Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada yang mengetahui Sita Fitriati sakit gawat. Perempuan 23 tahun itu tetap menjalankan tugasnya sebagai anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada hari pencoblosan, Rabu, 17 April lalu. Bertugas di TPS Nomor 32, Kelurahan Kebon Jayanti, Kota Bandung, Jawa Barat, Sita menyelesaikan kewajibannya sejak pemungutan hingga penghitungan suara.
Itu kedua kalinya Sita bertugas sebagai anggota KPPS. Pada Juni 2018, mahasiswa jurusan farmasi di Universitas Islam Bandung ini juga mengawal pemilihan Gubernur Jawa Barat. Menurut ibunda Sita, Titim Fatimah, saat pencoblosan 17 April, kondisi putrinya sudah mulai turun. “Tapi dia tetap antusias meski menahan sakit,” ujar Titim kepada Tempo, Senin, 20 Mei lalu.
Selesai bertugas, kondisi Sita terus menurun. Keluarga membawanya ke Rumah Sakit Santo Yusup, Bandung, pada awal Mei lalu. Barulah mereka tahu bahwa anak ketiga dari lima bersaudara itu telah lama menderita tuberkulosis. “Dia tidak pernah menceritakan sakitnya,” ujar Titim. Dokter pun me-nempatkan dia di ruang isolasi. Tapi, setelah tiga hari dirawat, Sita berpulang pada 8 Mei, tiga pekan setelah penco-b-losan.
Hingga 15 Mei lalu, Kementerian Kesehatan mencatat 527 personel KPPS meninggal dan 11 ribu lainnya sakit. Jumlah itu berasal dari pendataan di 28 provinsi. Anggota Komisi Pemilihan Umum, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan terjadi peningkatan kematian petugas KPPS dibanding pemilu sebelumnya. Pada 2014, jumlah petugas yang meninggal 144 orang.
Calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mempersoalkan kenaikan angka petugas KPPS yang meninggal. Berbicara dalam acara “Mengungkap Fakta-fakta Kecurangan Pilpres 209” di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, pada Selasa, 14 Mei lalu, Sandiaga menilai pemilu kali ini paling mematikan sepanjang sejarah. Sedangkan Prabowo mendesak jenazah petugas KPPS yang meninggal diperiksa secara medis.
Lilik Suswanto (berpeci hitam) saat bertugas menjadi Ketua KPPS TPS 25, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pendukung pasangan nomor urut dua itu pun ramai-ramai mempersoalkan kematian petugas KPPS. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah mengatakan bisa jadi mereka meninggal karena diracun. “Jangan biarkan ini jadi spekulasi,” ujar Fahri pada Senin, 6 Mei lalu. Begitu pula politikus Partai Amanat Nasional, Mustofa Nahrawardaya, motor gerakan #2019GantiPresiden. “Perlu dibongkar, apakah kematian dan sakitnya petugas itu ada kaitan dengan isu kecurangan atau hanya kematian biasa?”
Sehari setelah Sita dikuburkan, keluarganya dikejutkan oleh kabar yang menyebutkan dia diracun dengan zat C11H26NO2PS atau methylphosphonothioate. Dikenal dengan nama venomous agent x atau VX, racun itu digunakan untuk membunuh King Jong-nam, saudara tiri pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia, pada Februari tahun lalu. Racun yang dinyatakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai senjata pemusnah massal ini mampu menghabisi sistem saraf, melumpuhkan tubuh, dan mengakibatkan mati lemas dalam waktu cepat.
Keluarga Sita tak mempercayai informasi yang beredar di media sosial tersebut. Muhammad Rizal, kakak Sita, mengatakan kematian adiknya tak terkait dengan kecurangan pemilu. Apalagi, di TPS tempat Sita bertugas, perolehan suara Prabowo-Sandiaga mengalahkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. “Itu hoaks, ngawur,” ujar Rizal.
Tempo menemui keluarga petugas KPPS yang meninggal di sejumlah wilayah. Salah satunya Sih Sugiarti, istri Lilik Suswanto, 60 tahun, Ketua KPPS TPS Nomor 25, Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta, yang meninggal enam hari setelah pencoblosan. Sugiarti bercerita, suaminya sudah lima kali menjadi petugas KPPS. Sehari sebelum pemilihan, Lilik ikut kerja bakti membersihkan kampung. Saat bertugas, dia me-ngawal pemilihan dan penghitungan suara serta menyerahkan hasilnya ke kantor kecamatan pada Kamis, 18 April, dinihari.
Menurut Sugiarti, Lilik memiliki riwayat sakit darah tinggi dan sebenarnya dilarang begadang. Pada Ahad, 21 April, tokoh masyarakat Caturtunggal itu dibawa pulang tetangganya dalam kondisi sempoyongan setelah memeriksa trafo listrik di kampungnya yang meledak. Sugiarti menduga Lilik terkena stroke karena mengalami gangguan bicara. Keluarga membawa Lilik ke Rumah Sakit Panti Rapih. Dokter menyatakan Lilik menderita vertigo. Dua hari setelah anfal, Lilik mengembuskan napas terakhir.
Sri Patiwi Haryanti, petugas di TPS nomor 23, yang bersebelahan dengan TPS tempat Lilik bertugas, tak percaya terhadap kabar bahwa personel KPPS diracun. Menurut dia, semua petugas KPPS memakan menu yang sama pada siang dan malam hari, yaitu nasi Padang dan gudeg. Menu itu merupakan pilihan Lilik. “Kalau diracun, kami mati semua,” kata Sri Patiwi.
Di Ibu Kota, istri Muhammad Napis, Rosmalah, juga membantah kabar bahwa suaminya meninggal karena tubuhnya kemasukan racun. Napis, 54 tahun, menjadi petugas KPPS di TPS di dekat tempat mereka tinggal, Jalan Swadaya, Kelurahan Duren Tiga, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Dia baru pulang sehari setelah pencoblosan. “Dia enggak enak badan, muntah-muntah, dan minta dikerokin,” ujar Rosmalah.
Napis ikut mengawal rekapitulasi suara di tingkat kecamatan pada Sabtu terakhir bulan April dan baru pulang subuh ke-esokan harinya. Setelah salat, kata Rosmalah, Napis mengeluh dadanya sakit. Rosmalah membawa suaminya ke Rumah Sakit Asri, Jakarta Selatan. Dokter memindahkannya ke ruang perawatan intensif atau ICU. Sekitar satu jam dirawat di ruang itu, Napis meninggal pada Ahad, 28 April lalu.
Begitu pula keluarga Subagio, petugas perlindungan masyarakat yang berjaga di TPS Nomor 24, Desa Ngijo, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur, yang meninggal empat hari setelah pencoblosan. Keluarga membantah sangkaan bahwa Subagio diracun. Ganis Tri Maharani, putri Subagio, mengatakan ayahnya pernah kena serangan jantung. “Dia meninggal karena sakit,” ujar Ganis.
Menurut Ganis, purnawirawan berpangkat kopral kepala itu sempat mencuci baju dan memperbaiki pagar, Ahad pagi, 21 April lalu. Setelah itu, dia mengeluh hendak pingsan. Keluarga mendudukkan tubuh Subagio yang bergetar di kursi di teras rumah dan memanggil dokter dari Batalion Kesehatan 2 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat yang bermarkas di Malang. Dokter menyatakan Subagio telah meninggal.
Anggota KPU, Pramono Ubaid, menilai isu petugas KPPS meninggal karena diracun berbau politis. Menurut dia, jumlah 527 petugas yang meninggal hanya sekitar 0,0001 persen dari total 5,6 juta per-sonel KPPS. Pramono menyanggah sangkaan bahwa kematian itu untuk menutupi kecurangan di TPS. Dia menjelaskan, seandainya semua pemilih di TPS yang petugasnya meninggal hanya memilih satu pasangan calon, jumlah suaranya pun tak sampai 160 ribu. “Suara itu tidak signifikan,” ujarnya.
Menurut Pramono, potensi kecurang-an justru lebih besar di pemilihan anggota legislatif. Kecurangan untuk pemilihan presiden-wakil presiden lebih sulit terjadi karena hanya ada dua pasang calon. “Perhatian pemilih lebih ke pilpres sehingga pengawasannya lebih ketat.” Kalaupun terjadi penambahan atau pengurangan suara di TPS yang menguntungkan salah satu calon, kata Pramono, koreksi bisa dilakukan di tingkat kecamatan. “Saksi capres-cawapres bisa beradu data di kecamatan,” ujarnya.
Juru bicara Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, membantah tudingan bahwa kubunya mempolitisasi kematian petugas KPPS. Menurut dia, penelusuran kematian petugas KPPS justru bisa menjadi bahan evaluasi agar nyawa petugas KPPS tak terancam pada pemilu selanjutnya. “Kalau soal autopsi, kami menyerahkannya kepada keluarga dan polisi,” kata politikus Partai Gerakan Indonesia Raya ini.
Menghadapi isu petugas KPPS mening-gal karena diracun, KPU menggelar rapat bersama sejumlah lembaga pada Rabu, 8 Mei lalu. Hadir dalam rapat yang digelar di ruang Ketua KPU Arief Budiman itu Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng M. Faqih, serta perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman Republik Indonesia, dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kebanyakan petugas KPPS meninggal akibat gagal jantung dan stroke. “Pemicunya adalah kelelahan,” ujar Bambang.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo, yang hadir dalam pertemuan itu, mengatakan kebanyakan petugas KPPS meninggal akibat gagal jantung dan stroke. “Pemicunya adalah kelelahan,” ujar Bambang. Kesimpulan itu didapat berdasarkan hasil penelusuran lembaganya melalui berbagai rumah sakit dan dinas kesehatan di daerah serta audit verbal terhadap keluarga petugas yang meninggal. Bambang menyebutkan, sejauh ini, penyebab kematian mereka masih wajar dan belum ditemukan kejanggalan.
Pramono Ubaid mengatakan, dalam rapat itu, Daeng Faqih sempat menyebutkan kemungkinan peristiwa itu ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB). Tapi Menteri Nila menyatakan peristiwa itu tidak memenuhi syarat KLB. Menurut Faqih, dia hanya menanyakan kemungkinan kematian petugas KPPS itu menjadi KLB dan meminta pemerintah mengkajinya. “Yang pasti, kami semua sepakat bahwa peristiwa ini harus diungkap karena menyangkut nyawa manusia,” ujarnya.
Bagaimanapun, kata Faqih, kematian para petugas itu menimbulkan tanda tanya. Apalagi angkanya melonjak berlipat dibanding lima tahun sebelumnya. Menurut Faqih, cara yang paling valid untuk mengetahui penyebabnya adalah pengujian klinis, yaitu autopsi. Cara ini bisa dilakukan jika keluarga petugas KPPS menginginkannya.
Namun keluarga KPPS yang ditemui Tempo menolak jenazah kerabat mereka dibedah. Keluarga Sita Fitriati justru menyatakan polisi lebih baik mene-lusuri penyebaran kabar bohong tentang petugas KPPS yang meninggal karena tuberkulosis tersebut. “Tidak perlu ada autopsi. Kematian kerabat kami jangan dipolitisasi,” ujar Muhammad Rizal, kakak Sita.
PRAMONO, DEVY ERNIS (JAKARTA), ABDI PURNOMO (MALANG), IQBAL T. LAZUARDY (BANDUNG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Tugas
Mengumumkan daftar pemilih tetap di tempat pemungutan suara.
Menyerahkan daftar pemilih tetap kepada saksi peserta pemilu yang hadir dan pengawas TPS. Dalam hal peserta pemilu tidak memiliki saksi, daftar pemilih tetap disertakan kepada peserta pemilu.
Melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Membuat berita acara pemungutan dan penghitungan suara serta membuat sertifikat penghitungan suara dan wajib menyertakan kepada saksi peserta pemilu, pengawas TPS, dan panitia pemungutan kecamatan (PPK) melalui panitia pemungutan suara (PPS).
Melaksanakan tugas lain yang diberikan KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, dan PPS sesuai dengan aturan undang-undang.
Menyampaikan surat undangan atau pemberitahuan kepada pemilih sesuai dengan daftar pemilih tetap.
Kewajiban
Menempelkan daftar pemilih tetap di TPS.
Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan saksi, pengawas TPS, panitia pengawas pemilu kelurahan/desa, peserta pemilu, dan masyarakat pada hari pemungutan suara.
Menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel.
Menyerahkan hasil penghitungan suara kepada PPS dan panwaslu kelurahan/desa.
Menyerahkan kotak suara tersegel yang berisi surat suara dan sertifikat hasil penghitungan suara kepada PPK melalui PPS pada hari yang sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo