Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hijrah

MELALUI pesan pendek, seorang teman memberi kabar: “Doakan untuk istiqomah, saya sekarang sudah hijrah.” Saat menerima pesan itu, tentu saja, saya tidak berpikir bahwa teman saya sedang bermigrasi.

23 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hijrah/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hijrah, dalam bahasa Arab, memang berarti perpindahan fisik dari satu kawasan ke kawasan lain. Kata ini menjadi populer dalam khazanah Islam karena Nabi Muhammad berpindah dari kota kelahirannya, Mekah, ke Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai Madinah.

Sampai saat ini, di dunia Arab, hijrah tetap memiliki pengertian seperti itu. Hanya, di Indonesia, makna “hijrah” berkembang. Hijrah kini (setidaknya dalam satu dekade terakhir) lebih dimaknai sebagai perpindahan sikap keagamaan. Berpindah dari sikap beragama yang kasual menjadi lebih ketat dalam mengamalkan hukum-hukum Islam. Hal itulah yang pasti dimaksud oleh teman saya yang mengirim pesan. Perpindahan ini, biasanya, diikuti oleh perubahan penampilan, seperti berjenggot dan bercelana di atas lutut (untuk pria) dan berjilbab lebar (untuk perempuan).

Mereka yang tertarik untuk “hijrah” bukan hanya yang berlatar belakang santri, tapi juga yang selama ini tidak akrab dengan praktik keislaman yang ketat. Bahkan, belakangan, banyak selebritas dari dunia hiburan (aktor, musikus, dan lainnya) yang juga “berhijrah”.

Apa yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kelanjutan dari serangkaian “hijrah” yang terjadi dalam beberapa dasawarsa. Sampai 1970-an, fenomena seperti ini belum terlihat. Masyarakat yang taat beragama biasanya terafiliasi pada organisasi keislaman lokal, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, atau Persatuan Islam. Di masa lalu, tidak banyak pria muslim yang berjenggot dan muslimah tidak banyak yang berjilbab. Para ustazah dan istri kiai mengenakan kebaya dan kerudung ringan di atas kepala. Kehidupan keislaman di Indonesia saat itu relatif lebih kasual.

Ketertarikan pada gerakan Islam internasional dimulai pada awal 1980-an, ketika Revolusi Islam Iran pecah pada 1979. Khomeini dan Ali Syari’ati digemari. Tapi ini tak lama karena ideologi Syiah kurang diterima oleh muslim Sunni Indonesia. Meski demikian, Revolusi Iran telah mampu memantik gairah keislaman di Indonesia. Jilbab mulai marak hingga Emha Ainun Nadjib membuat buku puisi dan drama kolosal Lautan Jilbab pada 1987.

Buku-buku Ali Syari’ati kemudian digantikan oleh buku-buku Yusuf al-Qardhawi, Sayyid Quthb, dan Hassan al-Banna. Kepopuleran karya-karya anggota Al-Ikhwan al-Muslimun (atau yang terpengaruh Al-Ikhwan) di kalangan mahasiswa menandai maraknya kelompok itu di kampus-kampus, yang oleh orang luar dikenal sebagai Tarbiyah. Dari merekalah muncul Partai Keadilan (kemudian Partai Keadilan Sejahtera).

Namun tren itu pun berganti. Belakangan, yang lebih populer adalah ustad-ustad dari kelompok Salafi. Para pegiat “hijrah” rupanya lebih tertarik pada ajaran Islam yang lebih praktis, tidak terlalu filosofis dan tidak complicated. Itulah sebabnya Salafi kemudian menjadi begitu populer pada awal 2000-an.

Karena berkonsentrasi pada hal-hal yang praktis, yang terasa dari hijrah ini adalah hal-hal yang terkait dengan hukum dan ibadah ritual, bukan spiritualisme dan kearifan sosial. Tentu saja sedekah (dalam berbagai bentuknya) menjadi fokus perhatian mereka. Tapi bukan berarti kearifan dalam bersosial otomatis meningkat, terutama soal bagaimana berinteraksi dengan mereka yang ada di luar kelompoknya.

Paham Salafi, yang tekstual dan terpola oleh kaidah yang pasti, menjadi lebih populer di Indonesia. Semua masalah agama sudah ditentukan karena teks agama mengatakan seperti itu. Agama menjadi seperti matematika. Rigid, tidak lentur.

Masalahnya, apakah paham keagamaan seperti ini yang memang diinginkan oleh jiwa-jiwa yang kekeringan oleh kehidupan modern? Perlu kajian lebih mendalam dan survei yang benar untuk menjawabnya. Jika jawabannya adalah ya, tren seperti ini akan bertahan lama. Tapi, jika jawabannya adalah tidak, tren ini akan segera berlalu, digantikan oleh hal lain yang dapat memuaskan dahaga spiritual kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Tempo

Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus