KABINET Gotong-Royong, sekarang ini, sedang menguji kebenaran nama yang disandangnya. Apakah kabinet benar-benar bergotong-royong mengatasi setumpuk persoalan negeri ini? Kita lihat saja. Salah satu ujiannya adalah perseteruan yang kian sengit antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, Kwik Kian Gie, dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gde Ary Suta.
Yang jadi pokok masalah di antara dua pejabat tinggi itu sebetulnya "enak diperdebatkan dan perlu": soal skim penyelesaian utang para konglomerat sebesar Rp 140 triliun yang tak kunjung dibayar.
Selama empat tahun sejak duit dikucurkan pemerintah, penyelesaian utang yang kini lebih dikenal dengan sebutan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) itu baru memasukkan sekitar Rp 20 triliun ke kas negara. Melihat utang yang tetap menggunung itu, BPPN, dimotori ketuanya, malah mengusulkan perpanjangan jatuh tempo pembayaran utang bagi para konglomerat. Dengan memperpanjang waktu pembayaran, Putu berharap para konglomerat bisa punya napas untuk mengembalikan segunung utangnya. Usulan itu pun ditentang keras Kwik dan menyulut "perang terbuka" antara Kwik dan Putu sejak dua pekan silam.
Rabu, 20 Februari lalu, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Kwik melempar "bom". Bunyinya gawat. Ia menyoal kesahihan dua dokumen keluaran Badan Intelijen Negara (BIN) yang menganalisis rencana perpanjangan PKPS. Yang jadi soal, isi dokumen yang beredar di tangan para menteri itu bertolak belakang.
Kata Kwik, pada 19 Desember, ia menerima seberkas Laporan Informasi BIN tentang PKPS. Isinya mewanti-wanti bahwa kebijakan kontroversial itu telah meluapkan protes sebagian besar masyarakat dan jika terus diterabas bisa menggoyahkan stabilitas negara.
Tak sampai tiga pekan kemudian, dalam sebuah sidang kabinet terbatas 7 Januari, tiba-tiba ia dan para menteri lain mendapatkan sebuah berkas lain. Putu sendiri yang membagi-bagikannya. Karena ketika itu Kwik sibuk menyiapkan bahan rapat, naskah itu hanya disimpannya. Ia baru membacanya di rumah. Dan Kwik sungguh terperanjat. Sama-sama berkop BIN, kali ini bunyi rekomendasinya berputar 180 derajat dari dokumen yang pertama. "Saya kaget karena isinya berbeda dengan dokumen sebelumnya. Saya tidak enak mengatakan detailnya. Intinya, dokumen kedua mendukung perpanjangan PKPS," kata Kwik kepada TEMPO.
Bukan hanya berbeda isinya, format kedua dokumen itu pun tak sama. Dokumen kedua tak berjudul, tidak diberi nomor, tak ada kode 30-30-30 di sepanjang halamannya, dan juga tak disertai paraf. Karena penasaran atas keasliannya, Kwik pun langsung mengontak Kepala BIN, Hendropriyono. Hendro tak menyatakan berkas itu palsu. Yang dikatakan, ujar Kwik, "Jika tidak ada paraf autentikasi dari saya sendiri (Hendro), laporan itu tidak sah dan tidak layak diedarkan."
Geger langsung terjadi. Dokumen itu dipalsu? Begitu curiga yang berhamburan ke mana-mana. Bahkan banyak bisik-bisik yang bersyak-wasangka. Riwayat pertemanan lama Putu dengan Hendro pun mulai dikait-kaitkan.
Putu sendiri mengaku menerima berkas itu sewaktu sidang kabinet. "Karena ditaruh oleh petugas di depan saya setumpukan itu, ya, saya sebarkan saja," katanya.
Kekisruhan itu kemudian dijelaskan Kepala BIN Hendropriyono, Selasa lalu. Ternyata dua dokumen itu memang sama-sama datang dari instansi yang dipimpinnya. Cuma, katanya, keduanya beda kategori (lihat Menolak Dahulu, Setuju Kemudian). Yang satu, tertanggal 19 Desember 2001, adalah jenis laporan informasi yang diterbitkan setiap hari dan masih perlu dicek lagi kebenarannya. Isinya diambil dari sumber terbuka seperti rangkuman berita di media massa, termasuk hasil monitoring lapangan.
Bagaimana dengan dokumen satunya lagi? Karena rencana perpanjangan utang konglomerat telah menjadi kebijakan pemerintah, BIN membuat kajian lebih mendalam. Hasilnya keluar dalam bentuk dokumen kedua. Tertanggal 7 Januari 2002, dokumen itu dimaksudkan sebagai bahan sidang kabinet terbatas. Isinya tidak menyimpulkan persetujuan atau penolakan, tapi sekadar merekomendasikan perlunya langkah sosialisasi dan penyiapan perangkat hukum untuk "mengamankannya".
Sidang kabinet itu sendiri tak bisa dihadiri Hendro karena ia sedang mengawinkan putrinya. Bahan disampaikan pejabat BIN kepada Sekretariat Negara. "Karena berkaitan dengan BPPN, bahan tersebut oleh Caraka (jasa kurir) rupanya disampaikan ke meja Ketua BPPN. Dan karena ini merupakan bahan sidang, oleh Ketua BPPN laporan tersebut langsung saja dibagikan kepada para menteri," kata Hendro.
Nah, bila laporan kedua berisi analisis yang lebih mendalam, kenapa tak disertai paraf kepala atau pejabat BIN? Hendro membenarkan dokumen itu memang tak dibubuhi paraf dia ataupun pejabat BIN yang lain. Tapi, katanya, itu karena jenisnya "hanya" merupakan bahan masukan yang masih harus didiskusikan. Selain itu, tak semua laporan BIN mesti dia teken. Hendro juga mengiyakan pernah dikonfirmasi Kwik ihwal keabsahannya. "Hanya, saya tidak tahu laporan mana yang dimaksud. Hubungan telepon kemudian terputus," katanya.
Jelas? Sejumlah tanda tanya masih menggayut. Terkhusus buat Kwik. "Bagi saya, alasan itu aneh," katanya. Dan bukan cuma Menteri Kwik yang masih geleng-geleng kepala. Seorang mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin)?kemudian diganti menjadi BIN?juga melihat ada sejumlah keanehan yang masih tersisa. Menurut pengalamannya berdinas di badan mata-mata ini, apa pun bentuknya, setiap laporan dari Pejaten, markas BIN, tak mungkin keluar tanpa ada autentikasi. "Apalagi ini untuk sidang kabinet," katanya.
Seorang sumber TEMPO yang pernah membaca dokumen yang menghebohkan itu juga setuju bahwa laporan itu memang membutuhkan pengesahan dari seorang pejabat BIN. Tampak jelas pada bagian akhirnya, di halaman tiga, terdapat sebuah lajur bertuliskan "Badan Intelijen Negara. Untuk otentikasi:". Bagian itu tampak masih kosong, tanpa paraf ataupun stempel.
Pertanyaan lain: benarkah rekomendasi BIN dikeluarkan untuk mengamankan kebijakan perpanjangan PKPS? Soalnya, hingga pekan lalu, pemerintah sendiri belum mengambil keputusan final tentang PKPS. Bahkan, kata Menteri Kwik, tim kecil yang ditugasi Presiden untuk merumuskan rekomendasi akhir masih belum bekerja.
Memang, sebelumnya telah terbit keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang menetapkan perpanjangan PKPS pada 11 Desember lampau. Apakah rekomendasi BIN dikeluarkan untuk mengamankan keputusan itu? Aneh. Sebab, delapan hari setelah KKSK menelurkan keputusan, BIN justru menerbitkan laporan informasi pertama yang memberikan peringatan bila keputusan perpanjangan PKPS dijalankan.
Nah, tak aneh bila isi dokumen BIN versi kedua mengundang tanya dan curiga. Benar, kata setuju atau menolak tak telak-telak dituliskan pada dokumen yang terbit belakangan. Tapi, jika ditelisik dengan saksama, isi dokumen kedua terang "memihak" perpanjangan PKPS. "Sebenarnya kebijakan KKSK, yang telah mendapat mandat dari Presiden RI tersebut, adalah dimaksudkan agar upaya pemulihan ekonomi terus berjalan," begitu salah satu bunyi kalimatnya.
Melihat semua keanehan itu, Kwik kini cuma bisa berkata, "Untuk amannya, saya tidak akan membaca laporan BIN lagi, supaya tidak kepleset-pleset."
Karaniya Dharmasaputra, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini