Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

"Jangan Cepat Menghakimi Pemerintah"

28 Februari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The International Committee of The Red Cross (ICRC) sudah berada di Nanggroe Aceh Darussalam sejak 1979, berarti lama sebelum bencana tsunami. Daerah kerja Palang Merah Internasional ini memang di wilayah konflik bersenjata. Namun, begitu musibah menimpa Aceh, ICRC juga bergerak memberikan bantuan. Apa saja kontribusi mereka dan bagaimana mereka melakukan koordinasi? Pekan lalu, Andari Karina Anom dari Tempo mewawancarai Presiden ICRC Jacob Kellenberger di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Petikannya:

Apa bentuk kontribusi ICRC pada musibah tsunami di Aceh?

ICRC sudah bekerja lama di Aceh dan memiliki pengetahuan tentang Aceh. Karena itu, walaupun dengan staf yang terbatas, ICRC adalah satu-satunya organisasi internasional yang sebelum tsunami memang telah hadir di Aceh. Itu sebabnya, kami bisa memberikan kontribusi dengan cepat. Walaupun aktivitas utama kami adalah perlindungan dalam perang, namun karena kami berada dalam posisi yang memungkinkan untuk bereaksi cepat, maka itulah yang kami lakukan. Kami memfokuskan bantuan pada makanan, medis, sanitasi, hingga program "I am Alive" yang menghubungkan anggota-anggota keluarga yang tercerai-berai. Kami berkoordinasi dengan PMI untuk mengembangkan hal ini.

Bagaimana Anda menilai koordinasi penyaluran bantuan di Aceh?

Begitu banyak organisasi internasional yang datang dengan berbagai latar belakang. Ada lembaga-lembaga PBB, LSM internasional, ICRC, dan banyak lagi. Khusus bagi ICRC, kami mengadakan koordinasi yang sangat baik dengan PMI. Dalam situasi darurat begini, ketika Aceh tiba-tiba kedatangan banyak tokoh dan organisasi pada saat yang bersamaan, memang sangatlah sulit melakukan koordinasi. Beberapa ada yang berkoordinasi, beberapa tidak. Tapi jangan terlalu cepat menghakimi soal koordinasi ini. Tidaklah tepat mengatakan bahwa tiada koordinasi di antara organisasi-organisasi kemanusiaan yang memberikan bantuan di Aceh.

Banyak kritik ditujukan ke pemerintah soal koordinasi bantuan-bantuan asing. Bagaimana pengalaman ICRC?

Saya kira situasi musibah seperti ini akan sulit bagi pemerintah mana pun. Musibahnya begitu besar dan begitu banyak orang-orang yang datang dan terlibat. Situasinya memang sulit. Tapi saya tak akan memberikan advis atau usulan kepada pemerintah. Saya kira semua pihak cukup sadar pentingnya koordinasi. Pemerintah sudah melakukan usaha berkelanjutan. Mungkin bukan koordinasi yang ideal, namun harus diingat bahwa ini adalah proses darurat.

Anda akan bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apakah ada kaitannya dengan koordinasi bantuan internasional ke Aceh?

Sebetulnya kunjungan ini sudah direncanakan tahun lalu, sebelum tsunami. Rencana pertemuan dengan Presiden adalah memperkuat kerja sama dengan Indonesia. Kami juga melihat bagaimana kami bisa memutakhirkan beberapa instrumen hukum tertentu. Kami ingin memberi kerangka kerja yang jelas tentang kegiatan kami di Indonesia.

ICRC sudah memberi bantuan kemanusiaan di Aceh sejak 1979. Dalam bentuk apa saja?

Sebelum tsunami, kami punya banyak sekali kegiatan. Pertama, menyebarkan dan mengajarkan hukum kemanusiaan internasional kepada militer dan polisi. Kedua, mengunjungi tahanan yang berkaitan dengan konflik bersenjata. Itulah fokus program kami. Kalaupun kami terlibat dalam bantuan kemanusiaan untuk daerah yang dilanda bencana alam, itu hanya daerah yang dilanda konflik bersenjata. Dalam bencana tsunami ini, hanya Aceh dan Sri Lanka.

Bagaimana perbandingan konflik di Aceh dengan di negara lain?

Saya tak mau berpretensi memberi penilaian, namun Indonesia adalah negara yang membuat ICRC memiliki nilai tambah. Saya rasa pemerintah Indonesia juga dapat melihat nilai tambah dari kegiatan ICRC dalam kegiatan penyebarluasan hukum-hukum kemanusiaan dan dalam hal perlindungan, khususnya kunjungan kepada tahanan. Bagi kami, selama tugas-tugas kami sesuai dengan mandat ICRC, tak ada masalah.

Tentang konflik bersenjata, bagaimana Anda melihatnya?

Kami beroperasi di negara yang besar konflik senjatanya. Sejauh ini, operasi terbesar kami di Sudan. Anggaran kami di sana lima kali lebih besar dibanding di Indonesia. Setiap konflik bersenjata memiliki karakternya sendiri-sendiri. Penyebab konflik dan intensitasnya juga berbeda-beda. Karenanya, konflik di tiap-tiap negara tak bisa disamaratakan. Sembilan dari sepuluh konflik yang ditangani ICRC adalah konflik bersenjata internal. Konflik di Aceh relatif kecil dibandingkan dengan konflik di beberapa negara lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus