Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Tiada jawaban (dan uang) dari ...

Razaini d, 41, purek iii univ. jayabaya menuntut rektor moeslim taher rp 505 juta lebih. jabatannya di copot sedangkan bea siswanya tidak dikirim ke amerika serikat, hingga ia sekeluarga terlantar. (pdk)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELAJAR ke luar negeri ada celakanya. Yakni, bila pihak sponsor yang bersedia menanggung semua biaya tiba-tiba menarik diri dan lupa akan janjinya. Ini, misalnya saja, telah dialami oleh Razaini Darmansyah, kini 41, dulunya Pembantu Rektor (Purek) III di Universitas Jayabaya, Jakarta. Selama 16 bulan berada di Amerika Serikat, Razaini terpaksa nyambi bekerja sebagai kuli di sebuah pergudangan dan menjadi pembersih WC di kompleks perumahan, hotel, serta motel. Semua itu dilakukan untuk mempertahankan hidup karena, kataya, Rektor Universitas Jayabaya, yang semula bertindak sebagai sponsor, ternyata tak pernah mengirimkan dana seperti yang janjikan. Merasa dirugikan, Razaini -- yang mendapat gelar sarjana hukum dari Jayabaya -- sekembali dari AS mengadu ke Kapolda Metro Jaya, akhir Agustus lampau. Ia, yang bertolak ke bersama istri dan seorang anaknya, merasa telah ditipu oleh Rektor Jayabaya, Dr.H. Moeslim Taher, S.H., masih famili dekatnya. "Sebenarnya, kami berusaha menyelesaikan masalah ini dengan cara keluargaan. Pak Moslim tak pernah menanggapi. Maka, dengan berat hati, kasus ini akhirnya kami laporkan ke Kapolda ujar Stella Lewarissa, kuasa hukum Razaini, juga alumnus Jayabaya. Dalam penpaduannya ke Polda Metro Jaya, korban menuntut ganti rugi Rp 505 juta lebih. Atau kira-kira sebesar jumlah dana beasiswa, yang tempo hari dijanjikan Rektor. Jumlah sebegitu, menurut Stella dan Razaini, adalah biaya yang telah dikeluarkannya selama di AS. Meliputi biaya kuliah, biaya praktikum, dan biaya hidup serta pemondokan. Termasuk pula honor, bonus, uang cuti, dan tunjangan-tunjangan lain yang selayaknya diterima sebagai karyawan Jayabaya. Razaini yang bertubuh sedang dan berkulit hitam, bertolak ke AS pada bulan Desember 1983. Sebagai Purek III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, ketika itu ia dinilai cukup berprestasi. Maka, oleh Rektor ia ditugasi melanjutkan studi di bidang bahasa dan administrasi di San Francisco, California, AS. Tempat belajarnya juga telah ditentukan, yaitu di San Francisco State University. Tugas belajar ini diberikan oleh Moeslim lewat Surat Pernyataannya tertanggal 5 November 1983. Dalam Surat Keterangan yang dikeluarkan sehari kemudian, 6 November 1983, Rektor Jayabaya juga menyatakan sebagai sponsor. Biaya tiket pesawat Jakarta-AS pulang pergi, biaya selama studi dan hidup selama mendapat tugas belajar, seluruhnya ditanggung Rektor. Karena adanya jamman dari sponsor itulah, pihak Departemen P dan K menyatakan tidak keberatan Razaini bertolak ke AS. Razaini pun kemudian bertolak membawa istri dan seorang anaknya yang masih kecil. Sementara dua anaknya yang lain, dititipkan kepada familinya di Jakarta. Seminggu setelah berada di San Francisco begitu tutur Razaini, ia segera mengontak ke Jayabaya. Ia minta agar pengirlman uang dipercepat, sebab ia sudah mendaftarkan diri mengikuti kursus bahasa Inggris selama satu setengah semester. Jakarta tak menjawab. Kembali ia menghubungi lewat telepon, teleks, maupun surat. Tetap tak berbalas. Dalam keadaan keuangan yang makin menipis, Razaini masih bisa menyelesaikan kursus bahasa Inggrisnya dan kemudian mendaftar ke universitas. Bukan ke San Francisco State University seperti direncanakan, melainkan ke Lincoln University yang tarifnya lebih murah. Sementara itu, kita tahu, Amerika bisa terasa kejam sekali bagi yang lembaran-lembaran dolarnya kian susut. Dengan amat terpaksa, Razaini, yang ketika berangkat tak pernah memikirkan mencari uang, terpaksa membanting tulang, agar tak menjadi gelandangan. Ia mengaku terpaksa bekerja, secara sembunyi-sembunyi, di sebuah pergudangan di kawasan masyarakat Meksiko. Dan sebagai pekerja gelap, supaya tak kena razia, ia bekerja di kala subuh, pukul 03.00-07.00, hanya untuk mendapatkan sekitar US$ 8 sehari. Pada hari Sabtu dan Minggu, ia bekerja sebagai tukang membersihkan WC dan kamar mandi di perumahan, hotel, maupun motel. Cukup beruntung, karena istri Razaini pintar memasak. Mereka membuka usaha jasa boga kecil-kecilan. Pelanggannya para mahasiswa. Razaini dan keluarga bisa bertahan dalam keadaan seperti itu sampai April 1985 praktis selama sekitar 16 bulan sejak ia tiba di AS. Yaitu sampai ia menyelesaikan empat semester di Lincoln University jurusan administrasi. "Waktu itu saya sudah kehilangan harapan bahwa dana dari Jayabaya bakal datang," kata Razaini. Maka, ia lantas berkirim surat kepada adiknya di Jakarta, agar barang-barang berharga miliknya, yang dulu ditinggalkan, dijual. Dengan hasil penjualan itulah, yang segera dikirim ke San Francisco, Razaini beserta anak istrinya kembali ke Jakarta. Di sini ia mencoba menghubungi Moeslim, untuk menanyakan perihal dana yang dijanjikan, yang ternyata tak pernah dia terima. Namun, katanya, usahanya untuk bertemu Moeslim tak pernah mendapat tanggapan. Malah, katanya, ia telah pula diberhentikan sebagai Purek III, yang dijabatnya sejak 1970. "Saya tak tahu kenapa, kapan, dan dengan alasan apa diberhentikan. Saya tak pernah menerima surat pemutusan hubungan kerja. Saya ini sepertinya ditendang begitu saja." Itu sebabnya ia mengadu ke Polda Metro Jaya. Keterangan dan pengaduan Razaini ini memang masih sepihak. Sayangnya, dari pihak Universitas Jayabaya, meski telah dihubungi dengan berbagai cara, tak ada komentar yang diperoleh. Sementara itu, Moeslim Taher, yang telah dicoba ditemui di beberapa tempat, tampaknya sengaja menghindari wartawan. Maka, tetap tak jelas, sponsor itu diberikan atas nama Moeslim pribadi, atau atas nama ia sebagai Rektor. Bila semua prosedur yang diceritakan Razaini benar, tentu ini bukan sekadar melesetnya komunikasi. Dan bayangkanlah, seumpama Razaini sekeluarga mengalami kecelakaan, atau tersangkut perkara, siapa yang harus bertanggung jawab ? Bila persoalan ini kini ditangani Polda Metro Jaya, dan bukannya Departemen P dan K misalnya, tampaknya memang lebih tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus