Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM eksperimen awalnya, Triyadi Guntur Wiratmo menempelkan secarik prangko di atas kanvas kosong. Prangko itu adalah koleksinya sendiri, Sukarno seri Conefo, yang dikeluarkan pada 1965kini bernilai Rp 3 juta. Dalam prangko itu, hanya terlihat wajah Sukarno yang sedang menoleh ke sisi kiri.
Dari wajah Sukarno, Triyadi lalu menarik garis dan melukis tubuh sang tokoh secara utuh sekaligus latar belakangnya. Ruang yang digambar Triyadi dari sepotong wajah di atas prangko inilah yang membuka narasi baru tentang sejarah dari tokoh tersebut. Narasi yang dipilih Triyadi menggelitik juga kontradiktif.
Sukarno, misalnya, digambarkan Triyadi sedang melangkah di depan kerumunan aksi satire memprotes kapitalisme. Juga di tengah-tengah gerai makanan cepat saji. Seri yang terdiri atas delapan lukisan berukuran 31,5 x 37,5 sentimeter ini diberi judul Postcard from The Past.
Setelah eksperimen itu, Triyadi tak lagi menggunakan prangko asli. Namun ia masih mempertahankan ciri khasnya dengan cara melukis kembali wajah para tokoh berdasarkan contoh prangko yang ia koleksi ataupun yang ditemukan di Internet. Ukuran prangko yang ia lukis kembali dibuat lebih besar sehingga efeknya pun jadi lebih terasa.
Dalam salah satu lukisan berukuran 100 x160 sentimeter yang juga memuat prangko wajah Sukarno, Triyadi menggambarkan sang proklamator berdiri di depan pegunungan yang telah dikeruk habis-habisan menjadi area tambang. Judulnya Lost in Fiction: Aku Cinta Padamu Tanah Airku. Nakal sekali.
Triyadi adalah pengoleksi sekaligus perancang ilustrasi prangko untuk PT Pos Indonesia. Terakhir, perupa kelahiran 1974 itu mendesain prangko seri gerhana matahari total tahun lalu. Baginya, prangko adalah sebuah keajekan karena hanya pemerintah yang berhak menetapkan siapa yang layak diabadikan di dalamnya. Biasanya yang diprangkokan adalah orang yang berjasa pada negara dan sudah meninggal. "Prangko jadi simbol penunggalan sejarah," ujar dosen Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Bandung ini.
Ia hendak membuka imajinasi dari prangko yang ajek itu. Dengan begitu, narasi sejarah pun menjadi terbuka. Kebenaran tak hanya ditentukan dari satu sisi. Dan sisi yang dipilih Triyadi cenderung ironis tapi jenaka.
Ada lukisan dengan prangko wajah Che Guevara yang digambarkan sedang menunggang kuda di Times Square, New York, dengan judul Unreal World Needs Real Hero. Atau Hitler yang tegang berdiri di samping pasangan sedang melakukan selfie di depan Menara Eiffel dalam Paris, Je t’aime. Paling jenaka, prangko wajah Karl Marx dilukis Triyadi seolah-olah sedang berada di salon. Tukang cukur di belakangnya tak lain adalah Mao Zedong, pendiri Cina sekaligus sosok yang paling berhasil menerapkan Marxisme. Judulnya? Getting Pretty, Dear Kamerad.
Karya-karya Triyadi itu dipamerkan di Galeri Nasional hingga 23 April nanti. Kurator Rizki A. Zaelani memberi tajuk "Between The Lines" untuk pameran yang menampilkan 15 lukisan terbaru Triyadi itu. "Maknanya bukan hanya sesuatu yang tersirat, tapi juga pengalaman menikmati harmoni dan keterampilan menumpukkan garis yang dilakukan Triyadi dengan intens," ujar Rizki saat pembukaan pameran.
Karakter lukisan Triyadi memang drawing dengan garis yang tegas layaknya ilustrasi. Nuansa abu-abu dari pensil ia kontraskan dengan warna prangko. Kadang muncul warna-warni cerah dalam lukisannya, yaitu saat Triyadi ingin menegaskan kontradiksi dalam narasi yang ia sajikan. Misalnya dalam lukisan Kartini berjudul Panggil Aku Fashionista Saja. Di sekitar sosok Kartini yang berwarna abu-abu, terserak berbagai model sepatu hak tinggi perempuan dalam warna mencolok.
Seri prangko adalah lanjutan dari pameran tunggal Triyadi pada 2013 yang bertajuk "Emo Ergo Sum". Ia tertarik pada tokoh-tokoh dunia yang melahirkan bermacam ideologi dan diabadikan dalam prangko. Oleh Triyadi, ideologi para tokoh dikonstruksi ulang dalam lukisannya lewat perubahan gestur tubuh atau latar belakang.
Selain menampilkan seri prangko, Triyadi memamerkan karya seri rajut. Pada seri ini, ia menggunakan dua kanvas yang bersisian. Ia memadankan garis halus dari lukisan pensil di salah satu kanvas dengan garis tebal dari sulaman jelujur di kanvas sebelahnya, umumnya dari benang merah. Perbedaan medium ini memberi karakter berbeda yang memperkuat ilustrasi Triyadi. "Pensil kan rough dan berkesan maskulin, sedangkan sulaman melambangkan feminitas. Jadi ada androgini dalam karya saya," katanya.
Berbeda dengan seri prangko di mana Triyadi menafsirkan sejarah dengan menggoda, dalam seri rajut pandangannya lebih optimistis dan mencoba mengobarkan semangat. Judul-judul seri ini diambil dari bait sajak W.S. Rendra, "Kesadaran adalah Matahari".
Ada Kartini yang sedang membaca buku lalu rajutan aksara seolah-olah beterbangan keluar dari lembar-lembarnya dan menjelma jadi burung merpati di kanvas sebelah. Dalam Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata, ada sosok Chairil Anwar dalam posenya paling terkenal yang mengisap rokok. Lajur asapnya kemudian dilanjutkan dengan garis sulaman yang membentuk bait-bait sajak Chairil "Persetujuan dengan Bung Karno".
Satu sosok tak dikenal dalam seri ini adalah seorang perempuan sepuh berkebaya. Wajahnya keras, kedua tangan terbuka seolah-olah sedang berdoa. Di dada perempuan itu, dirajut hati berwarna merah. Dari tangannya, terjulur benang yang membentuk kata "REVOLUTION" dengan huruf "EVOL" dibalik hingga terbaca "LOVE". Perempuan itu adalah Suprapti, ibu Triyadi, yang meninggal delapan tahun lalu. Triyadi beberapa kali menjadikan ibunya sebagai obyek lukisan. "Beliau pahlawan saya, yang mengajarkan revolusi dengan cinta," ujarnya.
Moyang Kasih Dewimerdeka
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo