Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kwik Kian Gie:"Saya Ibarat Dilempari Kotoran Terus-menerus"

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terbelahnya tim ekonomi kabinet tak lagi bisa ditutup-tutupi. Ketidaksepahaman yang sering muncul antara Kwik Kian Gie dan menteri ekonomi lainnya sudah makin terbuka. Bahkan dengan Ketua BPPN I Putu Gde Ary Suta, pria kelahiran Juwana, Jawa Tengah, itu kerap terlibat adu mulut dengan ucapan-ucapan pedas di sidang kabinet maupun lewat media massa. Saking panasnya perdebatan di antara keduanya, Presiden Megawati kabarnya pernah sampai harus turun tangan menengahi dan meminta mereka menemuinya setelah sidang kabinet berakhir. Mengapa Menteri Negara Perencanaan Pembangunan itu kerap bersikap keras dan gemar mengumbar perbedaan secara terbuka? Berikut wawancara wartawan TEMPO Iwan Setiawan dengan kawan seiring Megawati sejak masa diaspora PDI Perjuangan itu dalam beberapa kali kesempatan. Mengapa Anda selalu mengambil sikap berbeda dengan menteri ekonomi lainnya? Benar jika dikatakan saya sering berbeda pendapat dengan para menteri lainnya. Benar juga saya tak bisa tutup mulut jika tak setuju dengan sebuah pendapat. Tapi perlu diketahui, perbedaan pendapat itu selalu saya kemukakan sebelum ada keputusan final sebuah kebijakan. Kenapa? Karena Saya merasa jika kita ingin pemerintahan berjalan demokratis, sebisa mungkin proses lahirnya sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah harus terbuka kepada masyarakat. Dengan begitu, ada masukan dan pendapat dari berbagai pihak, baik dari para ahli, pejabat pemerintah, parlemen, maupun dari pers sendiri. Jika prosesnya bisa berjalan seperti itu, keputusan yang akan diambil pemerintah akan semakin mendekati aspirasi masyarakat. Menurut Anda, sikap seperti itu demokratis? Saya merasa bahwa hal seperti ini nggak salah. Kecuali pemerintah sudah mengambil keputusan final sebuah kebijakan, terus saya masih berkoar-koar atau menggerundel, hal itu nggak benar. Jika keputusan sudah diambil dan menurut hati nurani saya bisa diterima, saya akan diam, walau mungkin saya tak setuju secara logika. Tetapi, jika hati nurani saya tak bisa terima, saya akan mengambil tindakan yang lain. Mungkin mundur atau lainnya. Saya rasa, itu cukup fair, dong. Apakah Anda akan mundur seandainya perpanjangan PKPS disetujui pemerintah? Nanti dulu, saya nggak mau Anda terburu-buru menyimpulkan begitu. Kan sampai sekarang pemerintah belum mengambil keputusan final. Kita lihat dulu bagaimana nantinya. Mengapa Anda terkesan main hantam terhadap kebijakan Putu Ary Suta, apakah Anda punya persoalan pribadi dengannya? Coba tolong dicek, berapa banyak usul dan keputusan yang dibuat Putu Ary Suta sewaktu menjadi Ketua BPPN. Seingat saya sudah puluhan jumlahnya. Yang saya tak setuju cuma perpanjangan PKPS. Itu pun alasannya jelas. Kabarnya, Anda dendam kepada Putu gara-gara anak Anda Inghie Kwik tidak mendapat proyek dari BPPN? Putu yang mengatakan itu ke mana-mana. Setelah saya mendengar itu, saya suruh Inghie menulis sendiri apa saja pekerjaannya. Apakah dia bandit atau bukan. Dan tulisan Inghie yang dua lembar itu lantas saya bawa ke sidang kabinet, dan bagi yang mau tahu apa yang dilakukan anak saya, silakan membacanya sendiri. Benarkah Anda membacakan tulisan Inghie dalam sidang kabinet, sampai akhirnya Presiden menyetopnya? Nggak benar itu. Yang saya baca adalah tulisan saya sendiri mengenai bagaimana telah terjadi character assassination pada saya. Begini lo ya, dalam berpolitik, saya selalu berusaha memakai etika dan berlaku sejujur mungkin. Tetapi ibarat saya dilempari kotoran terus-menerus, kan susah? Saya tak bisa terus mengelak. Kalaupun saya tangkis, tangan saya tetap kotor. Akhirnya saya memutuskan sambil berkelit, saya akan agresif menghadapi serangan. Bukankah pertentangan antarmenteri dan pejabat secara terbuka begitu kurang bagus bagi pemerintahan Megawati? Siapa yang bilang itu? Kok, lucu, Mbak Mega sendiri nggak keberatan dengan perbedaan pendapat di kabinetnya. Kenapa ada yang berpendapat bahwa perbedaan pendapat itu kurang baik? Mungkin pendapat seperti itu cocok di zaman Orde Baru. Anda dinilai tidak konsisten dalam soal divestasi BCA. Dulu, ketika menjadi Menko Perekonomian di zaman Gus Dur, Anda setuju menjual BCA, kenapa sekarang balik memprotes? Begini ya, kondisinya berbeda. Ketika saya berdiskusi dengan Stanley Fischer maupun Hubert Neiss dari IMF, mereka mengatakan jika obligasi rekap BCA itu sudah ditarik oleh pemerintah, baru BCA bisa dijual. Nah, setelah saya menjadi Ketua Bappenas, saya kan nggak ngurusin BCA lagi. Ketika BPPN memutuskan menjual 51 persen saham BCA, saya kira obligasi rekap itu sudah tak ada lagi di BCA. Setelah saya tahu ternyata di sana masih ada obligasi sebesar Rp 52,8 triliun, saya kaget. Lha wong, bunga obligasinya saja setahun mencapai Rp 9 triliun, mengapa BCA akan dijual jika hanya bakal dapat lebih kurang Rp 5 triliun. Setelah saya tahu ini, baru saya teriak-teriak. Kalau apa yang saya lakukan ini dianggap nggak konsisten, saya rela. Saya nggak mau nantinya rakyat yang bakal menangung akibatnya. Dulu para konglomerat yang berutang, kenapa rakyat yang disuruh membayar? Benarkah Anda mengadu pada Laksamana bahwa Putu Ary Suta menerima duit US$ 1-4 juta dari Stanchart agar menang dalam tender BCA? Nggak benar itu. Sama sekali saya nggak pernah mengadu seperti itu pada Laksamana. Benarkah langkah Putu Ary Suta dalam perpanjangan PKPS didukung oleh Taufiq Kiemas? Ya, saya tahu itu. Tetapi saya nggak takut. Apa pun taruhannya, jika saya yakin benar, saya akan jalan terus. Anda nggak takut dipanggil oleh Taufiq Kiemas? Dia kan bukan presiden atau atasan saya. Apakah Anda tak takut dicopot dari jabatan menteri? Enggak. Bahkan jika saya harus dipanggil polisi atau diperkarakan ke pengadilan, saya tak peduli. Silakan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus