya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, sembari makan roti pelan-pelan. Sepertinya sesuatu akan terjadi. Benar juga. Sekitar pukul 03.15, Sugeng Handrijo, Direktur Keamanan dan Ketertiban pada Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM, datang ke selnya. "Silakan berkemas, Pak Bob. Anda kami pindahkan ke tempat lain," kata Sugeng, lirih.
Maka, terjadilah "operasi Selasa subuh" yang menggemparkan itu. Bob Hasan, terpidana kasus korupsi $ 243 juta dari pemetaan hutan yang dilakukan PT Mapindo Parama, miliknya, dipindahkan dari Cipinang ke Penjara Batu di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Rombongan Bob terbang dengan Fokker-27 milik TNI-AU dari Bandara Halim Perdanakusumah ke Bandara Tunggul Wulung, Cilacap. Para petugas Nusakambangan tak tahu bahwa yang datang hanya satu narapidana bernama Bob Hasan. Mereka telanjur telah menyiapkan penjemputan dan keamanan ekstra seperti layaknya menyambut serombongan narapidana.
Perjalanan ke Nusakambangan itu tampaknya bakal mengakhiri upaya Bob Hasan dan pengacaranya mengakali hukum. Pada Februari lalu, Pengadilan Negeri Jakarta memvonisnya dua tahun dalam tahanan rumah. Vonis yang oleh banyak kalangan dinilai sangat ringan itu, toh, masih digugat pengacara Bob. Ini membuat berang. Dalam persidangan banding, pengadilan justru memutuskan hukuman lebih tinggi: enam tahun dalam penjara. Namun, dalam Penjara Cipinang pun, Bob masih mendapat berbagai keistimewaan, misalnya tinggal di sel sendiri.
Dan pekan lalu, Menteri Kehakiman dan HAM Baharuddin Lopa mengeluarkan keputusan dramatis: memindahkan Bob ke Nusakambangan. Lopa menyebutkan bahwa pihaknya tidak ingin kecolongan seperti dalam kasus Eddy Tansil, pengusaha yang pada awal 1990-an membobol uang negara Rp 1,3 triliun dan kabur dari Cipinang, berkat bantuan "orang dalam". Tansil raib hingga kini.
Lopa seperti ingin membuat Bob Hasan sebagai "etalase" gebrakan hukumnya terhadap para konglomerat besar dan kroni-kroni mantan Presiden Soeharto. Bob adalah salah satu orang kepercayaan Soeharto. Ia, misalnya, mewakili Keluarga Cendana di Astra International dan maju dalam perundingan kepemilikan Busang, tambang emas yang ternyata kosong. Bob juga bertanggung jawab atas investasi yayasan-yayasan yang dimiliki Soeharto. Dan yang terpenting, Bob adalah teman main golf Soeharto setiap minggu.
Meski pengacara Bob Hasan, Augustinus Hutajulu, memprotes keras pemindahan itu, bahkan mengancam akan mengugat pemerintah, Lopa tidak peduli. "Keadilan tetap nomor satu, berapa pun ongkosnya," kata Lopa dalam jumpa pers Selasa pagi pekan lalu, setelah operasi Selasa subuh.
Lopa memang menggebrak seketika ia diangkat menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, menggantikan Yusril Ihza Mahendra. Pada hari pertama berkantor, ia mengeluarkan Maklumat 12 Februari berisi larangan bagi hakim dan seluruh pegawai departemen menerima suap. "Ini adalah peringatan," kata Lopa pada waktu itu. "Menurut agama, orang harus diperingatkan dulu sebelum ditindak."
Lahir di Mandar, Sulawesi Selatan, Lopa mengawali karir sebagai jaksa daerah. Segera reputasinya sebagai "the untouchable" tampak menonjolantisuap, tak kenal kompromi, dan berani. Di sini ia menjadi legenda seperti jaksa Elliot Ness, orang yang berjasa menjaring penjahat mafia besar Al Capone.
Lopa tak sekadar memperingatkan. Ia bertindak. Gde Soedharta, Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta, sekaligus hakim ketua dalam sidang banding Bob, diskors tidak berwenang mengadili kasus dan ditarik ke MA. Lopa menyatakan sedang menyelidiki kemungkinan penyelewengan Soedharta dalam kasus itu, pekan ini. Selain itu, masih ada 11 hakim lain yang terancam kehilangan kewenangan mengadili perkara.
Mengangkat Lopa sebagai menteri dipandang sebagai langkah Presiden Abdurrahman Wahid yang jitu. Menjabat penasihat Partai Persatuan Pembangunan, Lopa menjadi simbol aliansi Presiden dengan partai Islam terbesar yang selama ini menjadi pilar Poros Tengah penggoyang Presiden. Lebih dari itu, citra bersih Lopa diharapkan mengimbangi citra Presiden yang buruk dalam skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei.
Sejauh ini, Presiden Abdurrahman menyambut baik gebrakan Lopa. Dalam sebuah dialog publik, pekan lalu, Presiden mengatakan pemerintah sedang serius mengejar koruptor besar dan mengganjar mereka dengan hukuman tinggi, termasuk mengirim mereka ke Nusakambangan.
Langkah Lopa juga mendapat sambutan positif dari banyak pihak. "Mudah-mudahan apa yang dilakukan Lopa tidak berhenti sampai di situ," kata pengacara Todung Mulya Lubis. Semua orang tahu, memberantas korupsi adalah pekerjaan yang amat beratterutama di negeri paling korup seperti Indonesia.
Menyusul jatuhnya Soeharto, bermunculan lembaga yang berusaha melakukan investigasi atas kasus-kasus korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) adalah contohnya. Investigasi ICW, misalnya, pernah mengungkapkan penggelembungan biaya (mark-up) senilai Rp 960,5 miliar dalam Proyek Exor I Pertamina di Balongan. MTI menyimpulkan bahwa keputusan presiden (keppres) yang dikeluarkan Soeharto telah menjadi sumber korupsi-kolusi di masa lalu.
Yang lebih serius adalah investigasi Soeripto, Sekjen Departemen Kehutanan. Dialah yang pertama menyodorkan bukti penyelewengan Bob Hasan lewat kasus pemetaan hutan. Menyusul sukses memenjarakan Bob Hasan, Soeripto belum lama ini juga menyerahkan hasil investigasi timnya menyangkut nama-nama besar lain di lingkar dekat Soeharto: Probosutedjo, Tommy Soeharto, Lim Sioe Liong, Prajogo Pangestu, dan Ibrahim Risjad.
Namun, kemudian muncul sikap mendua dari Istana. Dengan tudingan berencana makar, Presiden Abdurrahman memerintahkan Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail menggusur Soeripto. Presiden belakangan memecat Nurmahmudi karena menolak perintah. Dan pekan lalu, Marzuki Usman, pengganti Nurmahmudi, akhirnya menggusur Soeripto dengan alasan "terlalu tua, 60 tahun, untuk menduduki kursi birokrasi".
Kepergian Soeripto membuat nasib kasus menyangkut nama-nama lain tadi tidak menentu. Jaksa Agung Marzuki Darusman mengatakan, informasi dan masukan tentang kasus-kasus korupsi memang banyak, termasuk yang diberikan Soeripto. "Tapi, tidak disertai bukti-bukti yang cukup kuat untuk bisa masuk pengadilan."
Bagaimanapun, gebrakan Lopa tampak mengimbas ke lembaga-lembaga hukum lain, termasuk Kejaksaan Agung, yang selama ini enggan menyidik kasus-kasus besar. Jumat pekan lalu, Kejaksaan Agung memutuskan Ginandjar Kartasasmita sebagai tahanan. Bekas Menteri Pertambangan dan Energi itu dijerat kasus tindak pidana korupsi proyek TAC (technical assistant contract) antara Pertamina dan PT Ustraindo Petrogas.
Pada hari yang sama, Kejaksaan Agung juga menetapkan Ali Wardhana, mantan Menteri Keuangan dalam kabinet Soeharto, sebagai tersangka dalam kasus korupsi senilai US$ 19 juta. Wardhana juga dijerat dalam kasus pengambilalihan utang PT Barito Pacific milik Prajogo Pangestu kepada bank pemerintah sebesar Rp 1,7 triliun.
Tampaknya, "musim panen" memang telah tiba. "Saya tidak akan pandang bulu dalam menegakkan keadilan," kata Lopa.
Jika konsisten, menurut pengacara Todung Mulya Lubis, bukan tak mungkin "pedang Lopa" akan membabat orang-orang yang selama ini berlindung di belakang Presiden Abdurrahman, seperti Prajogo Pangestu dari Candra Asri, Marimutu Sinivasan dari Texmaco, dan Sjamsul Nursalim dari Gadjah Tunggal. Melihat nasib akhir Soeripto, akankah Lopa, sendirian saja, punya napas panjang untuk itu?
Bina Bektiati, Rommy Fibri, Setiyardi, A. Karina Anom, Hadriani P., Darmawan S., Rian S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo