Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perselingkuhan Pengantin Baru

Di daerah, Koalisi Kebangsaan nyaris tak jalan. Pengikutnya saling sikut dan mulai berselingkuh.

27 September 2004 | 00.00 WIB

Perselingkuhan Pengantin Baru
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Terpilih menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Jawa Tengah, Murdoko tetap merasa tak senang. Wajahnya kusam. Hatinya galau. Kegagalan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden membuat jantung Ketua PDI Perjuangan Jawa Tengah ini remuk-redam. Semula provinsinya sangat diandalkan untuk memompa suara pasangan Mega-Hasyim dalam pemilu putaran kedua. Dalam pemilu pertama—tanpa sokongan Koalisi Kebangsaan yang terdiri dari Golkar, PDIP, Partai Persatuan Pembangunan, dan beberapa partai alit lainnya—Mega Hasyim menguasai pertandingan.

Awalnya Murdoko membayangkan mesin politik Koalisi bisa menambah suara Mega-Hasyim. Setelah bosnya menang, di daerahnya anggota Koalisi akan berbagi posisi di DPRD dan pemerintahan daerah. Kisah perkawinan yang indah terbayang di benak Murdoko.

Nyatanya bukan mahligai pelaminan yang didapat, tapi cekcok dan pertengkaran yang terjadi. Dalam pemilu 20 September lalu, Mega malah tak dipilih massa partai pengikut Koalisi. "Koalisi hanya dianggap jalan meraih kekuasaan," kata Sabirin Nadj, Wakil Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Secara nasional, menurut riset lembaga itu, Partai Golkar dan PPP ternyata hanya menyumbangkan 24 persen suara untuk Mega.

Yang bikin Murdoko gondok, Partai Golkar juga tidak konsisten menjalankan kesepakatan Koalisi Kebangsaan. Ia memang menang dalam pertarungan merebut kursi ketua parlemen, tapi kontrak politik yang diteken Dewan Nasional Koalisi Kebangsaan tidak berjalan.

Di sana disebutkan partai anggota Koalisi harus mendukung partai yang paling banyak mempunyai kursi. Di Jawa Tengah, PDIP mempunyai 31 kursi, sedangkan Golkar 17 kursi. Tapi, alih-alih mendukung, Golkar malah mengajukan calon sendiri. Mereka menyorongkan Ketua Golkar Jawa Tengah M. Hasby sebagai kandidat. Hasby kemudian didukung partai-partai non-Koalisi seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat. "Ini kan namanya etika dan kesepakatan tak dipatuhi," kata Murdoko.

Kenyataan ini membuat banyak kader PDIP bertanya-tanya, "Apakah kongsi politik ini masih bisa diteruskan lima tahun mendatang? Jika diteruskan, ini bukan Koalisi Kebangsaan lagi, tapi koalisi kebangetan," kata seorang kader PDIP di Solo.

Kegagalan Koalisi sebenarnya sudah bisa diduga. Di berbagai daerah, kongsi kebangsaan nyaris tak jalan. Di Yogyakarta, PPP berselingkuh dengan Partai Demokrat dan Partai Bulan Bintang dengan mendirikan Fraksi Persatuan Bintang Demokrat. Cerita serupa juga terjadi di Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. "Tantangan daerah dan pusat tak sama," kata Muslih Ilyas, Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah PPP Yogya.

Menurut Muslih, partainya sebenarnya tak melawan keputusan pimpinan di Jakarta. Hanya, katanya, jika Partai Ka'bah bergabung dengan Koalisi Kebangsaan, bisa-bisa suara PPP tak akan dihiraukan. Soalnya di legislatif Yogyakarta mereka hanya punya dua kursi.

Cerita serupa juga terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Di sana kader PDIP, Golkar, dan PPP justru bersaing memperebutkan kursi ketua parlemen Kabupaten Cianjur. Padahal, dalam pertemuan Koalisi Kebangsaan sebelumnya, disepakati hanya Dedeh Saryamah dari PDIP yang mencalonkan diri.

Kongsi Koalisi juga gagal bekerja di Jawa Timur. Di berbagai daerah di sana—misalnya di Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Ponorogo—fraksi-fraksi dalam Koalisi malah tak akur. Komitmen untuk saling mendukung pun tak jalan.

Kasus pemilihan Ketua DPRD Jawa Timur, 11 September lalu, adalah salah satu contoh. Ridwan Hisyam, calon ketua parlemen dari Partai Golkar, tak disokong anggota persekutuan kebangsaan itu.

Menjelang menit-menit terakhir, PDIP malah memajukan Ketua PDIP Jawa Timur Y.A. Widodo sebagai calon. Kongsi pun pecah. Hasilnya, partai-partai gigit jari. Kursi malah melayang ke Fathurosjid dari Partai Kebangkitan Bangsa. Ridwan hanya meraih 23 suara meski total jenderal suara Koalisi adalah 48 kursi. Tak cuma PDIP yang tak kompak. Belakangan diketahui PPP yang memiliki 8 kursi malah menyetorkan suaranya ke Fathurosjid.

Kasus ini berbuntut panjang. Golkar memboikot PDIP dalam pemilihan presiden putaran kedua. Di kawasan itu Mega keok melawan Susilo. Tapi ketua badan pelaksana Koalisi Kebangsaan di Jawa Timur, Eddy Wahyudi, masih bisa menepuk dada: meski kalah, dibandingkan dalam putaran pertama, kali ini suara Mega Hasyim lumayan menggelembung. "Dalam putaran pertama, Mega Hasyim di Jawa Timur hanya dapat 5 juta suara. Tapi di putaran kedua menjadi 8,1 juta suara. Tambahan 3 juta ini jelas dari grassroot Golkar," katanya.

Kisah-kisah inilah yang membuat tak banyak orang optimistis persekutuan kebangsaan itu bisa langgeng. Apalagi selama ini para penyokong Koalisi tak akur. "Mengawinkan dua cara yang berbeda itu tak mudah. Anda harus tahu, gesekan di tingkat akar rumput jauh lebih tajam dibanding di tingkat elite," kata Eddy.

Itulah sebabnya Ketua PDIP Roy B.B. Janis menganggap tak ada gunanya melanjutkan Koalisi Kebangsaan. Di matanya, Koalisi tak mendatangkan sinergi malah menggerus kemenangan di beberapa kantong suara Mega. "Jadi, lebih baik diakhiri saja," ujarnya.

Arifin Panigoro, salah satu politisi PDIP, membenarkan. Katanya, kongsi politik ini hanya menguntungkan Golkar karena mereka memiliki lebih banyak kursi di legislatif pusat dan daerah. Di pusat diduga Golkar pula yang akan berpeluang mendapat kursi Ketua DPR. Bagaimana dengan PDIP? "Paling gigit jari. Kursi presiden tak dapat, DPR juga tak dapat," kata Arifin.

Sinyal ke arah dipegangnya kursi Ketua DPR oleh Golkar bukan belum tampak. Dalam rapat Selasa pekan ini rencananya soal Ketua DPR itu akan dibahas pentolan Koalisi. Akbar sendiri, kabarnya, sudah menyiapkan tiga nama: Agung Laksono, Mahadi Sinambela, dan Slamet Effendy Yusuf. "Nama-nama itu sudah disodorkan kepada Megawati dan setuju," kata salah satu petinggi Golkar. Pengurus Golkar yang lain menyebut kans Agung Laksono yang paling besar.

Arifin menganggap kesepakatan itu menggelikan. Soalnya, kesepakatan itu adalah bagian dari konsensi Koalisi yang bertujuan memenangkan Megawati-Hasyim Muzadi. "Jika Ibu kalah, masak konsensi itu diminta?" ujar Arifin. Lontaran Arifin itu diamini pengurus PDIP di daerah. "Jika kalah, masa masih diminta? Koalisi ini kan dibentuk berdasarkan kepentingan," kata Hariadi Saptono, Wakil Sekretaris DPC PDIP Solo. Di Wonogiri, Anding Sukiman, Ketua Majelis Pertimbangan Cabang PPP setempat, malah memilih mundur dari Koalisi. "Di sini Koalisi tak berarti banyak buat kami," katanya.

Widiarsi Agustina, Sohirin (Semarang), Syaiful Amin (Yogyakarta), Imron Rosyid (Wonogiri), Deden Abdul Aziz (Cianjur),

Agus Raharjo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus