Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRUK-TRUK beraroma tengik berhenti di Desa Bait, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka bersiap menumpahkan lumpur dan kotoran yang telah membusuk bersama puing-puing reruntuhan kota yang hancur akibat amukan tsunami akhir tahun lalu. Kawasan Bait, yang hampir rata tanah itu, kini seakan sudah disiapkan menjadi tempat sampah terbesar.
Namun, pekerjaan itu tiba-tiba terhenti saat belasan orang berlarian mendekat dengan muka marah. "Jangan buang sampah di sini!" teriak orang-orang yang ternyata penduduk setempat itu. "Kami disuruh membuang di sini," kata seorang sopir truk. "Siapa suruh?" penduduk menghardik. Warga menantang: gubernur sekalipun akan mereka datangi kalau memberi perintah membuang sampah di atas tanah mereka.
Mereka memang tak mendatangi Gubernur Aceh Abdullah Puteh, yang kini sedang meringkuk di bui di Jakarta. Selain itu, para sopir truk juga mengalah: mereka membuangnya ke penimbunan sampah yang telah menggunung, beberapa ratus meter dari tempat semula.
Masyarakat Desa Bait lebih waspada sejak peristiwa tiga pekan lalu itu. Kini mereka berjaga-jaga dengan mendirikan tenda di atas lantai keramik dari bangunan yang telah lenyap wujudnya. Tenda itu sekaligus mereka pakai untuk kantor urusan desa, menggantikan kantor resmi yang sudah hancur. "Hanya tanah harta kami yang tersisa," kata Taufik Abdul Jalil, Sekretaris Desa Bait.
"Di situ dulu rumah saya," kata Taufik sambil menunjuk titik yang tak jelas. Dia bukan hanya kehilangan rumah, anak, dan istri. Tsunami juga merontokkan tiga gigi depannya. Kini ia harus bekerja ekstra setelah kepala desa juga meninggal dalam bencana. Nah, kalau tanahnya pun dipakai tempat pembuangan sampah, apalagi yang tersisa?
Wajar kegelisahan itu muncul. Surat bukti kepemilikan tanah yang mereka miliki telah lenyap terbawa lumpur. Bagi yang punya sertifikat tanah, mereka masih bisa melacaknya ke Badan Pertanahan Nasional di Banda Aceh yang kantornya masih berdiri tegak. Masalahnya, bagi pemilik tanah berstatus girik, dokumennya hanya tersimpan di kantor kepala desa yang sudah remuk.
Banyak cara dipakai penduduk Bait untuk menandai tanah mereka. Beberapa orang membangun rumah ala kadarnya dari papan kayu. Ada pula yang menandai tanah mereka dengan hanya memasang bendera dari sobekan kain di ujung patok-patok kayu. Sebagian lagi sudah memasang papan nama: "tanah milik Haji A atau Nyonya B". "Kami takut tanah hilang, apalagi kami tidak pernah tahu rencana-rencana pemerintah," kata Buchori, nelayan yang tinggal di Bait.
Pemandangan serupa bisa ditemui di sepanjang wilayah pantai dari Peukan Bada, Lampulo, Lamdingin (Kecamatan Kuta Alam), Kajhu, hingga Masjid Raya dan sekitarnya. Kawasan ini hancur setelah tsunami melumat seluruh bangunan di kawasan pantai sepanjang 60 kilometer dan menjorok ke daratan hingga sekitar lima kilometer. Berbagai isu merebak di antara pengungsi. Di antaranya, mereka mendengar pemerintah akan mengosongkan kawasan pantai dan memindahkan mereka ke lokasi baru.
Masyarakat Desa Alue Dayah Teugeh, Syiah Kuala, Banda Aceh, cepat bereaksi. Rapat desa yang mereka lakukan di kamp pengungsian memutuskan menolak jika harus dipindahkan dari tempat asal mereka. Alasan utama, sebagian besar di antara mereka bekerja sebagai nelayan. "Mana mungkin kami tiba-tiba disuruh jadi petani," kata M. Nur, 45 tahun, salah seorang warga.
Kekhawatiran itu tak berlebihan. Pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyiapkan cetak biru wajah Banda Aceh yang baru. Serambi Mekah itu akan ditata ulang dalam beberapa zona (lihat peta). Kawasan sejauh dua kilometer dari bibir pantai nantinya harus bersih dari permukiman. Di sana hanya boleh dipakai untuk perikanan dan tambak. Daerah ini akan dibatasi pagar hidup berupa taman kota, sebelum masuk zona permukiman terbatas.
Setelah kawasan permukiman terbatas, barulah memasuki daerah permukiman perkotaan dan berbagai fasilitas pendukung kota. Sementara itu, zona permukiman baru direncanakan berada di wilayah sekitar Lambaro hingga kawasan sekitar bandar udara di Blang Bintang, Aceh Besar. Nah, warga Banda Aceh yang sebelumnya bermukim di sekitar pantai akan dipindahkan ke permukiman baru yang berjarak sekitar 50 kilometer.
Pemerintah sudah mulai menghitung. Jumlah penduduk Banda Aceh sebelum bencana sekitar 230 ribu jiwa, kini diperkirakan tersisa 60 persen saja. Dari jumlah yang tersisa, sekitar 17 ribu orang mendiami daerah pesisir pantai dan 20 persennya diperkirakan nelayan. Para nelayan itu mengaku mustahil mau pindah ke gunung karena mereka hidup dari laut. "Mereka ini yang diperkirakan menolak pindah," kata Hermani Wahab, Wakil Ketua Sekretariat Tim Rekonstruksi dan Rehabilitasi Masyarakat Aceh dan Sumatera Utara, di Bappenas.
Hermani menyadari potensi konflik yang mungkin timbul. Bahkan masyarakat yang bukan nelayan pun diperkirakan hanya 10 persen yang bersedia pindah. Persoalan lain yang dihadapi adalah masalah ganti rugi tanah yang belum jelas besarnya dan status kepemilikannya.
Dalam beberapa kali rapat tim rekonstruksi, muncul usulan membuat escape hill atau sebut saja bukit pelarian di sekitar pantai. Rencana itu untuk mengantisipasi warga yang menolak pindah dari pantai. Bukit pelarian itu berupa perbukitan baru yang memungkinkan warga berlari ke sana dalam waktu 20 menit jika sewaktu-waktu tsunami datang. Namun, hingga kini konsep itu masih akan dikonsultasikan dengan masyarakat setempat.
Bappenas mengajukan anggaran sekitar Rp 111 miliar untuk urusan administrasi kasus pertanahan ini. Biaya tersebut terbagi dalam lima tahun kegiatan. Anggaran terbesar mereka ajukan untuk pembuatan sertifikat pengganti yang diperkirakan mencapai Rp 27 miliar. Besarnya biaya itu diharapkan bisa mengurangi potensi konflik dalam kasus pertanahan. Hal ini bisa dilihat, baru sekitar 70 ribu petak tanah di Banda Aceh yang sudah terdaftar. Sedangkan sekitar tiga kali lipatnya belum tercatat.
Daftar rencana induk yang disusun Bappenas itu akan didiskusikan bersama usulan dari Pemerintah Daerah Aceh dan tim dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dalam minggu ini. Hasil diskusi itu dibuat rencana induk akhir untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh. Penyusunan rencana induk itu akan disusul dengan penyusunan detail rancangan hingga Juni nanti. Sedangkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi baru akan digarap lima bulan lagi.
Kini, pemerintah harus bergerak cepat. Kegelisahan warga sudah mulai tampak di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh. Setiap hari sekitar 100-an orang mendatangi kantor ini untuk melegalisasi bukti kepemilikan tanah mereka yang telah hilang, sejak sepekan terakhir. Sayangnya, kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) masih belum siap melayani mereka.
Sebuah tim penyelamatan dokumen yang diundang dari Jepang kini mengalami kesulitan membaca dokumen yang tersisa. Teguh C.H. Nuddin, salah seorang anggota tim yang berasal dari Indonesia, menyebut sekitar 80 persen dokumen pertanahan telah dapat ditemukan, sementara sisanya hilang terbawa arus. Dari jumlah yang ditemukan, separuhnya rusak karena salah urus saat ditemukan.
Untuk membaca dokumen yang rusak itu, tim ini membutuhkan obat dan peralatan khusus yang harus didatangkan dari Jepang. Masalahnya, menurut Teguh, dalam menangani bencana ini pemerintah Indonesia membuat keputusan: mau dibantu asing, tetapi tidak akan mengambil inisiatif meminta bantuan. Repot!
Padahal pihak Jepang, dalam kasus khusus seperti penyelamatan dokumen ini, hanya akan mengulurkan tangan jika ada permintaan resmi dari pemerintah Indonesia. Akibatnya, tim ini masih kesulitan membuat proposal bantuan ke Jepang. "Harusnya dalam kasus ini pemerintah Indonesia menurunkan sedikitlah gengsinya," kata Teguh. Ia mengkhawatirkan biaya sosial akibat sengketa tanah ini akan sangat besar.
Memang hingga kini belum ada kasus sengketa tanah yang dibawa ke pengadilan. Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung, Ahmad Kamil, menyarankan untuk sementara semua urusan perjanjian transaksi tanah di Aceh ditangguhkan dulu. Pengadilan setempat juga diminta menunda semua pengesahan perjanjian transaksi tanah sambil menunggu Badan Pertanahan Nasional menyelesaikan urusannya.
Ahmad mengakui persoalan tanah akan menjadi persoalan berat di Aceh. Saat ini Mahkamah Agung sedang mempersiapkan sarana fisik seperti perbaikan gedung pengadilan yang hancur akibat gempa dan tsunami. Selain itu, persiapan tenaga hakim yang akan bertugas. Bagi Ahmad, sebaiknya tanah yang ada dikembalikan kepada pemilik asal.
Namun Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, Siti Nurbaya, menilai perubahan fungsi tanah setelah tsunami mustahil dihindari. Sebab, kawasan yang semula bukan danau menjadi danau, yang semula lahan produktif tiba-tiba harus menjadi kawasan lindung. Menurut Siti, BPN bisa memakai foto satelit yang mereka miliki untuk menggambarkan kondisi lanskap untuk melihat batas-batas wilayah. "Kita harus kuat dalam pendataan dan analisisnya," kata Siti.
Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah masih menunggu hasil rencana komplet tata ruang yang tengah digodok di Bappenas. Itu pun masih harus dikoordinasikan dengan Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Keuangan, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, dan departemen terkait lainnya. "Kami berharap dalam sebulan sudah akan keluar cetak birunya," kata Kalla kepada Tomy Aryanto dari Tempo.
Pada kesempatan yang sama, Jusuf Kalla membantah posko Aceh di kantor Wakil Presiden akan menjadi lembaga yang paling menentukan dalam pembangunan kembali Aceh. Sebelumnya sempat muncul kecurigaan, kelompok usaha Bukaka miliknya, yang mempunyai spesifikasi di bidang konstruksi, akan menguasai megaproyek bernilai puluhan triliun rupiah ini. "Kalau ikut tender, kan tidak apa-apa. Toh, semuanya terbuka," kata Jusuf.
Agung Rulianto, Yuswardi Suud, Sukma N. Loppies, Ramidi, Adi Warsidi (Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo