Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EKONOMI dunia terus bergejolak. Ekonomi Cina yang perkasa pun sudah terkena imbas. Kamis pekan lalu, renminbi jatuh mendekati batas psikologis 7 yuan per 1 dolar Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi Cina per akhir kuartal III 2018 hanya 6,5 persen, terendah semenjak krisis global 2008-2009.
Melemahnya perekonomian Tiongkok, menurut Biro Statistik Nasional Cina, merupakan dampak faktor eksternal yang sangat kompleks, sementara reformasi ekonomi di dalam negeri tak mudah terlaksana. Karena itu, ekonomi Cina masih akan mengalami tekanan berat. Ini jelas kabar suram. Jika ekonomi Cina meloyo, efeknya sangat besar ke negara-negara pengekspor komoditas seperti Indonesia.
Lagi pula faktor eksternal yang sangat kompleks itu tak hanya menekan Cina, tapi juga praktis semua negara berkembang. Sebutlah kebijakan The Federal Reserve yang memberi pukulan ganda ke pasar finansial global. The Fed terus menyedot likuiditas dolar seraya menaikkan bunga rujukannya. Ini membuat dolar langka dan nilai tukar mata uang kian merosot di negara-negara yang menanggung defisit transaksi berjalan. Belum lagi dampak perang dagang Cina-Amerika yang makin sengit. Negara-negara berkembang dapat bernasib seperti pelanduk, terinjak gepeng di tengah pergelutan dua gajah.
Walhasil, nilai rupiah kita juga terus tertekan, berkutat di angka 15.200 per dolar dan sulit sekali menguat. Jika melihat neraca perdagangan Indonesia, salah satu faktor penting yang berpengaruh pada kurs, sepertinya tekanan pada rupiah tak akan mengendur. Selama Januari-September 2018, Indonesia memikul defisit neraca perdagangan US$ 3,78 miliar. Bandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, ada surplus US$ 10,86 miliar.
Secara riil, tekanan pada ekonomi Indonesia juga terasa di sektor korporasi. Pertumbuhan usaha pada kuartal III 2018, menurut survei Bank Indonesia, lebih lamban dibanding kuartal sebelumnya. Saldo bersih tertimbang kegiatan usaha hanya tumbuh 14,3 persen, lebih rendah daripada pertumbuhan kuartal sebelumnya sebesar 20,9 persen.
Tren pelemahan mata uang yang sudah merambat ke sektor riil ini harus ditangani. Presiden Joko Widodo tentu memahami situasi ini. Ia bahkan memberi nasihat ketika membuka pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional di Bali, ”...Diperlukan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang mampu menyangga dampak perang dagang, disrupsi teknologi, dan ketidakpastian pasar....” Nasihat ini tak hanya tepat bagi pemimpin negara maju, tapi juga sangat relevan dengan situasi di dalam negeri.
Sementara di tataran global konflik di antara negara akan membuat yang menang jadi arang dan yang kalah jadi abu, pertentangan kebijakan di antara kementerian dan lembaga pemerintah pun bakal berujung demikian adanya. Belakangan ini justru makin sering terlihat bagaimana kebijakan pemerintah terkotak-kotak oleh kepentingan kementerian dan lembaga. Tak jarang muncul pula konflik terbuka. Ada pula faktor pertimbangan politis yang dominan karena pemilihan umum sudah mendekat.
Pertentangan kebijakan perdagangan dan pertanian, misalnya, sempat meledak menjadi adu mulut di area publik. Belum lagi kisruh tentang kenaikan harga bahan bakar minyak. Penerapan On-line Single Submission yang dipaksakan juga menimbulkan masalah di berbagai daerah. Itu sekadar menyebut beberapa contoh.
Kembali meminjam pidato Jokowi di Bali yang menyitir film serial Game of Thrones, musim dingin jahat kini sudah di ambang pintu Indonesia. Para pemimpin kementerian dan lembaga, termasuk politikus berpengaruh, harus bekerja sama mendukung kebijakan yang rasional untuk mengatasinya. Pertarungan kepentingan di antara mereka hanya akan menghasilkan kekalahan bagi perekonomian Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo