JANGAN iri terhadap si kaya. Konon, mereka sukar tidur, cemas kekayaannya tiba-tiba musnah. Di Amerika Serikat, para milyuner memang cemas. Bukan mereka takut bangkrut, tapi khawatir bila kekayaan mereka justru merusakkan hidup anak-anak. Adalah Warren Buffet, direktur Berkshire Hathaway -- sebuah perusahaan induk yang sangat sukses di Amerika -- yang punya kekayaan lebih dari US$ 1,5 milyar. Tapi Anda tak perlu cemburu terhadap tiga anaknya. Milyuner berusia 56 itu sangat tidak yakin bahwa mewariskan kekayaan adalah bijaksana. Ia telah mempunyai rencana sendiri untuk melimpahkan sebagian besar hartanya kepada yayasan amal yang didirikannya. Dua anak lelaki dan seorang anak perempuan Buffet yang berpendidikan tinggi, hanya mendapat beberapa ribu dolar tiap Natal -- dan si bapak cukup puas dengan kemurahan tersebut. Dengar saja pengalaman Susan, 33, anak perempuannya. "Bila saya minta cek 20 dolar, Bapak langsung memberikan uang kontan." Bukankah lembar cek biasanya untuk sebuah jumlah yang besar? Bukan, itu bukan karena si milyuner tak menaruh kepercayaan kepada anak-anaknya. Misalnya, mereka, anak-anak itu, ternyata ceroboh, tidak mampu, atau memang menolak melanjutkan usaha bapaknya -- alasan-alasan yang biasanya membuat seorang pengusaha di Amerika urung mewariskan kekayaannya kepada anak-anak mereka. "Anak-anak saya sedang merintis tempat mereka sendiri, dan mereka tahu apa pun yang ingin mereka lakukan saya mendukung mereka," kata Buffet. Tapi ia yakin memberi mereka satu kehidupan dengan kupon makan gratis karena kebetulan mereka dilahirkan dalam keluarga kaya bisa "membahayakan" dan merupakan "tindakan antisosial". Bagi Buffet pemberian yang ideal bagi anak-anak adalah "uang yang cukup hingga mereka merasa bisa melakukan apa saja, tapi tak terlalu besar hingga mereka merasa tidak bisa melakukan apa saja". Untuk seorang lulusan pendidikan tinggi, menurut perhitungan pengusaha ini, "beberapa ribu dolar" kedengarannya cukup memadai. Dan itulah soalnya, berapa jumlah yang cukup bagi anak-anak jadi masalah para milyuner Amerika. Undang-undang dan adat di sebagian besar negara di dunia mengesahkan, begitu orangtua meninggal otomatis hartanya jatuh ke tangan anak-anaknya kecuali bila anak-anak itu terlibat dalam satu tindak kriminal berat. Terkecuali di Inggris (dan beberapa negara jajahannya dulu) yang memberi hak kepada orangtua bebas menentukan warisan untuk anak-anak mereka. Dan hanya di Amerika Serikatlah hal mewariskan kekayaan merupakan sebuah dilema. Negeri ini begitu menghargai orang-orang yang sukses mandiri (self-made man). Tak ada budaya, selain di Amerika, yang begitu menaruh kecurigaan bahwa sendok perak yang disodorkan jangan-jangan berisi narkotik. Kata Curtis L. Carlson, 72, pengusaha real estate dan biro perjalanan terkemuka di Minnesota, "Tak ada yang lebih mencemaskan bagi orang-orang sepertiku, bagaimana menjaga kekayaan ini hingga tak merusakkan anak-anak kami." Bapak dua anak (perempuan semua, sudah menikah) itu menerima keuntungan dari berbagai usahanya tak kurang dari US$ 700 juta. Memang, di Amerika banyak orangtua harus menghadapi dilema seperti Carlson. The Federal Reserve Board (lembaga cadangan federal) memperkirakan lebih dari 1,3 juta rumah tangga menikmati keuntungan usaha setidaknya satu juta dolar. Sebagian besar mereka menjadi milyuner karena warisan atau dari usaha yang mereka dirikan. Tak sedikit di antara para pengusaha itu juga memperoleh keuntungan puluhan juta dari dividen dan uang sewa perumahan. Tapi bagaimana harus menggunakan kekayaan itu untuk anak-cucu mereka, perkumpulan para milyuner justru tak memikirkannya. Perencanaan pengembangan usaha itulah yang jadi pembicaraan orang-orang kelas menengah itu. Betapapun kecemasan mereka terhadap masalah pewarisan itu, sebagian besar orang Amerika -- yang kaya-raya, yang miskin, yang menengah -- tetap mempertahankan usaha mereka di tangan keluarga. Sekali terjalin, biasanya rantai pewarisan itu tak akan terpatahkan, sampai usaha itu bangkrut sendirinya. Banyak sekali nama besar dalam dunia bisnis AS kini menurun: Perusahaan Mobil Dodge, dan Vanderbilts, Perusahaan Tembakau Reynold. Anak-anak H.L. Hunt, si raja minyak dari Texas yang pernah mencatat keuntungan US$ 8 milyar, belum lama ini terpaksa menutup kerugian perusahaan permata dan minyak milik keluarga agar tak bangkrut. Dari 30 multimilyuner yang baru-baru ini disurvei majalah Fortune, enam orang menyatakan lebih baik memberikan jumlah warisan terbatas kepada anak-anak mereka. Separuh responden merencanakan mendermakan uangnya paling sedikit sebanyak yang mereka wariskan kepada anak turun. Di bidang yang hampir-hampir tak pernah disentuh riset ini -- hal mewariskan kekayaan -- Alexander Sanger, partner dari Biro Hukum White & Case di New York, menawarkan data berikut. Baru saja ia menyusun 20 testamen untuk orang-orang kaya baru yang berpenghasilan 20 juta dolar atau lebih, dan 16 di antaranya menyatakan separuh atau lebih kekayaannya akan diamalkan. Sebagai perbandingan, 12 bankir yang kekayaannya sebanding, hanya satu yang berniat mengamalkan separuh keuntungannya. Tampaknya para bankir cenderung menyimpan kekayaannya untuk keluarga mereka. Bahkan para pewaris itu sendiri, yang ingin mengamalkan kekayaan mereka, masih merasa wajib melepaskan sejumlah kekayaan mereka kepada anak-anak. George Pillsbury Jr., keturunan seorang milyuner dari Midstern, semasa masih kuliah menerima warisan lebih dari satu juta dolar. Ia menghabiskan masa dewasanya membangun dan menjalankan jaringan sejumlah yayasan yang mendatangi anak-anak para jutawan untuk sejumlah tujuan liberal. "Robin Hood itu Benar," bunyi salah satu pamlet yang disebarkan oleh salah satu yayasan itu. Pillsbury setuju pada pajak yang tinggi terhadap harta warisan. Toh, di samping sikap seperti itu, ia pun menganggap "tampaknya tidak adil" untuk tak mewariskan kepada dua orang anaknya barang beberapa ratus ribu dolar. Lalu alasan apa sebenarnya bagi para orangtua itu untuk tak mewariskan seluruh harta mereka kepada anak-anak ? Jawaban yang tajam datang dari berita-beria surat kabar: kecanduan obat bius, kurang waras, bahkan terlibat pembunuhan, adalah sebab-sebab itu. Juli yang lalu seorang hakim Pennsylvania menyatakan bahwa Lewis Du Pont Smith, 29, pewaris Du Pont yang punya keuntungan 1,5 juta dolar, sebagai "tidak mampu secara mental" menjalankan perusahaan. Smith, pewaris Du Pont itu, menyerahkan ribuan dolar kepada seorang politikus ekstrem. September lalu seorang hakim Florida menjatuhkan hukuman kepada Steven Benson, 35, pewaris sebuah perusahaan tembakau dengan keuntungan 10 juta dolar. Benson dihukum 72 tahun karena membunuh ibu dan saudara angkatnya dengan bom. Itulah, antara lain, yang menyebabkan orangtua tak mewariskan harta kepada anak-turunnya. Memang, tampaknya sejumlah besar warisan hanyalah mendorong para anak-cucu untuk tak berbuat sesuatu dalam hidup mereka. William, cucu Commodore Vanderbilt, yang pada 1885 mewarisi 60 juta dolar, mengatakan sesuatu yang benar. "Warisan . . . adalah pembunuh ambisi sebagaimana kokain membunuh moralitas," katanya. William akhirnya menjadi seorang usahawan seenaknya, pemuja hidup foya-foya, dan pada 1920 ia meninggal akibat serangan jantung yang fatal di arena balap mobil di Prancis. Kata Curt Carlson, tokoh pengusaha dari Minnesota itu, "Saya kenal dengan satu keluarga Minnesota yang sangat kaya raya yang mempunyai 63 ahli waris pada generasi keempatnya, dan mereka semuanya menjadi setengah penganggur. Saya pikir itu celaka." Memang, seorang milyuner yang sukses secara mandiri ingin terlebih dulu yakin bahwa ahli warisnya telah membuktikan kemampuannya sebelum mereka menerima warisan kekayaan. Ia menyiapkan dana untuk tiap anaknya. Berdasarkan perjanjian, tak seorang pun di antara anaknya boleh menerima sepeser pun sebelum mereka berusia 30 tahun. Sebelum anak-anak itu mencapai usia 30, mereka "mendapat gaji sebesar yang biasanya diperoleh oleh seorang lulusan perguruan tinggi." Perjanjian itu juga mengatakan bahwa wali si anak atau dirinya sendiri tetap berhak memegang warisan itu dalam situasi tertentu. Kata pengusaha itu, "Saya percaya kalian akan melakukan hal yang benar, atau tak sesuatu pun bisa kamu peroleh. Bila saya menilai, ketika ahli waris saya telah berusia 30 tahun dan ternyata ia tak berharga sepeser juga, semua uangnya akan saya masukkan ke yayasan pribadi saya." John L. Levy, direktur eksekutif C.G. Jung Institute di San Francisco, selama lima tahun mempelajari pengaruh harta warisan terhadap 30 keluarga. Ia menyimpulkan bahwa banyak anak orang kaya mengalami "kerugian dan penderitaan yang sangat" karena mereka hanya punya sedikit rasa harga diri. "Sungguh sulit bagi mereka untuk merasa puas akan prestasi mereka, sebab mereka merasa bahwa sukses mereka sedikit banyak berkat warisan kekayaan dan kedudukan orangtua." Mendorong anak-anak itu agar mandiri tentunya baik bagi mereka. Membiarkan anak-anak terbebas dari bayangbayang sukses orangtua mereka adalah alasan terkuat mengapa banyak orang kaya menahan atau membatasi pemberian warisan. Eugene Lang, 67, pendiri REFAC Technology Development Corp., yang meraih keuntungan lebih dari 50 juta dolar, adalah contohnya. Lang membayar penuh pendidikan bagi tiga anaknya, dan setelah anak-anak itu lulus dari pendidikan tinggi ia menjatah masing-masing "jumlah minimal" -- tapi tak disebutkan berapa. Sesudah itu ia tak memberikan apa pun selain dorongan untuk maju. "Harta warisan hanya akan menipiskan motivasi yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak muda. Saya ingin memberikan kepada anak-anak kepuasan berbuat sesuatu atas nama mereka sendiri," kata Lang. Ketiga anak Lang, kini 30-an tahun, masing-masing sukses sebagai pengacara, aktor, dan analis penanaman modal. Mereka tak mendapat sepeser pun dari harta ayahnya. Rencana Lang, menyediakan sejumlah yang cukup bagi istrinya, dan menyerahkan sisa kekayaannya pada yayasan amal. Ia, misalnya, telah menyumbang lebih dari 25 juta dolar pada rumah-rumah sakit, sekolah, dan menyediakan beasiswa bagi sekolah-sekolah di Harlem. Gordon Moore, 57, salah seorang pendiri sebuah perusahaan alat elektronik yang sukses di California yang mendatangkan untung 200 juta dolar setuju, "anak-anak harus punya prestasi," Moore menyiapkan sedikit dana bagi kedua anaknya ketika mereka masih muda. Dengan dana itu "dimungkinkan anak yang lebih tua membayar uang muka untuk sebuah rumah." Tapi bapak ini tak ingin lebih jauh membantu si anak. Ia telah merencanakan untuk menyumbangkan hampir semua kekayaannya untuk amal. Toh, niat untuk menumpuk sebagian besar kekayaan dalam keluarga sendiri masih cukup kuat pada diri para jutawan. "Saya lebih cenderung memberikan uang saya kepada anak-anak saya daripada untuk hal-hal yang lain," kata Jackson T. Stephen, 63, pimpinan sebuah bank investasi di Arkansas, yang menghasilkan keuntungan 500 juta dolar. "Bila anak-anak saya ingin menjadi coupon clipper, itu urusan mereka sendiri. Saya tak mungkin mengontrol masa depan mereka, dan saya tak ingin mencemaskan segalanya," kata Stephens, bapak empat anak. Beberapa pengusaha dan anak-anak mereka malah ada yang berpendapat bahwa harta warisan bisa mendorong anak-anak berprestasi melebihi target. "Saya merasa bisa menyamai atau malah melebihi ayah saya," kata Warren Stephens, anak lelaki Jackson. Pendapat ini disetujui oleh M. Larry Lawrence, 60, seorang pengusaha real estate yang mempunyai penghasilan 200 juta dolar. Katanya, "Jika anak-anak dibimbing secara benar, akhirnya mereka akan berusaha mengalahkan bapaknya." Lalu apa dasar kepercayaan para orangtua yang merencanakan mewariskan hartanya untuk anaknya? Pendidikan, inilah yang mereka percaya sebagai penjaga munculnya masalah-masalah yang merugikan. Dengar saja pendapat Katharine Graham, 69, direktur eksekutif Washington Post Co., dan kepala keluarga yang punya penghasilan lebih dari 350 juta dolar, "Instink saya memutuskan untuk memberikan warisan itu kepada anak-anak, dan mengharapkan akan digunakan sebaik-baiknya, sesuai dengan keyakinan mereka sendiri." Di samping itu, para milyuner yang setuju mewariskan harta mereka kepada anak cucu pun berpendapat, tak menghibahkan harta itu bukannya tanpa masalah. Kata seorang yang setuju pendapat ini, "Bila Anda menjadi anak itu, dan Anda lihat ayahmu bergelimang kekayaan sementara yang jatuh ke tangan anaknya tak memadai, saya tak bisa menjamin tak akan ada huru-hara dalam hubungan ini." Huru-hara bisa jadi tak perlu ada. Tapi Susan Buffet, putri Warren Buffet si pimpinan perusahaan induk yang sukses itu, mengakui bahwa sikap hidup ayahnya sungguh sulit. "Ayahku termasuk sangat jujur, berprinsip, lelaki yang baik," katanya. "Dan pada dasarnya saya setuju dengannya. Tapi memang ada yang aneh. Banyak orangtua ingin memberikan sesuatu untuk anaknya. Tidak bagi ayahku. Umpamanya saya membutuhkan sedikit uang, dan itu untuk melengkapi dapur, bukan untuk piknik enam bulan di pantai, ia tetap tak akan memberikannya atas dasar prinsip. Itulah yang diajarkan oleh Ayah sampai sekarang." Tapi sebenarnya perlu pula dilihat alasan para orangtua milyuner itu ketika menentukan tidak atau akan mewariskan hartanya. Sebab, mereka yang tak mewariskan kekayaannya dan itu bukan atas dasar prinsip -- tapi karena mereka tak menyenangi kelakuan anak-anaknya, misalnya -- akan menghadapi problem. Ini sebuah contoh bagaimana sikap begini bisa keliru. Beberapa hari sebelum R.E. Turner Jr. bunuh diri pada 1963, ia cepat-cepat menjual perusahaan binis billboard-nya kepada Curt Carlson. Waktu itu Carlson tak mengira balwa rekannya tersebut akan bunuh diri. "Ia mengatakan kepada saya ingin meninggatkan sejumlah uang untuk istrinya bila ia meninggal, sementara yang ia miliki semuanya terikat dalam bisnisnya. Ia juga begitu yakin, bila anaknya yang menjalankan bisnisnya, ia akan membuat bangkrut usaha itu," tutur Carlson mengenang. Dan karena itu Turner menjual billboard-nya. Beberapa hari kemudian Turner bunuh diri. Kemudian Nyonya Turner meneleponnya, dan Ted Turner, anaknya, 24 tahun waktu itu, pun mengunjungi pembeli perusahaan mendiang ayahnya. "Ibu Ted menghendaki anaknya memperoleh perusahaan itu kembali. Dan Ted dengan yakin menyatakan, itulah kesempatan bagi dia untuk melakukan sesuatu," tutur Carlson. Singkat kata, perusahaan itu kembali ke tangan Ted, dan yang kemudian memang anak yang tak dipercaya bapaknya itu berkembang pesat. Bagi Carlson tindakan Turner menjual perusahaannya agak janggal. Ia, yang memiliki perusahaan yang di tahun lalu mendatangkan untung sebesar 3 milyar dolar, berpendapat, "Anda mestinya menganggap perusahaan yang Anda bentuk adalah anak Anda. Tentunya Anda tak senang bila seseorang membelinya, kemudian nama anak itu hilang." Tapi, memang tak ada jaminan bahwa mempertahankan perusahaan tetap di tangan keluarga, perusahaan itu tak bakal pindah tangan. Ini sebuah contoh. Karena pertengkaran keluarga, surat kabar dan pemancar radio milik keluarga Bingham di Louisville dijual, akhir Januari lalu. Pertengkaran ternyata mudah meletus bila salah seorang anggota keluarga menjual sahamnya kepada orang luar. Tahun ini, umpamanya, para ahli waris tokoh legendaris Joseph Pulitzer ribut karena beberapa saham dari Pulitzer Publishing Co. ada yang berusaha menjualnya. Rupanya, anggota keluarga yang ingin menjual sahamnya itu tergiur oleh tawaran Alfred Taubman, seorang developer real estate dari Detroit. Joseph Pulitzer Jr., saudara angkatnya, dan seorang saudara sepupu memotong perjanjian pembelian saham itu, dengan menaikkan harganya tiga kali lipat. Taubman membawa persoalan ini ke pengadilan. Itulah yang ditakutkan oleh Lester Crown, 61, seorang milyuner dari Chicago. Sifat mata duitan yang ada di antara para famili bisa saja membuat kebangkrutan kerajaan bisnisnya. Perusahaan yang dikuasai Crown terdiri dari perusahaan material bangunan, hotel, dan real estate, sampai penguasaan 3% General Dynamics, satu dari kontraktor terbesar departemen pertahanan AS. Selama beberapa tahun, tutur Lester, ia dan ayahnya, Henry, "selalu menganggap usaha kami sebagai usaha bersama." Mereka selalu membagi hak suara dan kerja sama dalam berbagai bisnis kepada paman, kemanakan, saudara, saudara sepupu, sebagaimana kepada tujuh anak-anak Lester. Jauh hari Lester pun telah menduga bahwa hal seperti itu "di suatu hari akan menyebabkan satu pukulan di belakang kepala." Dan bila ia bisa sekali lagi menguasainya, ia akan tetap bisa memberikan jaminan kepada keluarga "untuk bisa menikmati hidup enak." Yakni dengan membuat satu peraturan yang menjamin penghasilan tiap orang. Tapi ia mengingatkan dengan sangat bahwa perusahaan hanya boleh dikontrol oleh "mereka yang langsung menjalankan bisnis." Campur tangan keluarga yang sangat bisa jadi punya kepentingan pribadi, sangat berbahaya bagi kelangsungan usaha. Adalah perusahaan bir milik keluarga Coors di Colorado, yang sejak tahun 1969 diatur seperti itu semua pemegang saham perusahaan itu ikut hadir dalam satu peraturan. Tapi tetap, komisaris perusahaan hanya boleh dipegang oleh anggota keluarga yang aktif dalam bisnis. Kata Bill Coors, 70, pimpinan Adolph Coor Co., cucu pendiri perusahaan bir ini, "Kami berusaha memperkecil pertengkaran keluarga dengan cara memusatkan pengawasan perusahaan di tangan mereka yang paling berdedikasi menjaga nilai-nilai keluarga." Pada akhirnya memang keahlian, dan bukannya hubungan darah, yang menentukan. Menurut Warren Buffet, jarang sekali, katanya, anak-anak seorang pemilik merupakan calon yang tepat untuk meneruskan menjalankan perusahaan. Kata Buffet, "Siapa bilang bahwa untuk memilih anggota tim Olimpiade adalah dengan cara menyeleksi anak-anak para juara Olimpiade 20 tahun yang lalu? Memberikan satu kedudukan kepada seseorang hanya karena bapaknya punya prestasi adalah merusakkan semangat bersaing dalam masyarakat." Buffet mengagumi bagaimana Peter Kiewit, rekannya, memecahkan masalah warisan. Kiewit telah merencanakan begitu rupa, hingga ketika usahawan ini meninggal pada 1979, 40% saham atas nama dia dijual kepada para karyawan perusahaan konstruksinya. Hasil dari penjualan saham itu kemudian masuk ke yayasan amal yang bergerak di bidang pendidikan dan pelayanan sosial di Nebraska. Ia memang tak melupakan ahli warisnya sama sekali. Tapi dari 186 juta dolar hartanya, hanya 3% yang ditinggalkannya untuk istri, anak, dan keluarganya yang lain. Toh, Peter, anak Kiewit itu, telah menjadi seorang pengacara sukses waktu itu, sungguh terkejut menerima warisan sebesar 1,5 juta dolar. Komentarnya, "Saya telah menyiapkan diri sendiri untuk tak mengharapkan apa pun dari Ayah, dan berusaha berdiri pada kaki sendiri selama hidup. Akhirnya, dari kuburnya agaknya Ayah mengirimkan penghargaan kepada saya." Akhirnya, berapa yang harus dihibahkan kepada anak-anak memang sangat subyektif. Tapi Richard I, Kirkland Jr., yang menuliskan artikel ini di majalah Fortune, memberikan sekadar pegangan. Pertama, jangan bermain sembunyi-dapat. Di zaman kini seorang pengusaha tak perlu menyembunyikan rencananya seperti rekan-rekan mereka di abad silam. Biarkan keluarga tahu dari mana datangnya uang, higga anak-anak pun mengerti berapa yang bisa mereka dapat, dan biarkan mereka berpikir sendiri bagaimana memanfaatkan itu. Tentu saja, seandainya mereka, anak-anak itu, tak akan mendapat sepeser pun, mereka harus tahu dengan pasti. Bila tidak, kejutan tiba-tiba menjadi kaya, atau sebaliknya (ternyata harta keluarga tak ada yang menetes padanya) bisa berakibat negatif. Misalnya George Pillsbury yang telah diceritakan. Ketika ia menginjak usia 21 tahun, ia tahu persis bisa mendapat warisan sebesar lebih dari satu juta dolar. "Sulit, untuk tak menyadari kekayaan yang kamu peroleh bila itu memang hak kamu," katanya mengenang. Pillsbury beruntung. Sebab, banyak temannya yang tak tahu-menahu apa yang akan mereka peroleh, atau bahkan mereka akan memperoleh sesuatu atau tidak pun, mereka tak tahu. "Banyak teman yang terganggu karenanya," katanya, dan beberapa memang mengalami masalah dengan harta yang tiba-tiba itu. Adalah menarik usul John Train, pengusaha pelayanan untuk orang-orang kaya yang konon terbesar di New York City, menyarankan agar anak-anak pun diajak berdialog tentang uang sedini-dininya sebagaimana pembicaraan tentang seks. Memang, dialog dalam keluarga tak menjamin bahwa anak-anak tidak akan menjadi seperti Tommy Manville, yang menikah 13 kali dan menghamburkan jutaan dolar. Atau seperti Huntington Hartford yang kehHangan 90 juta dolar dalam satu saat ketika bisnis sedang buruk, karena ia kurang mampu. Seorang psikiater mengatakan kurangnya pengalaman tidak saja membuat para ahli waris terisolir, tapi juga merupakan bahaya bahwa mereka tak akan bisa bertahan tanpa harta warisan. H. Ross Perot, 56, seorang milyuner dari Texas, pendiri Electronic Data System, (yang lalu menjualnya kepada General Motors) menjelaskan, "Bila anak-anak kamu merasa dibesarkan bak di dunia dongeng, dan mereka berpikir bagaikan anak-anak raja, itu berarti kamu menyiapkan kutukan pada hidup mereka nanti." Saran ini oleh Kirkland disebut "Singkirkan sendok perak itu." Selanjutnya adalah "Jangan takut bereksperimen." Dan inilah satu percobaan Robert D. Rogers, direktur utama Texas Industries, sebuah perusahaan semen dan baja. Pada usia 18, anaknya masing-masing akan mulai diberi beasiswa untuk membayar ongkos hidup yang mahal, di samping uang kuliah, pakaian, dan uang rekreasi. Anak keduanya sungguh tak bertanggung jawab dalam penggunaan uangnya. Tapi, bila ia bangkrut, itulah memang salahnya sendiri. Sebagai insentif -- agar mereka hati-hati memakai uang -- pada usia 25 tahun, tujuh tahun kemudian mereka boleh menuntut sisa beasiswa bila masih ada. "Anak sulungku menghabiskan uang untuk setahun itu hanya dalam 9 bulan, dan kemudian ia terpaksa bekerja," tutur Rogers, yang telah menularkan gagasannya kepada rekannya. Lalu apa yang diperoleh anak-anak itu dari eksperimen bapaknya ini? Di tahun-tahun berikutnya mereka tak pernah bangkrut lagi. Dan hikmah bagi si bapak: bila engkau merencanakan mewariskan kekayaan untuk anak-anakmu, memberikan sejumlah besar uang adalah jalan yang baik untuk melihat, apa yang mereka lakukan dengan uang itu. Jurus selanjutnya dimulai dengan perumpamaan, seandainya kini tahun 2075. Tahukah Anda siapa cucunya cucu Anda? Dan benarkah Anda begitu mempedulikan mereka? Tampaknya "impuls dinasti" di Amerika mulai surut. Dan ini tampaknya bukan hal yang buruk. Sudah terlalu banyak orang-orang malas yang diakibatkan oleh warisan kakek mereka. Dan inilah rumus nomor lima itu: "Percayakan kepada Tuhan dan jangan melihat ke depan terlalu jauh." Pegang saja kata Ross Perot "Serahkan kepada anak Anda berapa mereka mau mewariskan kekayaan kepada anak-anak mereka." Dan, lebih perhatikan perkembangan anak daripada rencana perusahaan. Seorang psikoanalis, Roy Grinker Jr., telah berkecimpung di kalangan anakanak orang kaya selama 15 tahun. Hampir di setiap rumah tangga, katanya, ia selalu menemukan hal yang sebenarnya sudah jamak diketahui: orang-orangtua milyuner itu sangat sedikit perhatian mereka terhadap pendidikan anak. Maka, "daripada saya memberikan nasihat tentang berapa mereka harus mewariskan hartanya keRada anak-anak, saya lebih suka memberikan saran tentang bagaimana memperhatikan perkembangan anak-anak," kata Grinker. "Saya selalu mengatakan, perhatikanlah anak-anak kalian, gunakan beberapa jam bersama mereka. Ada satu lagi sebenarnya. Tapi itu rasanya khas Amerika. Yang terakhir ini tampaknya bisa diganti dengan nasihat orang-orangtua di Indonesia. "Jangan tinggalkan harta bagi anak-anakmu, tapi siapkanlah mereka agar berilmu. Harta bisa dirampok, dicuri, musnah. Tapi ilmu tak habis dicuri, tak lenyap diberikan," kata orang-orang tua dulu. Dan apakah ini tahun 1986 atau 2075, rasanya nasihat kakek itu tetap ilmiah. Coffin yang Jatuh INILAH sebuah contoh bagaimana harta warisan bisa merusakkan hidup seorang lelaki. Dexter D. Coffin III, kini berusia 37, bisa dibilang tak pernah berbuat sesuatu untuk hidupnya. Ia dibesarkan dengan sejumlah pembantu, sekian kapal pesiar, keluar masuk asrama sekolah privat. Silsilah keluarganya bisa diurut sampai moyangnya yang hidup di pertengahan 1600-an. Dialah lelaki yang mewarisi kekayaan sebesar US$ 6 juta. Kekayaan berupa saham-saham dari Dexter Corp., pabrik bahan kimia. Pamannyalah yang kini memimpin pabrik tersebut. Tapi itulah, kekayaan Coffin ternyata tak menolong. Ia dihukum 17 tahun di penjara Virginia karena pemalsuan resep. Pertama kali ia berurusan dengan hukum pada usia 24, yakni ketika ia dituduh mencuri sebuah kapal pesiar di Florida. Empat tahun kemudian, setelah menderita serangan pankreatitis, ia kecanduan Tussionex -- obat keras untuk memerangi batuk yang mengandung opium. Ia menyatakan, pengobatan penyakitnya yang kemudian menjadikan ia semakin kecanduan. Dan pada 1978, ia dijatuhi 5 tahun hukuman percobaan karena pemalsuan resep itu. Coffin mencoba hidup baik-baik, setelah itu. Ia cerai untuk ketiga kalinya, dan menikah untuk keempat kalinya. Ia pun pindah ke Virginia, mendirikan toko komputer. Tapi kecanduan obat biusnya menyebabkan toko itu bangkrut. "Tiap hari saya keluyuran mencari obat bius," katanya. Bagaimana beratnya kecanduan bisa ditaksir dari ini: tiap hari ia menelan 60 tablet Tussionex dan 30 tablet penghilang sakit. Dosis yang menurut dokter bisa berakibat fatal. Cakap berbicara, berpenampilan rapi, Coffin berhasil memperoleh obat-obat itu dari sejumlah dokter dan pengacara. "Berilah ia jas dan dasi dan suruhlah menemui seorang dokter, maka ia bisa diterima oleh semua orang," kata pengacaranya. Tapi penyamarannya hanya membawa Coffin ke dalam penjara Virginia. Dan April lalu ia berhasil lolos. Ia baru pulang dari psikiater untuk pemeriksaan rutin, dengan istri dan dua orang pengawal. Ketika itulah ia berhasil menyelinap, dan lalu ngebut dengan Lincoln Continental milik istrinya. Ia tertangkap kembali di New Hampshire, ketika mencoba membeli obat bius. Ia lari, katanya, karena merasa hidupnya dalam bahaya. Ketika ia masih dalam pelarian, Connecticut Bank & Trust Co., banknya keluarga Coffin turun-temurun, memotong dana yang dimilikinya. Bank tak membayar banyak 185 dolar pada 194 109 dolar di tahun berikutnya. Satu dana, telah enam tahun menjadi pertikaian di pengadilan, yang menyebabkan Coffin, ibunya, dan tiga saudaranya mencoba pindah bank. "Masalahnya yakni para bankir seolah berperan seperti Tuhan," kata Coffin. "Merekalah yang memutuskan berapa yang harus kamu terima, dan bagaimana kamu harus hidup." Mengenang masa lalunya, kata Coffin, "Dulu saya memiliki segalanya." Didampingi oleh pengacaranya, ia memang tak menyalahkan soal warisannya. Tapi Juni lalu, kepada Washington Post, katanya, "Jika saja saya tak tahu bahwa saya selalu bisa memperoleh uang, saya tentu telah berbuat sesuatu dengan hidup saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini