Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Matahari sedang terik-teriknya. Iqbal Maulana, 9 tahun, menembus debu jalan yang sebagian melekat di wajah dan pakaian barunya. Tas punggungnya mendaplok lunglai, terlalu besar untuk ukuran tubuhnya yang kurus. Lima menit berjalan dari bangunan SD Negeri Gue Gajah, Aceh Besar, Iqbal tiba di kamp pengungsi stasiun TVRI Mata Ie. Wajahnya memerah, napasnya memburu, bergegas Iqbal menuju tenda milik badan PBB untuk dana darurat anak-anak (Unicef).
Di kursi depan tenda, duduk Prawoto, Koordinator Program Regional untuk Aceh dari Yayasan Pusaka Indonesia yang membuka Child Center bersama Unicef. Mengadulah Iqbal kepada lelaki yang dipanggilnya "ayah" itu. Iqbal berkisah tentang lelahnya jalan kaki pulang-pergi ke sekolah, pagi dan siang, ke Gue Gajah. Ketika Iqbal berceloteh, satu-dua anak yang lain berdatangan, disambut para relawan Child Center dengan salam dan tegur sapa.
Melepas lelah sejenak, menjelang sore hari Iqbal dan anak-anak usia sekolah dasar di kamp pengungsi Mata Ie disuguhi aneka menu pendidikan nonformal. Dari mulai penanganan trauma ala Child Center, Sekolah Ceria-nya Dompet Duafa, sampai belajar agama berkurikulum Forum Ukhuwah Umat Islam Banda Aceh. Dan pukul empat teng, Iqbal tenggelam dalam aktivitas Child Center. Mencorat-coret kertas, menggambar gelombang tsunami yang merenggut ayah-bundanya.
Untuk anak-anak usia prasekolah, di sini ada sekolah alternatif yang dijalankan Baitul Mal Muamalat. Tinggal pilih saja, semuanya serba gratis.
Tak jauh dari situ, di tenda yang lain, satu jam sebelumnya Sekolah Ceria Dompet Duafa sudah memulai aktivitasnya. Di sana Asmuni Marzuki, 25 tahun, Wakil Koordinator Sekolah Ceria Mata Ie, sibuk dikerubuti anak-anak. Ditemani dua guru perempuan lainnya, Asmuni tenggelam dalam berbagai kegiatan yang digelar sore itu. Sekitar sepuluh anak dengan riang mengikuti berbagai instruksi. Nah, di tenda yang sama pula Asmarawati, 35 tahun, dari Forum Ukhuwah Umat Islam (FUUI), menanti giliran mengajar. "Fokus utama kami lebih pada pendidikan agama," kata Wati.
Semua hiruk-pikuk pembelajaran ini berlokasi di tempat yang sama, dengan anak-anak yang sama. "Kami berbagi tenda dan mengatur jadwal pelajaran," kata Asmarawati. Soal atur-mengatur jadwal ini, menurut Prawoto, merupakan inisiatif bersama lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan sektor pendidikan di kamp pengungsi Mata Ie. "Kami membentuk konsorsium," kata Prawoto, "bagi-bagi tugas dan biar tidak bentrok."
Konsorsium inilah yang menentukan jadwal pelajaran nonformal dan membagi tugas materi pelajaran untuk tiap lembaga yang masuk. Sekolah Alternatif Baitul Mal Muamalat, misalnya, memfokuskan diri mengajar anak-anak usia prasekolah di pagi hari. Untuk anak-anak usia sekolah dasar yang jumlahnya sekitar 300 orang, pendidikan formal diserahkan oleh konsorsium kepada sekolah formal yang ada di Gue Gajah, baik SD negeri maupun madrasah.
Konsorsium sepakat menggarap bersama-sama program pendidikan nonformal. Child Center mengkhususkan diri pada penanganan aspek psikososial dengan membuka kelasnya tiap hari dari pukul empat hingga enam sore. Mirip dengan itu, Sekolah Ceria membuka jadwal dari pukul dua hingga empat, dan FUUI membuka pendidikan berkurikulum agama dari pukul setengah lima sore. Rata-rata tiap sekolah nonformal ini mencatatkan 150 murid, dengan tingkat kehadiran hingga 80 persen. "Muridnya itu-itu juga, biasanya datang silih berganti," kata Asmuni.
Dan model pembentukan konsorsium ini bisa dijumpai di hampir semua lokasi kamp pengungsian di Banda Aceh dan Aceh Besar. Menurut Syamsu Rizal Panggabean dari Posko Pendidikan untuk Aceh dan Sumatera Utara (Puas), kehadiran komite masyarakat untuk pendidikan di pengungsian penting agar tidak terjadi tumpang tindih kegiatan. Rizal melihat kehadiran konsorsium ini akibat berjibunnya bala bantuan di lokasi tertentu yang tidak menyebar ke lokasi lain. "Dalam setiap bencana besar, soal bertumpuknya bantuan di lokasi tertentu tak bisa dihindari," Rizal melanjutkan.
"Namanya juga ada lembaga yang berniat ikut menolong, masa kita tolak dengan alasan sudah ada lembaga serupa," kata Prawoto. Penyebab lain dari penumpukan ini menurut Rizal adalah minimnya koordinasi. Banyak lembaga donor yang datang sendiri-sendiri dan mencari lokasi penyaluran bantuan sendiri pula. Akibatnya, distribusi yang tak rata tidak hanya terjadi di sektor pendidikan. "Semua lini, termasuk pangan, pakaian, perumahan, kesehatan," kata Rizal.
Lokasi favorit turunnya hujan bantuan, menurut Rizal lagi, adalah Banda Aceh dan Aceh Besar. Sedangkan untuk wilayah sepanjang pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam, terutama untuk Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat termasuk Pulau Simeulue, bantuan itu tak begitu gegap-gempita. "Ada kendala akses ke lokasi, keterbatasan orang di lapangan, kemampuan logistik, juga faktor keamanan," kata Rizal.
Banda Aceh dan Aceh Besar, masih menurut Rizal, jadi favorit bantuan karena lokasinya yang paling gampang dijangkau. Dari bandara bisa langsung disambangi, "Juga paling mudah dilihat dan dipamerkan hasilnya ke pihak luar, ada aspek teatrikalnya, lokasi bisa diinspeksi berbagai pihak," kata Rizal sambil tertawa.
Wartawan Tempo yang menyusuri jalan darat dari Banda Aceh ke Lhoong, wilayah terakhir yang bisa dilalui dari darat, melihat kenyataan ini. Posko-posko bantuan dari berbagai lembaga dalam dan luar negeri bertebaran di sepanjang jalan dari Banda Aceh menuju Lhok Nga. Pelan-pelan, ingar-bingar aneka merek dan bendera, juga tenda, berkurang drastis begitu mendekati Leupung.
Sampai di jembatan Lhok Kaca, Kampung Sarah, pemandangan meriah ini lenyap sama sekali, berganti puing-puing dan jalanan yang penuh debu. Yang tersisa hanya tenda-tenda TNI yang tengah menggelar proyek Sangkuriang, menyambung jalan darat Banda Aceh-Meulaboh lewat aksi Tentara Mengabdi Membangun Desa (TMMD).
Kesunyian terus mendera hingga bibir pantai Layeun, Lhok Seubu, yang menyisakan satu kelompok kecil pengungsi. Di sini ada satu posko kesehatan dan bantuan yang dibuat tim relawan dari MerC (Medical Emergency and Rescue Committee).
Sampai di permukiman Cot Jeumpa?sekitar 47 kilometer dari Banda Aceh?tinggal tenda bantuan Unicef yang tampak. Posko relawan Mer-C masih tersisa di kamp pengungsi air terjun Shuhom, Krueng Kala, sekitar tiga kilometer sebelum Lhoong, dan di kota kecamatan Lhoong sendiri terdapat pos bantuan Mer-C.
Sedangkan di sekolah darurat Kota Calang, yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Jaya, terdapat tenda-tenda untuk belajar siswa dari tingkat SD hingga SLTA. Di tiap tenda, dipatok papan nama yang menunjukkan peruntukan sekolah, juga stiker dengan logo Unicef. Pengajarnya sendiri, menurut Tisna Nando, Koordinator Komunikasi Fauna & Flora Internasional (FFI) Banda Aceh, direkrut dan dikelola FFI bersama Yayasan Sampoerna.
Toh, jumlah guru masih jauh dari mencukupi. FFI hanya sanggup membiayai 19 orang untuk lima kecamatan di Aceh Jaya. "Sebagian memakai guru-guru lama yang sudah kembali bersedia mengajar," kata Tisna. Juga para guru serabutan dari kelompok relawan yang kebetulan sedang singgah di Calang dan tentara dari korps marinir yang membuka posko di sana. Sulitnya akses ke berbagai lokasi di Aceh Jaya ini, menurut Tisna, memang jadi kendala.
Di wilayah pantai barat ini, kesibukan relawan tidak berkurang. Yohana, misalnya. Relawan Child Center Muhammadiyah ini mengisi kekosongan guru, dan ia menjadi tenaga pengajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Paya Lumpat, Kecamatan Samatiga, Aceh Barat. Ia juga dibantu relawan Child Center lainnya.
Kini, tiap pagi, relawan Child Center Muhammadiyah yang jumlahnya 60 orang itu bergiliran mengajar di sekolah formal. Baru sore harinya, menurut Rita Rolinda, sarjana lulusan IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, yang juga relawan Child Center, mereka menangani trauma anak-anak di Child Center. "Saya berharap para relawan pengajar mau masuk ke Aceh Barat," kata Rita.
Agus Hidayat (Banda Aceh, Calang), Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo