Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil investigasi "Tim Refly" benar-benar menyodok Akil Mochtar. Hakim Mahkamah Konstitusi yang juga bekas anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat itu disebut-sebut meminta uang Rp 1 miliar kepada Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih. Itu terjadi saat Akil menjadi ketua panel hakim yang mengadili perkara sengketa pemilihan bupati daerah tersebut Agustus silam.
Akil keras membantah tu duhan itu. Ia menegaskan tak pernah menerima satu rupiah pun dari Jopinus. "Ini pembunuhan karakter," kata pria 50 tahun itu kepada wartawan Tempo Mus tafa Silalahi, Anton Aprianto, Ramidi, dan Yuliawati yang menemuinya Kamis pekan lalu di ruang kerjanya di gedung Mahkamah Kon stitusi.
Anda memeras Jopinus Ramli Saragih?
Tidak. Saya bahkan tidak pernah bertemu dan berkomunikasi dengan Jopinus selain di ruang sidang. Di sidang itu saya menjadi ketua panel hakim sengketa pemilihan Bupati Sima lungun bersama Hamdan Zoelva dan Muhammad Alim.
Komentar Anda tentang hasil tim investigasi itu?
Laporan itu tidak dibuat berdasarkan keterangan Jopinus langsung, tapi testimoni tentang kejadian yang di alami dan didengar oleh Refly Harun dan Maheswara Prabandono. Saya disebut memeras calon nomor satu dan nomor dua pemilihan di sana. Saya juga disebut menunjukkan hasil putusan Yusril Ihza Mahendra dan Susno Dua dji. Kalau dikait-kaitkan begini, ceritanya jadi enak betul.
Pernah dimintai keterangan tim investigasi?
Tidak pernah. Apalagi kabar peme rasan itu masih dianggap sumir. Juga tidak jelas karena terjadi missing link antara kesaksian satu dan lainnya dalam laporan investigasi itu.
Kenapa Anda nilai sumir?
Hasil investigasi itu bukan keterang an langsung Jopinus. Ia hanya satu kali ditelepon oleh tim investigasi, kemudian dicari juga ke Batam, tapi tak berhasil. Dia kan bupati, sebenarnya cari saja di kantor Bupati Simalungun, ala mat kantornya jelas, alamat rumahnya juga jelas.
Anda sudah mendengar tuduhan peme rasan ini sebelum tim investigasi dibentuk?
Jauh sebelum tim melaporkan kasus ini, saya banyak menerima SMS bernada tuduhan serupa. Lalu saya melapor ke Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. Itu hampir sebulan lalu. Saya bilang, "Pak, saya dituduh memeras Bupati Simalungun." Saya juga bilang ini semua kabar sampah. Pak Mahfud mendukung saya.
Anda dan hakim konstitusi lainnya sering menerima SMS seperti itu?
Saya memang sering mendapat SMS. Apalagi dari warga Papua, hampir setiap hari. Khususnya bila putusan sudah keluar. Nomor-nomornya tidak jelas. Dari yang mau memberi uang sampai mengancam akan pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini. Tapi saya tidak pernah menanggapi SMS itu. Tidak pernah juga saya simpan. Isi SMS-SMS ini juga pernah saya sampaikan di sela-sela Rapat Permusyawaratan Hakim. Kami menganggap hal ini sudah biasa.
Kenapa Anda melaporkan Jopinus ke Komisi Pemberantasan Korupsi?
Saya laporkan Jopinus agar ia bisa berbicara. Hanya penyidik yang bisa memaksa ia bicara. Refly dan Mahes wara juga otomatis akan diperiksa meski tidak dilaporkan. Jika mereka nanti tidak bisa membuktikan adanya pe merasan, terbukti mereka memfitnah saya.
Mengapa Anda memilih melaporkan hal ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi?
Saya tahu betul kredibilitas lembaga ini, karena saya pernah ikut mengonsep lembaga ini. Kalau melapor ke kejaksaan dan polisi, saya bisa tersandera di sana. Kasus ini bisa enggak selesai-selesai. Malah kacau nanti.
Ada kabar yang menyebutkan Refly dendam kepada Anda karena kasus yang ia tangani sering Anda kalahkan?
Dalam testimoni di laporan investigasi itu, dia mengaku geram kepada saya. Sengketa pemilihan kepala daerah yang saya tangani memang banyak melibatkan dia, seperti Kabupaten Merauke, Simalungun, dan Toli-toli. Tapi ada juga yang menang dan kalah. Itu kan biasa. Ia juga menyebut saya bertemu orang di Jerman untuk menerima suap. Bayangkan, sampai sesirik itu dia kepada saya.
Benar Anda pernah mendamprat Refly?
Iya, sekitar Oktober lalu, sebelum ia menulis opini di Kompas. Saat itu kami ber temu di depan lift; disaksikan dua orang wartawan dan karyawan lain. Saya bilang ke dia, "Jangan sembarang an menuduh." Itu karena sebelumnya ia ngomong ke sana-kemari menyebut saya menerima uang dari sengketa pemi lu kepala daerah Merauke. Ia minta maaf. Eh, tulisan opini itu malah muncul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo