Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DAVID menyeringai. Giginya yang putih menyembul, kontras dengan kulitnya yang hitam legam. Dua kali lengannya yang kokoh itu menarik tali untuk menghidupkan mesin perahu motornya yang terbuat dari kayu, dua kali pula mesin tersebut hanya menderum sebentar, lalu mati.
Pemuda 30 tahun itu lantas memperbaiki posisi berdirinya. Saya, yang berada di buritan perahu, hanya berjarak sekitar dua meter dari David, merasa cemas, jangan-jangan mesin itu ngadat. Tapi entakan kuat tangan David langsung melenyapkan kekhawatiran saya. Brem, brem…, suara mesin perahu meraung-raung. David mengacungkan jempol. Lalu perlahan perahu itu bergerak meninggalkan dermaga kayu Camp Maripas, yang menjorok di Sungai Kourou, Guyana. Saya memeriksa pelampung merah yang terikat erat di dada. Perjalanan "petualangan" ke dalam hutan Amazon dimulai!
Perahu selebar tak lebih dari 1,5 meter dan panjang 15 meter itu dengan cepat melesat ke arah barat, membelah Sungai Kourou yang berwarna cokelat dengan lebar sekitar 700 meter. Kiri-kanan sungai terbentang gugusan hutan Amazon, pohon-pohon raksasa berdiri tegak. Tak terlihat ada manusia di sana. Sekitar setengah jam perahu itu menderu di tengah sungai, David tiba-tiba membelokkan perahu ke arah kanan. Para penumpang terperangah. Rupanya, inilah rute "petualangan" itu: "menyelinap" masuk anak sungai yang sempit, lebarnya antara 5 dan 12 meter.
Perahu itu kini berjalan pelan-pelan. Sunyi semata suasananya. Sekali-sekali David berteriak sambil menuding-nuding ke depan, meminta kami merunduk jika di atas kepala kami melintang batang pohon. Walau kami semua memakai jaket pelampung, andai perahu ini terbalik, tak terbayang bagaimana bantuan dari Camp Maripas, yang berjarak sekitar tujuh kilometer dari kami, bisa segera datang. Terlintas pula dalam pikiran, di dalam sungai ini berdiam buaya atau ular seperti cerita-cerita tentang hutan Amazon.
Sekitar setengah jam perahu itu berjalan pelan, meliuk ke kiri-kanan, bermanuver menghindari batang-batang pohon yang menyembul dari dalam air. Semua penumpang hanya duduk sembari menoleh ke kiri, ke kanan, dan ke atas, ke pucuk-pucuk pohon yang menutupi anak sungai. Setiap kali ada penumpang yang berdiri untuk memfoto, sejumlah penumpang lain langsung menghardik. Semua seperti sepakat: jangan membuat ulah yang bisa membuat celaka satu perahu.
Perahu sudah masuk sekitar 500 meter ke tengah hutan Amazon–yang tampaknya semakin sempit-ketika David memutarnya kembali. Perasaan lega segera membuncah saat perahu keluar dari anak sungai sempit itu melaju kembali ke Maripas. Di sana sudah menunggu makan siang dengan menu daging asap dan beragam buah khas Guyana, yang salah satunya mirip manggis, hanya warna dagingnya yang berbeda, yakni kekuningan.
Guyana Prancis-atau Guyane France-memang kaya akan hutan dan sungai. Seperti arti Guyana-daratan luas dengan banyak sungai-negeri yang saya kunjungi pada Februari lalu itu kaya dengan sungai. Di sana, antara lain, mengalir Sungai Oyapock, Approuague, Comte, Sinnamary, Kourou, dan Maroni. Karena itu, tak aneh bila banyak jembatan panjang-tapi sepi dan sunyi-terlihat di sana-sini, menghubungkan jalan darat yang beraspal hitam mulus.
Camp Maripas hanya satu dari puluhan tempat wisata di Guyana yang menawarkan "petualangan" ke hutan Amazon. Bentuknya bermacam-macam. Dari susur sungai (dari setengah jam hingga beberapa jam), menginap di kamp di tengah hutan, hingga bertualang di dalam hutan-istilahnya "ekspedisi hutan"-yang memakan waktu sampai sepuluh hari. Untuk tur susur sungai seperti yang saya alami ini, setiap orang membayar 25 euro atau sekitar Rp 325 ribu. Marapis salah satu kamp terkenal lantaran, selain fasilitasnya terhitung bagus, relatif dekat, sekitar 20 kilometer dari Kourou.
Ada syarat penting yang mesti dipenuhi bagi mereka yang akan mengunjungi negeri bekas jajahan Prancis seluas sekitar 91 ribu kilometer persegi dengan jumlah penduduk "hanya" sekitar 255 ribu itu: mesti mendapat vaksin demam kuning.
Keterangan telah divaksin tersebut dibuktikan dalam sebuah dokumen kuning yang akan diperiksa petugas imigrasi ketika kita mendarat di bandar udara internasional Cayenne, ibu kota Guyana. "Kalau dokumen ini hilang, Anda tidak akan bisa masuk ke Guyana," kata dokter Sari Yuliyani dari In Harmony Clinic, Jakarta, yang menyuntikkan vaksin demam kuning ke lengan saya dua pekan sebelum saya bertolak ke Guyana. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pada 2013 tercatat 60 ribu kematian akibat virus yang menyerang hati, jantung, dan otak ini. Virus ini disebarkan oleh nyamuk dan hanya memerlukan waktu sekitar enam hari untuk "melumpuhkan" korbannya.
Guyana "dimiliki" Prancis sejak abad ke-16, setelah silih berganti dikuasai Spanyol, Portugis, dan Belanda. Perebutan kekuasaan para pendatang di Amerika Selatan itu pula akhirnya yang membuat wilayah tersebut dalam perjalanan sejarahnya kemudian terbagi-bagi menjadi "milik" Belanda (Suriname), Spanyol (Venezuela), dan Portugis (Brasil). Para penguasa dari Barat itu kemudian mendatangkan "budak belian" dari negeri jajahan mereka lainnya (termasuk Jawa), yang kemudian beranak-pinak di sana. Mereka yang datang ke Guyana, misalnya, mengira penduduk asli negeri ini adalah Negro, padahal sebenarnya Indian-yang kini menempati daerah pinggiran Guyana.
Penduduk kulit hitam keturunan Afrika ini memang terlihat menonjol dari segi jumlah. Pada hari-hari tertentu, mereka kerap menggelar festival di pinggir jalan dengan pakaian didominasi warna hijau dan merah. Panggung didirikan dan mereka menari-nari sepanjang malam.
Saat berada di Kota Kourou, yang terletak sekitar 60 kilometer dari Cayenne dan kota terbesar kedua di Guyana, saya juga sempat sekilas melihat acara itu. "Mereka akan berpesta hingga menjelang tengah malam," kata Magali Montarlier, pemandu kami warga Guyana, saat kendaraan kami melintasi kerumunan orang-orang di pinggir jalan Kourou.
Seperti Cayenne, sehari-hari Kourou juga sepi. Pada siang hari tak banyak terlihat kendaraan atau orang lalu-lalang. Ketika pada pagi hari sekitar pukul 07.00 saya berjalan ke luar hotel tempat saya menginap, yang terletak di pinggir Samudra Atlantik itu, juga tak terlihat kesibukan orang-orang yang tergesa-gesa bekerja atau bersekolah. Padahal saat itu bukan hari libur. "Tak ada orang Indonesia yang tinggal di Guyana. Saya tidak pernah ketemu," kata Nengah Wirsana, Kepala Representatif PT Telkom, yang selama sebulan tinggal di Guyana untuk mengawasi persiapan peluncuran satelit Telkom 3S, ketika saya tanya adakah ia pernah bertemu dengan orang Indonesia.
Menurut Nengah, jikapun ada orang Indonesia di Guyana, dipastikan mereka datang dari Suriname, yang berjarak sekitar lima jam perjalanan-dengan menyeberangi Sungai Corantjn selama satu jam-dari Guyana. Saya memang akhirnya bertemu dengan Karel Mertodirjo, warga Suriname di Kourou. "Nenek moyang saya orang Jawa Tengah, tapi kami sudah kehilangan kontak," kata pria 60-tahun kelahiran Suriname ini. Ia mengguncang-guncang tangan saya. "Saya senang ketemu orang Jawa," ucapnya, terkekeh. Seperti kebanyakan orang Jawa di Suriname, Karel fasih berbahasa Indonesia dan Jawa. Ia belum pernah mengunjungi Indonesia. "Kalau ke Jawa, saya juga bingung akan ketemu siapa," tuturnya.
Satu-satunya rumah makan yang menunya agak cocok dengan lidah Indonesia di Kourou adalah Konglong, milik warga Cina. Di sana saya sempat mencicipi mi rebus dan nasi goreng. "Di Kourou, setiap hari saya makan di Konglong," kata Nengah, terkekeh.
Tak hanya membawa budak dari Afrika, pemerintah Prancis sepanjang 1852-1950-an mendatangkan ribuan residivis kelas kakap dari Prancis untuk dikucilkan di tempat ini. Sejumlah pulau di Samudra Atlantik di Guyana dijadikan sebagai penjara di tengah laut dengan segala kekejaman di dalamnya. Tak ada yang bisa lolos dari tempat itu kecuali bersiap mati konyol dengan terjun ke Lautan Atlantik. Kekerasan penjara Guyana-yang dikenal dengan sebutan Devil’s Island (Pulau Iblis)-yang mengilhami Henri Charriere pada 1969 menulis novelnya yang termasyhur, Papillon. Konon, cerita pemuda yang berusaha lari dari penjara ini adalah kisah nyata yang terjadi di Devil’s Island.
Devil’s Island kini tinggal bangunan kokoh yang berlumut. Pada 1953, pemerintah Prancis memang menutup penjara yang didirikan Raja Napoleon itu. Pulau itu kini dijadikan obyek wisata yang tak banyak dikunjungi orang. "Ombaknya besar, jika tidak tahan bisa muntah-muntah kalau ke sana," ujar Magali Montarlier.
Selain menjadi tempat pembuangan residivis kakap, Guyana, pada 1975-an, menjadi tempat penampungan warga Laos yang lari dari negeri mereka, yang kala itu dilanda perang. Mereka antara lain diangkut dengan kapal laut dan sebagian dengan pesawat terbang. Warga Laos itu kini berdiam di selatan Guyana–dekat Brasil-dan membentuk komunitas serta kampung sendiri. Jumlahnya sekitar seratus keluarga.
Guyana punya potensi lain yang bisa jadi tak terbayangkan saat Prancis mendudukinya pada 1604: tempat ideal untuk meluncurkan satelit. Itu karena posisinya yang dekat dengan ekuator-sekitar lima derajat. Inilah yang membuat Prancis pada 1964 menjadikan wilayah tersebut sebagai tempat peluncuran satelit. Lokasi dipilih di Kota Kourou, yang berjarak sekitar 60 kilometer dari Cayenne.
Pusat peluncuran satelit bernama Guiana Space Centre itu terletak di tepi Samudra Atlantik, dengan luas sekitar 700 kilometer persegi. "Selain dekat dengan ekuator, cuaca tempat ini stabil dan jauh dari ancaman badai," kata Kepala Guiana Space Centre Didier Faivre. Kelebihan lokasi itu yang menyebabkan Guiana Space Centre disebut sebagai lokasi terbaik peluncuran satelit.
Pada 2017, hampir setiap bulan sebuah satelit diluncurkan dari tempat tersebut. Puluhan pejabat penting dari berbagai negara biasanya datang menyaksikan peluncuran satelit itu. Adapun hiburan para tamu itu, seusai acara peluncuran, biasanya tak lain, ya, menyusuri eksotika hutan Amazon dengan segala legendanya itu.
Lestantya R. Baskoro (Kourou, Guyana)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo