Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Masa Kritis seusai Kemenangan

Militer masih memiliki pengaruh kuat dalam peta politik Myanmar. Kemampuan Suu Kyi merangkul militer menjadi penentu mulusnya transisi pemerintahan.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Htay Oo tampak terguncang melihat hasil penghitungan suara di Kota Hinthada, Myanmar. Di daerah pemilihan di tepi Sungai Irrawaddy itu, Ketua Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP) ini keok melawan calon dari partai oposisi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD). Hanya perlu dua hari bagi Htay untuk mendapati dirinya terpental dari parlemen.

Setengah tertegun, Htay mengaku tak habis pikir bakal kehilangan kursi. Apalagi Htay, 65 tahun, yang notabene politikus kawakan di Myanmar, kalah suara melawan kandidat "kemarin sore". "Saya juga ingin tahu jawaban atas pertanyaan ini," kata purnawirawan jenderal bintang dua ini kepada Reuters, Selasa pekan lalu.

Khin Maung Yee, 71 tahun, tak kalah heran dapat menyingkirkan bos partai berkuasa di Myanmar. Pensiunan guru biologi ini tersenyum lebar setelah mengetahui perolehan suaranya. Namun ia juga mengaku gugup karena bakal menduduki kursi parlemen di ibu kota Myanmar, Naypyitaw. "Saya belum pernah ke sana," ujarnya secara terpisah.

Jungkir-balik nasib politikus USDP yang kandas dalam pemilihan umum tidak hanya dijumpai di Hinthada. Calon anggota parlemen dari partai bentukan junta militer itu rontok di sebagian besar daerah pemilihan. Perolehan suara mereka disapu oleh NLD, yang telah meraup 90 persen dari hampir separuh jumlah surat suara yang dihitung.

Kemenangan NLD sebenarnya telah diprediksi. Berbagai jajak pendapat yang diselenggarakan beberapa waktu sebelum pemilu menunjukkan partai besutan Aung San Suu Kyi tersebut mampu mengalahkan USDP. Padahal partai penyokong Presiden Thein Sein itu menguasai tiga perempat kursi parlemen dari pemilu 2010, yang hasilnya ditolak oleh oposisi.

Angin perubahan juga terlihat dari tingginya antusiasme 30 juta pemilih yang mencoblos pada Ahad pekan lalu. Di Yangon, misalnya, warga sudah antre di tempat pemungutan suara sejak setengah jam sebelum dibuka pukul 06.00. Mereka memadati TPS yang umumnya berupa gedung sekolah atau pusat layanan kesehatan.

Yu Htwe, 21 tahun, mendatangi TPS di Native Town, Hlaing Thata Township, Yangon barat, pada pukul 07.00. Pemilu ini merupakan pengalaman pertama bagi mahasiswa University of Medicine Yangon itu. Yu, yang mengaku menginginkan perubahan dan demokrasi, tidak mau hak suaranya mubazir. "Saya ingin keluar dari kediktatoran pemerintahan saat ini," katanya kepada Shinta Maharani, wartawan Tempo yang hari itu menyaksikan pemilu di Yangon.

Harapan Yu dan para pendukung NLD perlahan membuncah saat Komisi Pemilihan Umum Myanmar menyiarkan hasil hitung cepat. Di Yangon, ribuan orang turun ke jalan merayakan kemenangan NLD. Mereka ada yang berjalan kaki dan mengendarai mobil. Bocah, remaja, hingga orang tua tumplek di pusat kota. Lautan manusia berpakaian dan beratribut serba merah—warna khas NLD—memadati kantor sekretariat NLD di Jalan Shwe Gon Taing.

Suu Kyi tak bisa menyembunyikan senyumnya. "Waktu telah berganti, masyarakat telah berubah," katanya setelah memastikan kemenangan telak NLD. Satu per satu ucapan selamat menghampiri perempuan 70 tahun ini. Presiden Thein Sein hingga pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing mengakui kemenangannya. Dukungan juga mengalir deras dari komunitas internasional.

Namun kemenangan NLD hanyalah awal dari perubahan di Myanmar. Untuk dapat mendorong demokratisasi, NLD harus lebih dulu membentuk pemerintahan, yang diawali dengan pemilihan presiden. Presiden dipilih setelah anggota parlemen baru mulai bersidang pada Februari 2016. Adapun presiden baru dilantik pada akhir Maret.

Menyusun pemerintahan menjadi urusan pelik bagi NLD, terutama setelah junta militer mengesahkan konstitusi baru pada 2008. Aturan itu dibuat sebelum junta menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan semi-sipil Thein Sein tiga tahun kemudian. Undang-undang itu antara lain mengatur bahwa 25 persen kursi di parlemen dikuasai militer. Sisa kursi diperebutkan oleh lebih dari 6.000 kandidat dari 90 partai dalam pemilu.

Cengkeraman militer juga menjangkau kabinet. Militer dipastikan menguasai Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Perbatasan. Tiga kementerian itu berpengaruh kuat dengan anggaran yang besar. "Kementerian Dalam Negeri berwenang mengendalikan birokrasi. Ini bisa menyulitkan NLD dalam mengeksekusi kebijakan," demikian dituliskan Reuters.

Kendala lain adalah terganjalnya Suu Kyi untuk dicalonkan menjadi presiden. Konstitusi mengatur bahwa Presiden Myanmar tak boleh memiliki pasangan atau keturunan warga asing. Suu Kyi memiliki dua anak berkebangsaan Inggris. Untuk dapat mencalonkan Suu Kyi, NLD harus lebih dulu mengubah konstitusi. Ini tak gampang karena NLD harus mampu membujuk fraksi militer di parlemen.

Khin Zaw Win, Direktur Tampadipa Institute, lembaga think tank di Yangon, mengatakan pengaruh militer masih terlalu kuat di Myanmar. Menurut dia, Suu Kyi dan NLD tidak akan mudah menghapus campur tangan militer, yang telah mengendalikan Myanmar secara otoriter selama hampir setengah abad. "Dominasi militer tidak akan berakhir dalam sekejap," tuturnya.

Sadar akan situasi pelik tersebut, Suu Kyi telah menyiapkan skenario. Dalam sebuah wawancara dengan Channel News Asia, dua hari selepas pemilu, Suu Kyi menyatakan dia boleh saja tak menjadi presiden. Tapi, sebagai ketua partai pemenang pemilu, ia akan memiliki "posisi di atas" presiden. Caranya dengan menunjuk presiden boneka.

"Dia tidak akan memiliki wewenang. Dia akan bertindak sesuai dengan keputusan partai," kata Suu Kyi di kediamannya. Dengan skenario ini, menurut Suu Kyi, dia akan menjadi presiden de facto. "Itulah satu-satunya cara yang logis. Sebab, di negara demokrasi mana pun, pemimpin partai pemenang yang menjadi pemimpin pemerintahan."

Untuk memuluskan rencananya, Suu Kyi hari itu melayangkan tiga surat terpisah untuk Presiden Thein, Jenderal Min, dan ketua parlemen Shwe. Ia meminta digelar pertemuan pada pekan depan untuk membahas soal transisi pemerintahan. "Saya ingin mengajak Anda berdiskusi dalam semangat rekonsiliasi nasional," demikian pemenang Nobel Perdamaian ini menuliskan dalam suratnya.

Analis politik Soe Naing menilai manuver politik Suu Kyi didasari atas kekhawatirannya terhadap masa transisi pascapemilu. Menurut dia, Suu Kyi tidak ingin insiden dalam pemilu 1990 terulang. Saat itu junta militer menganulir kemenangan NLD. "Ia ingin memastikan bahwa partainya tetap berhubungan dekat dengan orang-orang yang memegang kekuasaan," katanya seperti dikutip Myanmar Times.

Politikus senior NLD, Han Tha Myint, membenarkan ihwal pentingnya hubungan Suu Kyi dengan Jenderal Min. Menurut dia, skenario presiden boneka hanya berhasil jika mendapat restu militer. "Bila tidak, militer bisa menggerakkan tiga kementerian yang dikuasainya untuk mengacaukan kabinet," ujarnya. "Jadi hal pertama yang harus kami lakukan adalah berbicara dengan militer."

Menurut konstitusi, Presiden Myanmar dipilih oleh parlemen. Majelis Rendah, Majelis Tinggi, dan fraksi militer di parlemen masing-masing mengajukan satu nama. Kandidat presiden tidak selalu berasal dari anggota parlemen. Kandidat yang dipilih berhak membentuk pemerintahan, sedangkan dua calon yang kalah menjadi wakil presiden.

Kini transisi politik Myanmar ada di tangan Suu Kyi. Situasi yang rumit karena hubungannya dengan Jenderal Min selama ini kurang harmonis. Salah satu pemicunya adalah klausul dalam konstitusi yang menjegal Suu Kyi menjadi presiden. Namun Suu Kyi tampaknya mulai legawa mengenai kondisi tersebut. "Entah itu militer entah lembaga lain, kolaborasi dan kerja sama harus diupayakan. Ini tidak bisa terwujud dalam semalam."

Mahardika Satria Hadi (Reuters, Channel News Asia, Myanmar Times, the Guardian, The Irrawaddy)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus