Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lobi Corona di Jenewa

Keterbukaan pemerintah mendeteksi dan menangani penyebaran virus corona dipertanyakan oleh dunia internasional dan di dalam negeri. Menteri Luar Negeri pun melobi Badan Kesehatan Dunia. Menunjuk juru bicara penanganan corona, Istana dikabarkan gerah terhadap Menteri Kesehatan.

7 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas Dinas Kesehatan melakukan sterilisasi dan evakuasi tukang kebun rumah yang penghuninya terjangkit virus corona di Depok, Jawa Barat, 2 Maret 2020. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/ama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sempat disorot dunia, pemerintah akhirnya mengumumkan kasus pertama virus corona.

  • Badan Kesehatan Dunia sempat mempertanyakan kesiapan dan keterbukaan pemerintah Indonesia.

  • Presiden Jokowi menyindir pernyataan kontroversial Menteri Kesehatan.

“PECAH telur” kasus corona di Indonesia akhirnya disampaikan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka pada Senin, 2 Maret lalu. Bersama Menteri Kesehatan, Jokowi mengumumkan dua pasien, ibu dan anak, yang terkena virus corona. Keduanya diduga terpapar dari warga negara Jepang yang positif terkena corona dan sempat ke Indonesia pada pertengahan Februari lalu.

Jokowi mengklaim pendeteksian terhadap dua pasien itu merupakan hasil penelusuran pemerintah setelah mendapat informasi bahwa warga Jepang itu singgah ke Indonesia. “Tim dari Indonesia langsung menelusuri,” kata Presiden. Seusai jumpa pers, Menteri Kesehatan Terawan pun mengatakan proses pelacakan sudah dilakukan. “Sedang ditelusuri ketemu siapa saja,” ujarnya.

Pernyataan Jokowi dan Terawan tersebut mengagetkan sejumlah pejabat di Kementerian Kesehatan, yang pagi itu menggelar rapat mendadak. Dua pejabat kementerian ini bercerita, agenda rapat yang seharusnya juga dihadiri Terawan itu membahas dua pasien yang terpapar Corona Virus Disease 19 atau Covid-19. Mereka masih membahas rencana mitigasi setelah kasus itu diumumkan kepada publik. Mereka juga mendiskusikan rencana pelacakan terhadap orang-orang yang sempat berkontak fisik dengan dua korban. Tapi tiba-tiba saja kabar itu sudah diumumkan kepada publik.

Keterangan pemerintah juga berbeda dengan keterangan pasien yang merupakan warga Depok, Jawa Barat, itu. Melalui siaran pers, pasien itu mengatakan dialah yang memberi tahu dokter di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok soal pertemuannya dengan warga negara Jepang yang terinfeksi corona. Informasi ini disampaikannya pada Jumat, 28 Februari lalu, setelah mendapat telepon dari temannya di Malaysia yang mengabarkan warga negara Jepang itu dinyatakan positif corona dua hari sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengecekan suhu badan siswa sebagai upaya deteksi penyebaran virus Corona atau Covid-19 di Sekolah Tunas Global, Depok, Jawa Barat, Selasa, 3 Maret 2020. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat itu, perempuan 31 tahun tersebut baru satu hari dirawat di Mitra Keluarga.”Demi keamanan dan kesehatan nasional, saya informasikan kepada dokter,” ujarnya. Barulah pada Ahad, 1 Maret lalu, perempuan itu dan ibunya dipindahkan ke Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta.

Malam itu, Sekretaris Daerah Kota Depok Hardiono juga sudah mengetahui ihwal dua warganya yang terpapar virus corona. Namun, melalui pesan WhatsApp, dia diminta Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan Alexander Kaliaga Ginting tak memberitahukan kejadian itu kepada siapa pun. Tujuannya adalah mencegah kegaduhan di masyarakat.

Alexander membenarkan soal permintaannya tersebut. Menurut purnawirawan brigadir jenderal yang juga dokter paru di Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok ini, malam itu pemeriksaan terhadap pasien suspek corona belum tuntas sehingga tak patut dipublikasikan. “Itu rahasia kedokteran dan orang yang berstatus dalam pengawasan tak boleh dibuka datanya,” katanya. Alexander menyatakan instruksi untuk tak membocorkan kabar itu bukan berasal dari Terawan, melainkan inisiatifnya. “Tak ada hubungan dengan jabatan staf khusus.”

Pengumuman resmi oleh pemerintah itu tak mengejutkan perwakilan Badan Kesehatan Dunia atau WHO di Indonesia, Navaratnasamy Paranietharan. Melalui siaran pers, Paranietharan mengatakan pengumuman itu bisa membuat mereka mengantisipasi lebih banyak kasus pada masa mendatang. “Kini kondisi ini sudah nyata, sehingga sangat penting bagi kami untuk memastikan semua kegiatan yang telah direncanakan bisa diimplementasikan secara cepat,” ujarnya.

Pemerintah kembali mengumumkan dua pasien positif corona pada Jumat, 6 Maret lalu. Juru bicara penanganan wabah virus corona, Achmad Yurianto, mengatakan keduanya diduga melakukan kontak dekat dengan dua pasien sebelumnya. Hingga Jumat, 6 Maret lalu, pemerintah telah memeriksa 450 orang. Sejumlah pihak mendesak pemerintah memeriksa lebih banyak orang yang berkontak dengan pasien positif corona. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, mengatakan pasien positif corona ada kemungkinan sudah menulari orang lain.

•••

SEBELUM Jokowi mengumumkan kasus pertama corona, muncul berbagai keraguan terhadap kemampuan Indonesia mendeteksi keberadaan virus yang muncul pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, itu. Sejumlah peneliti Harvard University, Amerika Serikat, memprediksi setidaknya sudah ada lima kasus positif corona di Indonesia pada pertengahan Februari lalu. Kesimpulan itu didapat dari perhitungan matematis berdasarkan penerbangan langsung dari Wuhan ke negara lain. Keraguan juga disampaikan Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Ia menyebutkan wilayah Indonesia yang luas membuat upaya pencegahan lebih sulit.

Dari dalam negeri, keraguan mendeteksi corona disampaikan Wakil Kepala Bidang Penelitian Fundamental Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, sehari sebelum Presiden mengumumkan kasus anyar. Menurut dia, tidak semua lembaga penelitian di Indonesia memiliki kemampuan mendeteksi penyebaran Covid-19. Ia juga mengkritik pemerintah karena tidak banyak melibatkan universitas dan lembaga penelitian yang memiliki kemampuan tersebut.


Respons pemerintah terhadap wabah corona juga mendapat sorotan Badan Kesehatan Dunia. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan, dalam pertemuan rutin dengan pejabat perwakilan WHO, pernah ada pertanyaan tentang kemampuan dan keterbukaan Indonesia dalam kasus corona. Menurut Anung, delegasi itu menilai jumlah orang yang diperiksa dalam kaitan dengan corona tak sebanding dengan populasi penduduk. “Kok, kalian bisa sedikit begitu yang diperiksa,” kata Anung menirukan keraguan yang muncul dalam rapat.

Hal lain yang dipersoalkan adalah data pemantauan flu yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan. Seorang pejabat Kementerian mengatakan sebenarnya sudah ada data Sentinel Influenza Like Illness (ILI). Ini adalah matriks untuk memantau orang yang mengalami gejala terjangkit corona seperti demam, batuk, dan sesak napas. Menurut dia, WHO meminta data tersebut rutin diunggah di situs yang bisa diakses publik.

Namun, cuma bertahan dua hari, data Sentinel ILI itu tak pernah diperbarui lagi. Dalam Sentinel ILI terbaru yang terbit pada Februari 2020, tak tercantum Indonesia sebagai negara yang rutin melaporkan kasus flu di wilayahnya. Menjawab hal itu, Anung mengatakan telah mengikuti standar WHO dalam memantau kesehatan seseorang ketika menghadapi kasus penyakit menular.

Dua petinggi pemerintahan dan organisasi internasional yang mengetahui dinamika di antara para menteri soal penanganan corona bercerita bahwa Kementerian Luar Negeri sebenarnya berniat melakukan pembelaan diplomatik. Namun Kementerian Luar Negeri tak memperoleh penjelasan yang memadai dari Kementerian Kesehatan untuk menjawab keraguan komunitas internasional.

Di tengah keraguan itu, Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi menemui Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom di Jenewa, Swiss. Pertemuan itu diadakan di sela-sela pertemuan sidang hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 25 Februari lalu. Seorang pejabat yang mengetahui isi pertemuan itu mengatakan Retno sempat menceritakan soal kesulitan pemerintah mendapatkan pemutakhiran data dari Kementerian Kesehatan sendiri.

Dimintai tanggapan soal pertemuan itu, Retno bercerita bahwa dia berdiskusi dengan Adhanom tentang perkembangan wabah corona secara global. “Beliau mantan Menteri Luar Negeri Ethiopia dan teman baik saya,” ujarnya melalui pesan WhatsApp pada Sabtu, 7 Maret lalu. Retno juga mengaku membahas rencana evakuasi warga Indonesia di sejumlah episentrum Covid-19. Setelah bertemu dengan Retno, Adhanom mengingatkan agar tak ada negara yang jemawa meski belum ada kasus corona di wilayahnya. "Tidak boleh ada negara yang berasumsi mereka tidak akan memiliki kasus Covid-19. Itu adalah kesalahan fatal," kata Adhanom.

 


•••

SEBELUM kasus pertama diumumkan, Istana sesungguhnya sudah gusar terhadap cara Kementerian Kesehatan menjawab keraguan tentang kehadiran corona. Dua pejabat di Kementerian Kesehatan dan Istana mengatakan Presiden sempat mempertanyakan informasi terbaru terkait dengan corona di Indonesia dan protokol penanganannya. Kegusaran Presiden membuat Istana sampai merancang sendiri sejumlah protokol untuk menghadapi Covid-19.

Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan konferensi pers terkait dengan virus corona di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). TEMPO/M. Taufan Rengganis

Setebal 31 halaman, panduan itu memuat antara lain langkah-langkah jika seseorang mengalami gejala terjangkit corona serta kewajiban petugas dalam menjaga perbatasan. Masih dalam protokol yang sama, Istana meminta para pejabat di tingkat pusat dan daerah menyampaikan narasi bahwa corona bisa disembuhkan dan pemerintah sanggup menangani wabah tersebut.

Kegusaran juga muncul setelah Presiden mengumumkan kasus corona. Penyebabnya adalah pernyataan Terawan yang meminta masyarakat berdoa dan mendirikan salat istigasah untuk menangkal corona. Mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto itu juga yang pertama kali membeberkan lokasi tinggal dua pasien corona, yang membuat rumah mereka diberi garis polisi.

Menyadari komentar pembantunya membuat gaduh, Jokowi mengadakan rapat internal sehari setelah mengumumkan kasus corona pada Selasa, 3 Maret lalu, di Istana Negara. Sejumlah indikator di media sosial disorot dalam rapat itu, yang hasilnya sentimen masyarakat justru negatif alias menjadi panik dalam menanggapi pernyataan Terawan. Seorang pejabat yang mengetahui isi rapat itu mengatakan Jokowi sempat menyindir gaya komunikasi Terawan dalam merespons corona.

Jokowi meminta ada juru bicara khusus dalam menangani virus corona. Presiden meminta figur yang dipilih harus berasal dari Kementerian Kesehatan dan bisa berkomunikasi secara sederhana dalam menyampaikan persoalan. Pilihan Jokowi lantas jatuh pada Achmad Yurianto, yang kebetulan menjabat Kepala Pusat Krisis Kesehatan.

Terawan belum bisa dimintai tanggapan tentang kegusaran Istana soal penanganan corona. Ia tak menanggapi permintaan wawancara Tempo. Namun, seusai rapat dengan Presiden hari itu, Menteri Terawan berjanji mendukung anak buahnya yang ditunjuk menjadi juru bicara. “Saya support terus beliau di bidang data sehingga terjadi efisiensi,” ujar Terawan.

Nyatanya, persoalan komunikasi tetap terjadi. Meminta masyarakat tak panik, Wakil Presiden Ma'ruf Amin pada Rabu, 4 Maret lalu, menyebutkan pemerintah akan menerapkan sertifikasi bebas corona. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga mengatakan warga negara Korea Selatan, Iran, Italia, dan Jepang wajib membawa sertifikat kesehatan bebas corona jika ingin masuk ke Indonesia. Namun Achmad Yurianto menyatakan sertifikat itu tidak diperlukan. “Tidak perlu, tidak ada gunanya surat keterangan bebas virus corona,” tuturnya.

RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI PUTRI, CAESAR AKBAR, FRISKI RIANA, ADE RIDWAN (DEPOK)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus