Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pencabutan yang Tak Berarti

Ary Muladi mencabut pengakuan pernah memberikan uang untuk Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Tidak ada pengaruh terhadap perkaranya yang kini di kejaksaan.

2 November 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN pekan ini Ary Muladi akan kembali mendatangi kantor Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Sejak penahanannya ditangguhkan pada 16 Oktober lalu, ia memang punya rutinitas baru. Tersangka penggelapan uang Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo ini dikenai wajib lapor dua pekan sekali, Senin dan Kamis.

Berbeda dengan sebelumnya, Ary mengaku kali ini agak cemas. ”Saya takut seperti Pak Chandra dan Bibit,” kata Ary seperti dikutip pengacaranya, Sugeng Teguh Santoso. Ary menyampaikan kekhawatirannya kepada Sugeng pada Jumat pekan lalu. Sehari sebelumnya, beberapa saat sebelum Chandra dan Bibit ditahan, Ary baru saja menyelesaikan ”rutinitas” itu, melakukan wajib lapor.

Tak hanya bikin waswas, peristiwa penahanan Chandra-Bibit membuat Ary makin alergi berhubungan dengan media. ”Kata dia, kalau banyak omong ke media, nanti ditahan lagi,” kata Sugeng. Tapi Sugeng meyakinkan kliennya bahwa itu tak bakal terjadi. Sebelumnya, polisi membebaskan Ary karena berkas perkaranya belum juga dinyatakan lengkap oleh kejaksaan sampai batas waktu penahanannya habis.

Ary adalah salah satu tokoh penting di pusaran kasus gelontoran duit Anggoro. Selain sebagai tersangka, polisi menjadikan Ary sebagai saksi utama kasus dugaan pemerasan yang dituduhkan kepada Bibit dan Chandra. Adik Anggoro, Anggodo Widjojo, juga menjadi saksi dalam kasus itu.

Jumat dua pekan lalu, misalnya, Ary diminta penyidik menunjukkan tempat pertemuannya dengan Yulianto di Hotel Crown Jakarta. Yulianto, menurut pengakuan Ary, adalah orang yang memberikan uang Anggoro kepada sejumlah pemimpin KPK. ”Tapi di Hotel Crown itu tidak terjadi penyerahan uang, hanya ketemu,” kata Sugeng.

Menurut Sugeng, polisi terkesan seperti berburu dengan waktu untuk melengkapi berkas Chandra dan Bibit supaya P21 alias dinyatakan lengkap oleh kejaksaan. Sejauh ini, kata Sugeng, Ary masih berkomitmen pada hasil pemeriksaan terakhir sebagai tersangka pada 26 Agustus lalu. Saat itu, pengusaha pupuk di Surabaya ini mencabut pemeriksaan sebelumnya sebagai saksi pada 11 Juli 2009. Ary mengaku sebenarnya tak pernah bertemu dengan Bibit dan Chandra, meskipun diminta Anggoro menyerahkan uang kepada keduanya.

Dalam pengakuannya kepada penyidik, Ary mengatakan menerima uang dari Anggodo Rp 3,7 miliar pada Agustus tahun lalu. Dua bulan kemudian, Ary kembali menerima Rp 400 juta. Dan terakhir, pada Februari 2009, sekitar Rp 1 miliar. Pemberian itu semua dilakukan di Hotel Peninsula, Jakarta. Ary lalu menyuruh orang bernama Yulianto menyerahkan duit itu ke pimpinan KPK.

Perubahan pengakuan Ary ini, kata Sugeng, lantaran polisi ingkar janji. Ary kecewa karena dia ditangkap ketika sedang mencari Yulianto di Yogyakarta pada Agustus lalu. Padahal, kata Sugeng, polisi menyatakan Ary hanya akan dipakai sebagai saksi kunci kasus Bibit dan Chandra, bukan ditahan. ”Itu yang membuat dia kemudian mencabut semua keterangannya, termasuk pernah memberi uang ke Bibit dan Chandra,” kata Sugeng.

Kendati Ary sudah menarik keterangannya, perihal pencabutan itu tidak ada dalam berkas polisi yang masuk ke kejaksaan. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, kejaksaan hanya menerima berkas yang berisi pengakuan Ary menyerahkan uang ke Bibit dan Chandra. ”Untuk yang pemerasan, kami minta dilengkapi,” kata Marwan. Menurut Marwan, kejaksaan memiliki saksi lain yang menguatkan unsur yang dituduhkan kepada dua pemimpin nonaktif KPK itu.

Dalam kasus dugaan pemerasan ini, ujar Marwan, kejaksaan menilai unsur-unsurnya sebenarnya sudah gamblang. Ada pengakuan saksi, ada peristiwa yang terkait dengan proses hukum kasus Masaro yang lambat, juga petunjuk ke arah itu. Artinya, kasus ini siap diluncurkan ke pengadilan.

Anton Aprianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus