Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Pakar Ekonomi China Center for International Economic Exchanges Chen Wenling mengatakan di antara Indonesia dan Cina terjalin hubungan saling menguntungkan. Misalnya dalam hal pengerjaan rel kereta api cepat serta pembuatan bendungan, pembangkit listrik, dan jembatan. Ia berharap Indonesia tak seperti Malaysia, yang menyatakan akan melihat kembali kesepakatan BRI itu. ”Kami mencari partner di seluruh dunia yang mau bekerja sama saling menguntungkan.”
Saat ini, kata Chen, sudah ada 65-70 negara yang berminat terlibat dalam BRI. ”Nilainya mencapai US$ 99 miliar,” ujarnya. Namun Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Stu-dies Vidhya D. Perkasa mengamati perjanjian kerja sama BRI sangat tidak jelas. ”Banyak fleksibilitas dalam format perjanjian kerja sama BRI,” katanya.
Ketidakjelasan format ini menimbulkan ketidakpercayaan dan kebingungan baik oleh pemerintah Indonesia, badan usaha milik negara, maupun swasta. Pemerintah Indonesia, menurut Vidhya, sebenarnya lebih menginginkan format perjanjian business to business, bukan government to government. ”Tujuannya, kalau terjadi kerugian, negara tidak ikut rugi,” ujarnya.
Pada kenyataannya, kata Vidhya, pemerintah sendiri tidak konsisten. Mereka terlibat sejak awal, dari lobi, kesepakatan, sampai melibatkan BUMN, yang berisiko merugikan negara jika terjadi wanprestasi. ”Lebih sering format perjanjiannya government to government, bukan business to business. Semua investasi diklaim sebagai part of BRI, seperti pengerjaan kereta api cepat Jakarta-Bandung itu,” katanya.
Vidhya menuturkan, jika kereta api cepat Jakarta-Bandung diklaim sebagai bagian dari BRI, motivasi ekonomi Cina harus ditanyakan. Kerja sama BRI bisa menjadi pintu masuk Cina menjadi negara adidaya menyalip Amerika Serikat dan Jepang. ”Cara menguasai negara ya dimulai dengan menguasai perekonomiannya.” Meski pemerintah Cina berulang kali membantah tudingan itu, menurut dia, kesan tersebut tak bisa dihindari. ”Contohnya Sri Lanka, sampai menggadaikan pe-labuhannya ke Cina selama 99 tahun.”
Kesepakatan dalam perjanjian BRI, kata Vidhya, banyak yang masih membingungkan. “Aturan mainnya sangat unclear di awal.” Kondisi di Cina sendiri saat ini terjadi kelebihan produksi. Vidhya menduga Cina gencar menggalakkan BRI untuk membuang produksi mereka ke luar. ”Overcapacity biasanya diikuti PHK pekerja mereka yang dibuang ke luar.” Kondisi ini sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang yang didatangkan adalah tenaga ahli untuk melakukan transfer teknologi. ”Mereka di sini sampai kapan. Dan, kalau levelnya buruh, ngapain ke sini,” ujarnya.
ISTIQOMATUl HAYATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo