Di bawah salju deras pohon pina tak berubah rona Biarkan orang menirunya. (Hirohito) TAKHTA Bunga Seruni tergoyah, setelah Kaisar Hirohito sebulan terbaring gering, tanpa daya. Tubuh turunan ke-124 Amaterasu Omikami (Dewa Matahari) itu parah digerogoti kanker pankreas. Di bawah siraman hujan, ribuan orang setiap hari mengunjungi Fukiage Gosho, istana dekat Tokyo yang berusia lebih dari 100 tahun itu. Dari jauh, mereka berlutut, berdoa, menyembah ke arah Kaisar. Hirohito, 87 tahun, yang suka menulis puisi (berbentuk Waka) itu adalah kaisar terlama dalam masa 2.600 tahun lebih dalam sejarah Jepang. Ia dianggap sebagai lambang pemersatu 120 juta rakyat dan bapak kebangunan Jepang modern. Sejarah kebangkitan Negeri Sakura yang dimulai dengan Restorasi Meiji (1868) itu mendapat wujud nyata di bawah era Showa, pemerintahan Hirohito yang lebih dari 60 tahun. Hirohito pernah dididik Laksamana Togo -- pahlawan perang antara Jepang dan Rusia. Tapi dalam masa pendidikannya itu Hirohito lebih tertarik pada sejarah kesenian, sastra Jepang, Cina, Prancis, etika, plus matematik, hukum, ekonomi, pengetahuan alam. Pada masa pendidikan itu dia sempat berdebat dengan gurunya, karena rasa tak sukanya terhadap perang dan kepongahan militer. Bahkan, di masa itu, ia mengungkapkan pula keraguannya mengenai muasalnya sebagai "turunan dewa". Kini, pengelanaan "turunan dewa" itu sudah sampai ke ujung. Malah, Hirohito juga sudah tak bisa menangkis tuduhan: dialah yang bertanggung jawab atas timbulnya korban invasi Jepang dalam Perang Dunia II. Padahal, jauh sebelum itu justru sedikit yang tahu, sebenarnya dia punya sikap sendiri. Dan itu tergambar pada sepotong puisi yang ditulis Kaisar Meiji, yang dikutip dan dibaca Hirohito pada pertemuan di saat penguasa sipil dan militer Jepang menetapkan menyerang Pearl Harbor, 7 Desember 1941. "Kita semua bersaudara. Kenapa angin permusuhan ini harus berembus di antara kita?" Namun, angin itu tak pernah menjawab sang Kaisar. Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini