Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri kukuh disangga sembilan pilar, gedung mentereng di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, itu tak pernah sepi dari pencari keadilan. Inilah gedung Mahkamah Konstitusi, pengadilan yang kini kebanjiran perkara sengketa pemilihan kepala daerah.
Urusan pilkada sebenarnya bukan ”pe kerjaan utama” Mahkamah. Diben tuk berdasarkan Undang-Undang Mah kamah Konstitusi Nomor 24/2003, pokok pangkal lahirnya lembaga ini lanta ran, ”Banyak undang-undang yang diangggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” kata pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin. Di luar itu, undang-undang menunjuk lembaga ini sebagai pemutus sengketa antarlembaga negara dan juga lembaga yang berhak membubarkan partai politik.
Mahkamah Konstitusi resmi berope rasi pada 15 Oktober 2003, dengan ditandai pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung. Sejak berdiri hingga ki ni, sudah 266 perkara yang diputus lembaga ini. Dari jumlah itu, 75 perkara di kabulkan, 93 ditolak, 69 tidak diterima, dan sisanya ditarik oleh sang pemohon.
Tidak seperti ”saudara tua”-nya Mahkamah Agung, yang memiliki 51 hakim, jumlah hakim Mahkamah Konstitusi hanya sembilan. Mereka dipilih berdasarkan perwakilan dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing dengan perwakilan tiga orang. ”Penerapan trias politika yang paling benar ada di Mahkamah Konstitusi,” ka ta Irman. Sembilan hakim ini pula yang kemudian disimbolkan sembilan pilar yang menyangga gedung Mahkamah Konstitusi yang berwarna abu-abu itu.
Sejumlah prestasi berkaitan dengan undang-undang pernah ditelurkan lem baga ini. MK, misalnya, pada 2006 menghapus pasal-pasal yang berkaitan dengan delik pencemaran nama baik presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan penghapusan ini, delik itu menjadi delik aduan. Tak bisa lagi polisi, misalnya, menangkap seseorang dengan alasan mencemarkan nama baik presiden. ”Lembaga ini menjadi benteng terakhir terhadap demokrasi,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum Tjatur Sapto Edy.
Lembaga ini juga pernah dipuji karena melakukan terobosan memperdengarkan rekaman suara Anggodo,adik tersangka kasus korupsi Sistem Radio Komunikasi Terpadu, Anggoro Wi djo jo, yang saat itu diduga merancang kri minalisasi terhadap anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Rekaman itu menghebohkan karena dengan gamblang mempertunjukkan bobroknya mental sejumlah aparat penegak hukum kita.
Tak mudah menjadi hakim konstitusi. Syarat utamanya memiliki pengalam an di bidang hukum minimal sepuluh tahun, tak boleh rangkap pekerjaan, dan harus melepas keanggotaan dalam partai politik. ”Ini supaya tidak ada konflik kepentingan,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.
Gaji hakim konstitusi lumayan besar, rata-rata Rp 40 juta. Mereka mendapat fasilitas rumah dinas, mobil,serta uang tunjangan Rp 200 ribu per sidang. Khusus buat Ketua Mahkamah, fasilitas yang didapat setara dengan menteri. Untuk menjaga kebugaran tubuh, disediakan tukang pijat yang bersiaga bekerja bagi para hakim yang kecapekan akibat banyak bersidang.
Fasilitas dan gaji cukup tak menjamin perilaku baik para hakim. Tjatur mengaku pernah mendengar kabar tak sedap tentang kelakuan hakim konstitusi. Berita itu ia peroleh dari sejumlah anggota partai yang bersengketa dalam pemilihan kepala daerah. ”Ada kabar hakimnya bisa diatur dengan uang,” ujarnya.
Mahfud mengakui satu-satunya pengawasan para hakim memang hanya dilakukan Ketua Mahkamah Konstitusi. Adapun dewan kehormatan hanya bersifat ad hoc dan dibentuk jika terjadi penyimpangan kode etik. Selama ini dewan kehormatan belum pernah dibentuk. Mahfud menjamin hakim konstitusi periode ini bersih. ”Tapi saya tidak menjamin untuk sepuluh tahun ke depan,” katanya. ”Godaan hakim sangat besar.”
Menurut Tjatur, Badan Legislasi DPR kini tengah menggodok revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang mendapat sorotan memang soal pengawasan. ”Ada usul untuk melembagakan badan pengawas hakim Mahkamah Konstitusi,” katanya. Alter natif solusi: Komisi Yudisial bisa meng awasi hakim konstitusi. ”Karena hakim tidak boleh mengadili diri sendiri,” kata Tjatur.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo