Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ULURAN tangan ucapan selamat ditujukan kepada Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Sesekali kedua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang kini nonaktif itu tertawa lebar. Kamis pekan lalu, keriangan memang menghiasi keduanya bersama anggota tim pengacara mereka. Dua putusan sela uji materi Undang-Undang Nomor 30/202 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mereka ajukan dikabulkan Mahkamah Konstitusi.
Dalam putusan sela pertama, Mahkamah menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat memberhentikan secara tetap Bibit dan Chandra meski keduanya kelak berstatus terdakwa. Pemberhentian mereka harus menunggu putusan tetap Mahkamah tentang uji materi Undang-Undang KPK itu. Adapun dalam putusan sela kedua, Mahkamah memerintahkan KPK menyerahkan semua dokumen berupa rekaman dan transkrip yang berkaitan dengan kasus Chandra dan Bibit dalam sidang, Selasa pekan ini. ”Mahkamah sebagai penjaga konstitusi ternyata dapat melindungi warga negara," kata Chandra dengan senyum lega.
Setelah mengikuti sidang di Mahkamah, Bibit dan Chandra meluncur ke gedung Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Seperti biasa, setiap Kamis, mereka harus datang ke kantor polisi. Mereka dikenai wajib lapor sejak pertengahan September lalu, sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan penyuapan kepada Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radiokom, tersangka korupsi pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu Departemen Kehutanan. Keduanya juga dituduh menyalahgunakan wewenang dengan mengeluarkan pencegahan Anggoro dan Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima.
Siang itu, tak seperti biasanya, Chandra dan Bibit tak lagi bisa keluar dari gedung Badan Reserse. Keduanya langsung digiring ke sel tahanan. Pada saat yang sama, Wakil Kepala Bareskrim, Inspektur Jenderal Polisi Dikdik Mulyana Arif Mansyur, segera menggelar jumpa pers tentang penahanan itu. ”Tapi, sebelum jumpa pers, Pak Dikdik memastikan dulu, Pak Bibit dan Pak Chandra sudah masuk tahanan,” tutur sumber Tempo di Badan Reserse.
Perintah penahanan mendadak itu membuat Achmad Rifai, pengacara Bibit dan Chandra, geram. ”Alasan yang tak masuk akal,” kata Achmad. Polisi menunjuk sejumlah alasan perlunya menahan Chandra dan Bibit. Selain perbuatan mereka diancam hukuman lima tahun, dan dikhawatirkan menghilangkan barang bukti serta melarikan diri, keduanya kerap memberikan keterangan pers yang mengganggu proses penyidikan.
Bibit dan Chandra menolak menandatangani berita acara. ”Aku enggak mau teken,” kata Bibit menepis kertas yang disodorkan petugas. Semalam tidur di tahanan Badan Reserse, esoknya keduanya dipindahkan ke rumah tahanan Brimob Kelapa Dua, Depok.
Menurut sumber Tempo, penahanan Bibit dan Chandra itu dipicu oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan KPK membuka rekaman berisi dugaan rekayasa kasus keduanya dan kini ramai diberitakan media. Menurut sumber itu, begitu Mahkamah menyatakan rekaman itu mesti dibuka, seorang perwira tinggi di Badan Reserse langsung menelepon Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri, yang saat itu tengah menghadiri Lokakarya Pemantapan Kepemimpinan Polri di Cisarua, Bogor. Begitu mendengar kabar tersebut, Bambang langsung menggelar rapat. ”Putusannya, Bibit dan Chandra harus ditahan,” kata sang sumber. Tapi soal ini dibantah juru bicara Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarna. ”Sama sekali tidak benar,” katanya.
Bambang Hendarso membantah jika polisi disebut panik dan kalap lantaran beredarnya transkrip rekaman itu. Dalam jumpa pers setelah dipanggil Presiden Yudhoyono, dia menyatakan polisi akan menyita rekaman tersebut. ”Akan diselidiki dan disidik, siapa yang merekam, siapa yang direkam, sah atau tidak perekamannya,” ujarnya.
Transkrip rekaman percakapan itu sudah sepekan terakhir ini beredar di kalangan wartawan yang biasa meliput di Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Achmad Rifai, transkrip yang antara lain berisi percakapan antara Anggodo (adik Anggoro Widjojo) dan sejumlah petinggi Kejaksaan Agung itu makin memperkuat bukti bahwa kasus yang menimpa Bibit dan Chandra itu direkayasa.
Menurut Rifai, rekaman itu berawal dari penyadapan yang dilakukan KPK terhadap telepon seluler Anggoro, yang sejak Juni 2008 berada di luar negeri, dengan Anggodo. Anggoro disadap ketika KPK menyelidiki kasus korupsi proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu.
Menurut sumber Tempo lainnya, saat itu Anggoro kerap menghubungi Anggodo lantaran tahu KPK sedang bersiap mengirim tim untuk menelisik keberadaannya di Singapura. Pembicaraan kakak-adik ini berpusat pada cara Anggodo bisa membebaskan sang kakak dari jerat KPK. Dari penyadapan nomor ini kemudian berkembang ke mana-mana. ”Nomor telepon Anggodo kemudian menyambung ke sejumlah pejabat kejaksaan,” ujar sumber ini. Di antaranya, nomor telepon milik bekas Jaksa Agung Muda Intelijen Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung A.H. Ritonga pun masuk ke mesin perekam. ”Kadang Anggodo yang menelepon mereka, kadang sebaliknya,” ujarnya. Inti semua percakapan itu adalah membuat skenario penyelamatan Anggoro sekaligus menjebloskan Chandra-Bibit ke bui.
Menurut sumber Tempo ini, rekayasa itu dibuat Ary Muladi, tersangka lain kasus ini, menarik keterangannya kepada polisi bahwa dia telah menyerahkan sejumlah uang kepada Chandra, Bibit, dan pejabat KPK lainnya. Tindakan Ary itu membuat Anggodo panik. Sebab, Ary-lah satu-satunya pengait yang bisa menjerat Chandra dan Bibit dengan pasal pemerasan. Lantaran Ary tak bisa diajak kerja sama, Anggodo mencari penggantinya. Dibidiklah Eddy Sumarsono, kawan karib Antasari Azhar.
Dalam transkrip rekaman itu memang terbaca bagaimana Anggodo ”mengatur” Wisnu untuk berbicara kepada Eddy agar pemimpin redaksi tabloid Investigasi ini mengaku sebagai orang yang menyuruh Anggodo menyerahkan uang ke Bibit dan Chandra. Sialnya, Eddy menolak. ”Kalau dia tidak mengaku, susah kita,” kata Anggodo dalam percakapan telepon dengan Wisnu pada 30 Juli 2009 pukul 19.13, seperti yang tertera dalam transkrip tersebut.
Wisnu saat itu lantas menyarankan agar Anggodo menelepon Kosasih, pengacara Anggodo yang juga teman Wisnu saat ia bertugas di Kejaksaan Negeri Surabaya. ”Telepon Kosasih supaya di-clear-kan. Teknisnya kan yang sangat mengetahui dia,” kata Wisnu. ”Yang penting dia (Eddy) menyatakan waktu itu supaya membayar Chandra atas perintah Antasari,” ujar Anggodo, demikian antara lain cuplikan lain percakapan Anggodo dan Wisnu yang tertera dalam transkrip tersebut.
Bonaran Situmeang, pengacara Anggodo, menegaskan kliennya memang sudah lama berteman dengan Wisnu maupun Ritonga. ”Dia sering bertelepon langsung dengan mereka,” kata Bonaran. Menurut Bonaran, Anggodo meminta Wisnu ”mengarahkan” Eddy karena dari Wisnulah Anggodo mengenal Eddy. ”Suatu saat klien saya perlu menembus Pak Antasari, lalu oleh Pak Wisnu klien saya dikenalkan ke Eddy karena Eddy teman Pak Antasari,” kata Bonaran menjelaskan perihal hubungan Anggodo-Wisnu-Eddy ini.
Wisnu tak menampik dirinya mengenal Anggodo. ”Sudah lama kenal. Kami suka ngopi bareng dengan teman-teman lain,” katanya. Ritonga juga tak menyanggah ia mengenal Anggodo. ”Siapa yang tidak kenal Anggodo,” ujarnya. Kendati demikian, keduanya membantah melakukan rekayasa yang ujung-ujungnya untuk menjebloskan Chandra dan Bibit ke penjara.
Dalam transkrip percakapan yang diduga antara Ritonga dan perempuan yang bernama Yuliana atau Lien, pada 21 Agustus pukul 10.57, memang terlihat Ritonga mengenal Anggodo dan Ary Muladi. ”Waktu Anggodo ketemu Ary, Anggodo telepon saya, terus Ary ngomong sama saya, bilang: salam buat Pak Ritonga, ya. Bilang gitu, Pak. Untung ketemu Bapak, kalau gak ketemu, aduh,” kata Yuliana, seperti tertulis dalam transkrip itu. Ritonga lantas menyahut, ”Makasih ya.” Yuliana lantas bertanya lagi. ”Kalau Anggodo mau ketemu Bapak, gimana?” Ritonga menjawab. ”Jangan dulu.”
Ritonga menyatakan dirinya tidak pernah bertelepon-teleponan dengan Anggodo. Bekas Jaksa Agung Muda Pidana Umum itu bahkan mengingatkan KPK agar berhati-hati dalam melakukan penyadapan. Penyadapan, kata Ritonga, hanya untuk perkara korupsi. ”Kalau bukan korupsi, penyadapan itu melawan hukum," katanya.
Beredarnya transkrip penyadapan ini tak hanya membuat Wisnu dan Ritonga kini sibuk membela diri, tapi juga membuat Anggodo keluar dari ”sarang”-nya. Jumat pekan lalu, pria bertubuh tambun itu mengadukan Chandra, Bibit, dan dua pemimpin KPK, Mochammad Jasin dan Haryono Umar, ke Markas Besar Polri. Anggodo melaporkan keempat orang tersebut karena mencemarkan nama baiknya. ”Saya merasa dizalimi. Apa urusan saya dengan KPK?" katanya lantang.
Pelaksana tugas Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, membenarkan adanya bukti rekaman berkaitan dengan penyelidikan kasus Anggoro. Tapi, apakah isi rekaman itu sama dengan transkrip yang dimuat di sejumlah media, dia mengaku tidak tahu. Menurut Tumpak, KPK akan menyerahkan bukti rekaman itu ke Mahkamah Konstitusi. ”Tapi sebelumnya kami akan meminta surat penetapan penyerahan itu dulu,” ujarnya.
Tumpak mengingatkan, bukti rekaman milik KPK itu adalah dokumen yang berkaitan dengan rahasia negara. ”Jadi, penggunaannya hanya untuk kepentingan proses hukum di pengadilan.”
Munculnya nama RI-1 dalam transkrip itu juga mendapat sorotan dari Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi. Muladi meminta Badan Intelijen Negara ikut menyelidiki rekaman itu, khususnya sosok Lien atau Yuliana, yang menyebut-nyebut RI-1. ”BIN harus dapat orang ini.”
PENAHANAN Bibit dan Chandra langsung mendapat reaksi keras dari berbagai kelompok masyarakat. Sejumlah kalangan juga menyesalkan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dinilai ”membiarkan” perseteruan antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan. ”Ini bentuk kepongahan kekuasaan,” ujar Bambang Widjojanto, pengacara Bibit dan Chandra. Adapun Sekretaris Jenderal Transparansi Indonesia, Teten Masduki, menunjuk munculnya rekaman itu akan memukul balik polisi. ”Rekaman itu menggoyahkan polisi,” katanya.
KPK lalu mengirimkan surat ke kepolisian, meminta penahanan Bibit dan Chandra ditangguhkan. Hingga Sabtu pekan lalu, ratusan tokoh nasional juga menyatakan diri siap memberikan jaminan untuk penangguhan Bibit dan Chandra. Mereka, antara lain, Azyumardi Azra, Anies Baswedan, Imam Prasodjo, Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Hikmahanto Juwana, dan Komaruddin Hidayat.” Alasan penahanan kedua orang itu mengada-ada,” kata Azyumardi Azra. Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas bahkan meminta polisi menahan dirinya karena dia pun pernah meneken surat pencekalan seperti dilakukan Chandra dan Bibit.
Dukungan terhadap Chandra dan Bibit juga muncul dari para aktivis dunia maya. Jumat pekan lalu, lewat jejaring pertemanan Facebook, Usman Yasin mencetuskan grup ”1.000.000 dukungan untuk Bibit dan Chandra”. Hingga Sabtu lalu, ujar Usman, jumlah dukungan yang masuk sudah sekitar 90 ribu.
Di Istana Negara, Jumat pekan lalu, Presiden Yudhoyono memastikan dirinya tidak akan ikut campur dalam soal penahanan Bibit dan Chandra. Presiden mengaku hanya bisa memerintahkan kepolisian dan kejaksaan membuat dakwaan profesional, obyektif, dan transparan. ”Harus bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Sabtu pekan lalu santer beredar kabar, sejumlah petinggi Badan Reserse akan datang ke KPK untuk menyita rekaman pembicaraan Anggodo tersebut. Kabar itu membuat puluhan wartawan Sabtu pekan mendatangi gedung KPK. Namun, hingga petang, tak tampak ada petinggi polisi yang datang ke sana. Pengacara Bibit dan Chandra, Trimoeljo Soerjadi, meminta polisi tidak menyita rekaman itu sebelum diajukan sebagai bukti dan dipersidangkan di Mahkamah. ”Ini untuk mencegah tudingan polisi telah melakukan contempt of court,” ujarnya.
Namun, menurut pakar hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, Mahkamah tetap bisa membuka rekaman itu sekalipun polisi sudah menyitanya. ”Mahkamah adalah pengadilan, sehingga polisi pun harus tunduk pada perintahnya,” kata Hikmahanto.
Anne L. Handayani, Ramidi, Rini Kustiani, Anton Septian
Halo, KPK Nanti Ditutup…
Awalnya adalah kasus tewasnya Nasrudin Zulkarnaen, kemudian Antasari Azhar dipenjara, lalu merembetlah hingga ke para pemimpin KPK yang lain.
14 Maret 2009 4 Mei 16 Mei 30 Juni 2 Juli 6 Juli 13 Juli 15 Juli 19 Agustus 18 Agustus 11 September 15 September 22 September 28 September 8 Oktober 6 Oktober 29 Oktober
Penembakan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.
Ketua KPK Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka otak pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
Antasari menulis testimoni tentang dugaan suap terhadap sejumlah pemimpin KPK.
Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Susno Duadji mengaku teleponnya disadap lembaga penegak hukum lain.
Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Susno Duadji mengungkapkan pengandaian ”cicak-buaya” untuk menggambarkan kekuatan dua lembaga.
Ketua KPK nonaktif Antasari Azhar membuat laporan polisi tentang penyalahgunaan kewenangan dan dugaan suap pimpinan KPK.
Presiden menggelar rapat koordinasi penanganan pemberantasan korupsi, sekaligus menengahi hubungan dua lembaga yang memanas.
Beredar kabar polisi akan menangkap beberapa pemimpin KPK, antara lain Chandra Hamzah dan Mochammad Jasin, terkait dengan kasus PT Masaro. Sejumlah aktivis antikorupsi memberikan dukungan kepada KPK.
Tim Pengawas Internal KPK memeriksa Antasari Azhar di Kepolisian Daerah Metro Jaya.
Eksekutor pembunuhan Nasrudin disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang.
Empat pemimpin KPK diperiksa terkait dengan dugaan penyalahgunaan kewenangan. Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka.
Bibit dan Chandra dinonaktifkan.
Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pelaksana Tugas Pimpinan KPK.
Susno Duadji dilaporkan ke Inspektur Pengawasan Umum Mabes Polri.
Antasari disidangkan.
Tiga anggota Pelaksana Tugas Pimpinan KPK dilantik.
Pemimpin KPK nonaktif, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ditahan Mabes Polri.
Rekaman Rencana Rekayasa Itu....
Inilah sebagian dialog yang mengundang dugaan terjadi rekayasa untuk memidanakan pemimpin KPK nonaktif Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Transkrip rekaman setebal 23 halaman itu beredar di kalangan terbatas. Isi transkrip berupa percakapan Anggodo dengan sejumlah orang tentang penanganan perkara pemberian uang kepada Ary Muladi oleh Anggoro Widjojo, di Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.
29 Juli 2009, 13.58.53 Ya sekarang sudah saya suruh Irwan dan Kosasih.
WISNU SUBROTO ”Kasusnya yang melaporkan Antasari Azhar, yang menyidik Mabes Polri, kok saya yang dituduh merekayasa. Bagaimana saya bisa merekayasa? Posisi saya di mana, ini enggak nyambung,” ujar Wisnu Subroto.
6 Agustus 2009, 20.26.51 Telepon Perempuan (Lien Ong /Yuliana Gunawan) ke Anggodo
8 Agustus 2009, 20.39.51 Telepon Anggodo ke seorang Laki-laki
ANGGODO WIDJOJO ”Saya merasa dicemarkan karena dituduh merekayasa kasus Chandra-Bibit. Apa urusan saya sama KPK?” kata Anggodo di Mabes Polri, Jumat, 30 Oktober.
10 Agustus 2009, 17.33.34 Ini ada suatu rekayasa, nampak dari pemanggilan jadi saksi trus tersangka. Tenggat waktu 9 bulan. Sudah kondusif. Moro-moro karena ada testimoni, muncul panggilan sebagai tersangka.
21 Agustus 2009, 10.57.32 telepon seorang Laki-laki dan anggodo
Nama Presiden juga disebut-sebut dalam dialog antara Anggodo dan seorang pria.
Telepon Wisnu Subroto ke Anggodo
Aku juga jangan terlalu maju juga nanti terlalu kelihatan saya ada di situ.
Mantan Jaksa Agung Muda Intelijen
Kita, semua. Pak Ritonga pokoknya didukung, Jadi KPK nanti ditutup. Udah pokoknya jangan kuatir. Ini urusannya bisa tuntas, harus selesai dia ngomong begitu, Pak Ritonga.
Enggak usah ngomong ama penyidik. Cuma abang aja yang tahu BAP-nya Ary tuh seperti itu. Jangan sampai berpikir kita bohong.
Sama harus dikaitkan seperti sindikat Eddy, Ary sama KPK satu sindikat mau memeras kita.
Adik Anggoro Widjojo, Direktur Utama PT Masaro Radiokom
Telepon Alex (Pengacara) ke Anggodo
Secara keseluruhan oke.
telepon seorang Laki-laki dan Ritonga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo