Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Babi hutan itu terburu-buru menyusuri jalanan Kota Yogyakarta. Berkelok-kelok di jalan yang tak lebar, ia sampai halaman Keraton. Berhenti sebentar, sang celeng memuntahkan isi perutnya. Beberapa anggota Partai Golkar keluar menyembul dari dalam tubuh si babi. Ini memang bukan celeng sembarang celeng, tapi bus milik pelukis Djoko Pekik yang lambungnya digambari babi.
Hari itu kendaraan milik seniman eksentrik itu dipinjam deklarator Forum Pembaruan Partai Golkar (FPPG). Dikomandani Fahmi Idris dan Marzuki Darusman, Rabu pekan lalu rombongan bertemu Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Para mantan pengurus pusat Partai Golkar ini memang sedang menghadapi persoalan berat. Karier politik mereka terancam tamat setelah sebelumnya dipecat dari keanggotaan partai oleh pimpinan mereka, Akbar Tandjung. Gara-garanya, delapan tokoh Golkar itu berbeda pendapat dengan keputusan Rapat Pimpinan Nasional Golkar yang memutuskan untuk memenangkan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi dalam pemilu presiden putaran kedua lalu. Mereka malah menggiring Partai Beringin ke pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla.
Fahmi dan kawan-kawan meminta Sultan menjadi penengah. Sultan menerima mereka di Keraton Kilen. "Saya hanya melihat apakah permasalahan di antara kader Golkar itu bisa dijembatani," kata Sultan.
Gubernur Yogyakarta itu dipilih karena selama ini dikenal netral dalam percaturan politik di tubuh Golkar. Fahmi mengatakan pembicaraan dengan Sultan tidak menyinggung soal upaya menjatuhkan Akbar Tandjung dari posisi Ketua Umum Partai Golkar dalam musyawarah nasional yang akan digelar Desember nanti.
Menjatuhkan Akbar? Itulah kini yang sedang dipikirkan Fahmi dkk. Mereka bahkan telah mengirim surat kepada Akbar untuk segera mengundurkan diri karena dinilai gagal. "Bila dia tidak mau mengundurkan diri, kami akan menempuh jalur hukum," kata Anton Lesiangi, pengurus DPP Golkar yang juga dipecat. Anton berencana menggugat Akbar soal pemecatan itu.
Fahmi tak kalah garang. "Soal politik, Akbar sudah selesai," katanya. Akbar dinilainya telah membawa Golkar berkoalisi dengan calon presiden yang akhirnya kalah. Kata Fahmi, Akbar kini menyeret Golkar untuk mengambil peran sebagai oposisi dalam pemerintahan yang baru. Fahmi mencurigai peran oposisi itu merupakan agenda terselubung yang disiapkan Akbar Tandjung.
Agenda terselubung itu adalah menjatuhkan pemerintahan Yudhoyono sebelum 2009. Dengan menguasai mayoritas suara parlemen, Golkar dan PDIP—jika akur—memang bisa mengganjal pemerintahan baru kelak, misalnya dengan mengemukakan isu sensitif seperti harga BBM. "Akbar masih mengincar posisi presiden," kata Fahmi.
Meski masih berupa prediksi, Anton Lesiangi menilai Akbar Tandjung bukan tak mungkin melakukan skenario itu. Dalam beberapa lembar kertas, Anton bahkan telah menginventarisasi berbagai blunder politik yang telah dilakukan Akbar. Mulai dari keluar dari kabinet Soeharto, menolak pidato pertanggungjawaban Habibie, menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid, sampai tak serius mendukung Wiranto sebagai calon presiden Partai Golkar.
Jalan untuk mencapai skenario Akbar itu—jika kekhawatiran Anton, Fahmi, dkk. benar—adalah dengan memantapkan kerja sama Koalisi Kebangsaan, termasuk dengan mendukung kader Golkar memimpin DPR. Arifin Panigoro dari PDIP melihat langkah menguasai kursi pimpinan di DPR bukan sekadar untuk mengontrol pemerintah. "Kesannya, mereka akan melakukan hal-hal destruktif," katanya.
Fahmi dkk. melihat cara untuk mengerem niat itu adalah dengan menjatuhkan Akbar Tandjung. Tapi bisakah? Inilah soalnya. Jika pemecatan berlanjut—diikuti dengan pembatalan Fahmi dkk. menjadi anggota DPR—Fahmi praktis tak bisa bergerak. Ia tak akan dilibatkan dalam Musyawarah Nasional Golkar—forum resmi yang bisa mendongkrak bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam itu dari kepemimpinan Partai.
Dukungan daerah kepada keduanya juga belum secara riil terkumpul. Dalam rapat koordinasi nasional Golkar yang dimulai Jumat pekan lalu, pimpinan Golkar daerah dari 29 provinsi bahkan satu kata mengharamkan keberadaan Forum Pembaruan Partai Golkar. Mereka juga mengamini keputusan pemecatan terhadap Fahmi Idris dan kawan-kawan.
Tapi Burhanuddin Napitupulu, salah seorang kader yang dipecat, masih optimistis. Katanya, daerah tidak akan mendukung Akbar jika ia tak lagi punya posisi. Mulai 1 Oktober nanti Akbar memang bukan lagi Ketua DPR dan anggota legislatif. Akbar sendiri tenang-tenang saja menghadapi serangan ini. "Itu cuma upaya untuk menjelek-jelekkan saya," katanya.
Agung Rulianto, Hanibal W.Y.W., Ecep S. Yasa, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo