Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panjang Nalar Melawan Sampar

Wabah akibat virus corona sudah menyebar ke lebih dari 80 negara dalam tempo dua bulan. Keterbukaan informasi dan respons cepat dari pemerintah dapat membantu masyarakat menghadapi krisis penyakit menular.

7 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas menyemprotkan disinfektan ke kendaraan umum di kota Teheran, WANA (West Asia News Agency)/Nazanin Tabatabaee via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Warga Korea Selatan menjaga dirinya sendiri untuk mencegah penyebaran virus corona.

  • Penanganan krisis penyakit menular membutuhkan dukungan informasi yang jelas.

  • Iran dinilai terlambat menangani wabah dan dituding menutup-nutupi krisis.

SUDAH lebih dari sebulan Oh Jeong-mi tak keluar dari rumahnya di Chilgok, Provinsi Kyoungsangbukdo, di tenggara Seoul, Korea Selatan. Perempuan 59 tahun itu sengaja mengisolasi dirinya sendiri sejak kabar sampar Covid-19, penyakit menular akibat virus corona, merebak pertengahan Januari lalu. Dia tahu penyakit itu dapat berakibat fatal pada orang paruh baya dengan penyakit diabetes dan asma. “Saya menderita asma kronis selama 20 tahun,” kata Oh kepada Tempo pada Kamis, 5 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oh sebenarnya tak siap mengurung diri di rumahnya dalam waktu lama. Tapi dia sadar berada di dalam kelompok yang rentan tertular. Tinggal di rumah adalah upayanya menghindari risiko epidemi. Tak ada lagi kegiatan berbelanja, berolahraga, dan bertemu dengan orang lain. Kebutuhan harian Oh dipasok anak-anaknya. “Terkadang tanpa bertemu untuk menghindari kontak fisik,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kyoungsangbukdo adalah daerah dengan kasus Covid-19 terbanyak kedua di Korea Selatan. Jumlahnya mencapai 861 kasus. Kejadian terbesar ada di tetangganya, Kota Daegu, yang mencapai 4.327 kasus. Menurut Badan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, ada lebih dari 6.000 warga Korea Selatan yang positif tertular Covid-19 dan 40 di antaranya meninggal. Otoritas Korea Selatan menetapkan status krisis penyakit menular di level tertinggi sejak 23 Februari lalu.

Sejak terdeteksi pertama kali di Kota Wuhan, Cina, pada akhir Desember 2019, wabah Covid-19 menyebar ke lebih dari 80 negara. Sekitar 100 ribu orang dilaporkan terjangkit virus ini dan lebih dari 3.400 di antaranya meninggal. Korea Selatan menjadi salah satu negara yang paling parah dilanda Covid-19, dengan 2.113 kasus.

Penyebaran Covid-19 di Korea Selatan melejit setelah kasus penularan di antara anggota jemaat gereja Shinchonji di Daegu. Pasien yang dikenal sebagai nomor 31 diduga menjadi penyebar utama (super spreader) virus corona. Perempuan 61 tahun itu diketahui menderita demam pada 10 Februari, tapi masih sempat menghadiri empat kebaktian di gereja bersama ratusan anggota jemaat lain. Hingga pekan lalu, sudah lebih dari 190 ribu anggota jemaat gereja Shinchonji diperiksa.

Epidemi itu membuat pemerintah Korea Selatan menggenjot kapasitas dan sumber daya untuk menangani sampar ini. Dana lebih dari US$ 9,8 miliar (Rp 139,6 triliun) atau sekitar 21 persen dari anggaran tahun ini dialokasikan khusus untuk menangani wabah dan dampaknya. Hingga saat ini, sudah 88 orang yang dinyatakan bebas dari karantina Covid-19 setelah menjalani perawatan di rumah sakit selama dua pekan.

Respons cepat pemerintah menangani wabah Covid-19 juga membantu penduduk Singapura menghadapi krisis. Memang sempat terjadi kehebohan dan aksi memborong produk ketika pemerintah menyatakan status krisis wabah pada awal Februari lalu. “Itu di hari pertama saja. Selanjutnya tidak ada. Singapura lebih tenang karena informasi soal wabah terpampang di mana-mana,” ujar Jaka Setia, warga Indonesia yang menetap di Singapura, pada Rabu, 4 Maret lalu.

Ada 130 kasus Covid-19 yang terkonfirmasi di Singapura dan 48 di antaranya ditangani di rumah sakit. Hasil studi Harvard University pada Februari lalu menyebutkan Singapura memiliki metode deteksi dan penanganan wabah terbaik. Laporan itu menyatakan, jika negara-negara lain memiliki kemampuan seperti Singapura, jumlah kasus yang ketahuan bisa lebih banyak dan cepat ditangani.

•••

Wabah Covid-19 membuat kehidupan di Iran berubah drastis. Kemacetan lalu lintas lenyap di Teheran. Sekolah, universitas, dan teater ditutup. Arena kegiatan publik dan pusat belanja lengang. Iran menjadi negara kedua dengan angka kematian tertinggi akibat Covid-19. Penyakit itu sudah menjangkiti lebih dari 3.500 orang dan membunuh 107 jiwa. “Sudah menjangkau hampir semua provinsi kita,” kata Presiden Hassan Rouhani seperti dilaporkan Channel News Asia pada Rabu, 4 Maret lalu.

Kemampuan Iran menangani wabah itu dipertanyakan sejak Covid-19 terdeteksi di Kota Qom pada 19 Februari lalu. Otoritas Iran dinilai lambat menerapkan karantina di kawasan yang terinfeksi. Dalam pekan pertama saja, ada lebih dari dua lusin penduduk yang tertular. Iran bergejolak. Namun pemerintah Iran, seperti dilaporkan South China Morning Post, malah mengaitkan wabah ini dengan konspirasi asing.

Kondisi Iran malah memburuk. Apalagi setelah beberapa pejabatnya terjangkit wabah. Wakil Menteri Kesehatan Iraj Harirchi serta Wakil Presiden Bidang Perempuan dan Keluarga Masoumeh Ebtekar dinyatakan positif terinfeksi. Mirmohammadi, anggota dewan penasehat pemimpin Iran, Ayatullah Ali Khamenei, meninggal akibat Covid-19 pada Senin, 2 Maret lalu. Setidaknya ada 20 pejabat dan anggota parlemen yang dilaporkan tertular Covid-19.

Iran menjadi pusat penyebaran Covid-19 di Timur Tengah. Pemerintah Iran mengklaim telah berusaha keras mengendalikan wabah itu. Jalan-jalan disemprot disinfektan. Produksi masker dan detergen juga digenjot. Lebih dari 300 ribu relawan dilatih untuk mencari kasus Covid-19 yang mungkin tak terdeteksi dari rumah ke rumah. Lebih dari 54 ribu tahanan, seperti dilaporkan CNN, dibebaskan sementara untuk memperkecil risiko penularan di penjara-penjara yang sesak.

Iran diprediksi kewalahan melawan Covid-19. Rumah sakit kebanjiran korban virus corona dan tak sanggup lagi menerima pasien baru. Dokter Behrouz Kalidari dari Isfahan mengatakan setidaknya 12 ribu orang sudah terjangkit Covid-19. Kalidari menuding pemerintah berusaha menutupi krisis karena alasan politis dan ekonomi. “Kita bisa menangani masalah di Hamedan, Zanjan, Arak, Mashhad, bahkan Isfahan jika bertindak cepat,” katanya seperti dilaporkan The Guardian.

Wabah Covid-19 juga menyebar ke Eropa. Italia menjadi negara di Eropa yang paling menderita dengan lebih dari 3.800 orang tertular dan 107 di antaranya meninggal. Untuk mencegah penularan lebih besar, sejak Kamis, 5 Maret lalu, pemerintah Italia merilis imbauan bagi warganya untuk menjaga jarak setidaknya satu meter satu sama lain, membatasi kunjungan ke rumah jompo, dan meminta orang berusia lanjut tidak bepergian kecuali dalam kondisi darurat.

Warga antre untuk mendapatkan masker di sebuah pusat belanja di Seoul, 28 Februari 2020. REUTERS/Kim Hong-Ji 5 Maret 2020.

Mereka yang baru kembali dari Italia pun terkena imbasnya. Natalia Tureay, warga Indonesia yang tinggal di Tournai, Belgia, pulang dari liburan di Roma pada akhir Februari lalu. Sudah menjadi kebiasaan di Belgia untuk mencium pipi kala berjumpa dengan karib kerabat. Namun beberapa kawan Natalia ternyata menghindarinya. “Mungkin karena mereka tahu saya baru kembali dari Italia,” ujar perempuan Sukabumi yang tengah menjalani pendidikan sebagai pengajar anak usia dini itu.

Natalia langsung berkonsultasi dengan dokter lewat telepon. Dia membeberkan seluruh kondisi kesehatan tubuh dan riwayat perjalanan selama dua pekan sebelumnya. Dokter menyatakan Natalia tidak memiliki gejala atau indikasi terjangkit virus corona. “Tapi saya mengerti bahwa orang tetap harus waspada,” ucapnya.

Maria DiCancio, warga Italia yang bekerja sebagai anggota staf rumah sakit pemerintah di Brussels, mengatakan ada sejumlah pasien terjangkit virus corona yang dirawat di tempat kerjanya. Namun tak ada kehebohan. DiCancio tidak merasa cemas terhadap kondisi penanganan penyakit menular di Belgia. Setelah bekerja, DiCancio bahkan menjemput dua anaknya di sekolah tanpa mengenakan masker. “Tapi, membaca begitu banyak jumlah kematian di Italia akibat Covid-19, saya lebih khawatir terhadap keluarga di sana,” ujarnya.

Renjani Sari, warga Indonesia yang tinggal di Regio Antwerp, mengatakan warga Belgia cenderung tenang menghadapi krisis. Ketika kabar Covid-19 merebak pertama kali di Cina awal Januari lalu, media lokal sudah mengulas soal peluang penyakit itu masuk ke Belgia. Pasalnya, populasi turis asing terbesar di Eropa berasal dari Cina. “Tidak bisa bilang Belgia bakal aman dari virus corona,” kata Renjani. “Wacana penanganan wabah sudah dibangun sejak Januari.”

Dua bulan setelah wabah Covid-19 merebak, kegiatan warga Belgia tetap berjalan seperti biasa. Tak ada kehebohan warga lokal mengenakan masker di jalan-jalan. Transportasi kereta, yang menjadi andalan untuk bepergian ke seantero negeri dan Eropa, pun tetap sibuk. Pemerintah Belgia menyediakan klinik dengan dokter dan paramedis di setiap terminal dan bandar udara. Namun pengawasan transportasi ke arah Prancis selatan dan Italia utara lebih ketat, “Karena tergolong zona rawan,” tutur Renjani.

Belgia sudah terlihat siap sejak awal menghadapi risiko penyebaran penyakit tersebut. Sejumlah orang yang terjangkit biasanya dikarantina dulu di rumah masing-masing. Setidaknya ada 109 kasus Covid-19 yang terkonfirmasi di Belgia. Adapun identitas para pasien Covid-19 dilindungi ketat untuk menjaga privasi mereka. “Identitas orang yang baru diduga terjangkit saja tak pernah dibuka. Sekadar inisial nama pun tak ada,” kata Renjani.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, SEULKI LEE (SEOUL), ASMAYANI KUSRINI (BRUSSELS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus