Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Cek Pembeli Suara

Sembilan orang anggota Dewan diduga mencairkan sendiri cek yang mereka terima setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia empat tahun lalu. Sebagian anggota menguangkannya melalui kerabat mereka. Uang Rp 20 miliar lebih itu diduga berhulu dari Bank Artha Graha. Tomy Winata membantah.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head3731.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemberantasan Korupsi akan kembali dikunjungi banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Bukan untuk kunjungan kerja atau studi banding, para politikus itu akan dimintai keterangan dalam dugaan penyuapan pada saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia di Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan, empat tahun silam.

Skandal ini terbuka setelah Agus Condro Prayitno, anggota Dewan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengaku menerima 10 lembar cek perjalanan senilai Rp 500 juta setelah pemilihan. Ia yakin, 41 anggota Dewan pendukung Miranda Swaray Goeltom, calon yang menang dalam voting, menerima cek serupa.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan belakangan mengidentifikasi sumber dana dan para penerima cek. Data ini diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dua pekan lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi pun mulai menggelar penyelidikan. ”Akan segera ada beberapa pemanggilan,” kata Johan Budi S.P., juru bicara komisi itu.

Belum ada penjelasan dari kedua lembaga tentang nama-nama anggota Dewan yang diduga menerima aliran dana. Namun sumber Tempo yang mengetahui proses penyelidikan menyebutkan, setidaknya ada 74 lembar cek yang dicairkan sendiri oleh sembilan anggota Dewan. Selain itu, ada 71 lembar yang dicairkan oleh kerabat para politikus dari beberapa partai.

Mereka yang diduga mencairkan cek sendiri adalah Emir Moeis, Agus Condro Prayitno, Soewarno, Suratal H.W., Ni Luh Mariani Tirtasari, dan Budiningsih dari politikus PDI Perjuangan; Azhar Muchlis dan Marthin Bria Seran dari Partai Golkar; serta R. Sulistyadi dari Fraksi TNI/Polri. Dari catatan transaksi, Emir diduga hanya mencairkan empat lembar cek senilai Rp 200 juta. Yang lain menguangkan semua 10 lembar yang mereka terima.

Para politikus yang diduga mencairkan cek melalui kerabat mereka antara lain Max Moein, William M. Tutuarima, dan almarhum Aberson Marle Sihaloho dari PDI Perjuangan; Antony Zeidra Abidin dan Bobby S. Suhardiman dari Partai Golkar; serta Udju Djuhaeri dari Fraksi TNI/Polri. ”Ada yang dicairkan anaknya, ada juga yang oleh istrinya,” kata sumber Tempo.

Yunus Husein, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, menolak memberikan konfirmasi atas kebenaran informasi ini. ”Saya tidak bisa berkomentar, tanya saja ke Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya. Jawaban yang sama diberikan para petinggi Komisi, termasuk ketuanya, Antasari Azhar.

Kecuali Agus Condro yang pertama kali membuka skandal ini, semua politikus yang dihubungi juga menolak mengomentari informasi ini. Jawaban mereka standar: ”Kita tunggu saja hasil pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi.” Jawaban itu datang dari Emir Moeis, Soewarno, Williem Tutuarima, dan Sulistyadi.

Politikus Ni Luh Mariani dan Suratal bergegas mengakhiri pembicaraan begitu Tempo, melalui telepon, memperkenalkan diri . Ketika didatangi di kantornya—sebuah agen properti di kawasan Senayan—Ni Luh tak bisa ditemui. Begitu juga dengan Suratal, politikus asal Semarang yang dua periode menjadi anggota Dewan. Maqdir Ismail, pengacara Antony, mengatakan belum mengetahui masalah ini. Adapun politikus lain yang dihubungi melalui telepon tak memberikan respons.

Aksi ”hemat komentar” itu berkaitan dengan peristiwa empat tahun silam. Syahdan, pada Juni 2004, Agus Condro mengaku diminta datang ke ruang kerja Emir di lantai 10, bersama empat politikus Partai Banteng lainnya: Budiningsih, Muhamad Iqbal, Matheus Formes, dan Wiliam Tutuarima. Ketika itu Emir Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Komisi Keuangan dan Perbankan sekaligus ketua komisi itu.

Menurut Agus, di ruang Emir sudah ada Dudhie Makmun Murod, anggota parlemen dari partai yang sama. Setelah semua hadir, Dudhie membuka laci meja Emir dan mengambil sejumlah amplop putih. Ia membaginya satu-satu kepada para koleganya. Ternyata di dalam amplop ada 10 lembar cek perjalanan senilai Rp 500 juta. Agus ingat betul, cek itu diterbitkan Bank Internasional Indonesia.

Baik Emir maupun Dudhie tak menyebut maksud pembagian cek. Tapi para politikus itu tampaknya mafhum, cek itu berkaitan dengan ”keberhasilan” fraksi mereka meloloskan Miranda Goeltom. Agus yakin, fulus yang dibagikan hari itu berasal dari kubu pendukung sang pemenang.

Agus masih mengingat, Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, dan Wakil Sekretaris Fraksi, Panda Nababan, juga berperan aktif. Keduanya mengarahkan politikus Banteng memilih Miranda, satu dari tiga calon yang diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sebuah pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, khusus dirancang untuk memuluskan ”perjodohan” Miranda dengan partai itu.

Tjahjo, Panda, juga Dudhie telah menampik keterangan Agus. Politikus asal Batang, Jawa Tengah, ini bahkan langsung dicopot dari Dewan segera setelah pengakuannya itu. Namanya cepat-cepat dicoret dari daftar calon anggota badan legislatif Partai Banteng.

l l l

DUIT yang mengguyur Senayan itu turun pada hari yang sama dengan terpilihnya Miranda. Menurut sumber Tempo, pada hari itu duit berpindah dari Bank Artha Graha ke PT First Mujur Plantation and Industry. Hubungan perusahaan yang bergerak di bidang kelapa sawit itu dengan Artha Graha sangatlah dekat.

Pada Agustus 2005, First Mujur mewakili Artha Graha menjalin kerja sama dengan pemerintah Jawa Barat untuk membuka perkebunan tebu senilai Rp 1 triliun. Beberapa kegiatan sosial perusahaan itu juga dilakukan atas nama Artha Graha Peduli. Perusahaan yang pada 1980 didirikan oleh keluarga Adelin Lis, buron kasus pembalakan liar, itu berkantor di Gedung Artha Graha, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta (lihat Cukong Sawit yang Tak Mujur).

Melalui First Mujur, duit dari Artha Graha kemudian beralih wujud menjadi 480 lembar cek pelawat (bukan 460 seperti disebutkan Tempo edisi sebelumnya) masing-masing senilai Rp 50 juta yang diterbitkan Bank Internasional Indonesia. Cek inilah yang dibagikan ke para politikus pemberi suara untuk Miranda.

Pertanyaannya: apa kepentingan kelompok usaha itu menebar duit? Tak ada jawaban utuh—yang ada hanya indikasi dan kepingan puzzle. Pada 2004 Bank Artha Graha memiliki dua misi besar yang berhubungan dengan Bank Indonesia. Pertama, bank itu terlibat dalam persaingan pembelian Bank Permata. Pada hari-hari pemilihan Deputi Gubernur Senior, PT Perusahaan Pengelolaan Aset (pengganti Badan Penyehatan Perbankan Nasional) sedang memproses penjualan 51 persen saham Permata.

Bank Artha Graha termasuk 10 peminat bank hasil merger sejumlah bank swasta itu. Namun misi ini gagal di tengah jalan. Membentuk konsorsium bersama Wachofia, perusahaan keuangan Amerika Serikat, Artha Graha didiskualifikasi. Alasannya, mereka menyerahkan berkas penawaran terlambat 38 menit dari tenggat.

Misi kedua, pada 2004 Artha Graha sedang dalam proses mengakuisisi PT Bank Inter Pacific Tbk. Ini bukan proyek untung, karena pada saat itu Inter Pacific justru memiliki saldo defisit Rp 952,79 miliar—dua kali lipat dari modal bank ini. Inter Pacific juga masih memiliki catatan pelampauan batas maksimum pemberian kredit jauh di atas ketentuan Bank Indonesia.

Kelebihannya, Bank Inter Pacific sudah terdaftar di bursa saham. Dengan mengakuisisi bank itu, Artha Graha bisa langsung masuk bursa tanpa menerbitkan saham perdana. Proses ini berakhir manis ketika Bank Indonesia menyetujui merger kedua bank pada 15 Juni 2005—setahun setelah terpilihnya Miranda. Walhasil, Artha Graha berubah nama menjadi PT Bank Artha Graha Internasional Tbk. Di bursa, mereka memakai kode saham INPC, yang sebelumnya dipakai Inter Pacific.

Tomy Winata, Wakil Komisaris Utama Artha Graha, membantah keterlibatan banknya dalam dugaan penyuapan anggota Dewan. Apalagi jika dikaitkan dengan aktivitas perbankan Artha Graha ketika itu. ”Aduh, gosip lagi. Sudah deh, capek! Demen ya, orang ngejelek-jelekin saya,” kata pengusaha 50 tahun itu.

Wagner Tobing, Kepala Bagian Personalia dan Umum First Mujur, juga menepis dugaan keterlibatan perusahaannya dalam bagian penyuapan anggota Dewan. ”Kami tidak tahu dan kaget dengan informasi itu,” ujarnya. Selebihnya ia tak mau berkomentar.

Sumber Tempo yang mengetahui lobi-lobi di Bank Indonesia menyebutkan, memang tak selalu sponsor berhubungan dengan kesepakatan pada suatu kasus. Target minimal para penyandang dana adalah hubungan dekat dengan petinggi bank sentral. ”Punya hubungan baik dan dekat dengan Dewan Gubernur sangat penting bagi pemilik bank,” katanya.

Hubungan baik dengan Deputi Gubernur Senior memiliki nilai lebih karena dialah yang bertanggung jawab pada masalah perbankan. Sedangkan Gubernur Bank Indonesia lebih banyak mengurus ekonomi makro. Kedekatan bisa berbuah, misalnya, pada pengaturan kursi semeja dengan Dewan Gubernur dalam resepsi atau pertemuan informal.

Dengan kedekatan hubungan pula, para pemilik bank bisa duduk satu mobil ketika bermain golf seharian. ”Bayangkan, apa saja yang bisa dibicarakan dalam sebuah permainan golf sehari penuh,” sang bankir menambahkan.

Atas nama mengejar hubungan baik pula, sumber lainnya yakin, sponsor Miranda bukan dari satu melainkan beberapa kelompok usaha. Menurut sumber ini, kelompok-kelompok itu saweran mensponsori Miranda. ”Mereka hanya menjadikan Artha Graha sebagai jalan,” ia menjelaskan. Dugaan ini dibantah Tomy Winata. Miranda juga menyangkal berada di balik semua sengkarut itu.

Untuk menyingkap skandal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi mulai bergerak. Pada Jumat pekan lalu, mereka kabarnya telah meminta keterangan seorang petinggi First Mujur. Anggota Dewan yang namanya jelas-jelas tercatat dalam lalu lintas aliran cek akan segera menyusul dimintai keterangan.

Emir Moeis mengatakan siap memberikan keterangan bila dipanggil. Ia mengatakan tak pernah menerima duit seperti yang dituduhkan. Jika ternyata namanya tertera, ia tentu harus mengoreksi pernyataannya beberapa saat setelah Miranda terpilih. Menanggapi isu politik uang yang terdengar santer, Emir ketika itu menjawab: ”Di depan mata saya tidak pernah ada money politics, nggak tahu di belakang saya. Mata saya kan cuma dua.”

Budi Setyarso, Rina Widyastuti, Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus