Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Paus dan Umpan-umpan

Diributkan politikus Senayan, Komisi Pemberantasan Korupsi berkukuh tetap memeriksa Tamsil Linrung dan tiga pemimpin Badan Anggaran DPR lainnya. Ongkos komitmen dana infrastruktur daerah ditengarai mengalir lewat Tamsil.

10 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM lelaki bergegas memasuki sebuah rumah toko di kompleks Induk Koperasi TNI Angkatan Laut, di seberang Mall of Indonesia, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pertengahan Juli lalu. Dua dari mereka—seorang kepala dinas Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan seorang anggota rombongan—segera naik ke lantai dua menemui lelaki bernama Sindu Malik Pribadi. Sisanya tak diizinkan naik karena lantai dua sudah sesak. "Banyak orang memakai baju berlogo Partai Keadilan Sejahtera saat itu," kata sumber Tempo menceritakan pengalamannya dua pekan lalu.

Mereka, enam lelaki itu, datang dari sebuah kabupaten di Sulawesi. Membawa duit tunai Rp 450 juta di dalam tas punggung, mereka meluncur ke kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Kalibata, Jakarta Selatan, sebelum ke Kelapa Gading. Sumber Tempo menyebutkan keputusan pengucuran dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah sebesar Rp 40 miliar ditentukan hari itu. Setiba mereka di Kalibata, seorang pejabat Kementerian malah menyuruh mereka ke Kelapa Gading.

Di Kelapa Gading, ketika sedang menunggu urusan kelar, telepon seluler salah satu dari mereka berdering. Suara di seberang telepon berkata uang yang mereka bawa mesti diserahkan ke penunggang Toyota Fortuner hitam yang telah menunggu di depan ruko. Belakangan mereka mengetahui si penunggang Fortuner adalah Iskandar Pasajo alias Acos.

Di dalam mobil sudah ada orang lain, pengusaha dari Maluku. "Taruh saja kardusnya di bagasi," kata Acos kepada tamunya. Permintaan yang sama diajukan kepada sumber Tempo yang gelagapan karena duitnya masih di dalam tas punggung. Sang sumber lalu mencari kardus ke beberapa ruko sebelah, sementara Fortuner tetap berjalan mengelilingi kompleks.

Memperoleh kardus kosong bekas minuman kemasan, mereka lantas memindahkan uang dari tas punggung ke dalam kardus. Fortuner hitam sudah kembali parkir di depan ruko. Kardus dibawa ke mobil bongsor itu. Begitu bagasi dibuka, semua terperenyak. Di sana sudah tergeletak sejumlah kardus lain. "Kardusnya sama dengan yang kami bawa. Kemungkinan besar juga berisi uang," ujar sumber itu.

Duit Rp 450 juta disebut Acos sebagai panjar proyek. Kepada para tamu, Acos minta dibayar lagi lima persen dari nilai proyek jika daerah sang tamu masuk daftar penerima dana infrastruktur. Selesai menaruh kardus duit di bagasi Fortuner, sumber Tempo meminta kuitansi bukti penyerahan duit Rp 450 juta. Tapi, di kuitansi yang ditulis Sindu, dicantumkan duit yang mereka serahkan hanya Rp 250 juta. "Ditulis uang itu untuk panjar pembelian alat-alat berat," katanya.

Pada 9 Agustus, mereka kembali ke Jakarta membawa duit Rp 2 miliar. Dana itu berasal dari seorang pengusaha di provinsinya, calon penggarap proyek. Kali ini mereka bertemu dengan Sindu dan seorang perempuan yang mengaku sebagai anggota staf Dewan Perwakilan Rakyat, di restoran di Hotel Grand Menteng, sekitar pukul tujuh malam. "Uang itu akan diberikan ke Kementerian Transmigrasi dan Badan Anggaran DPR," ujar sumber Tempo.

Setelah diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, kepada Tempo, Sindu membantah cerita itu. Acos juga menyangkal terlibat memakelari anggaran, termasuk soal permintaan duit kepada rombongan sumber Tempo tadi. Meski begitu, ia mengaku memiliki Fortuner hitam. "Tapi sudah dijual bulan puasa lalu."

l l l

MERASA buntu hidup di Jakarta, Acos menemui Tamsil Linrung, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Partai Keadilan Sejahtera. Ia dan Tamsil berkawan sejak kuliah di Makassar. Ia juga menjadi Panglima Garda Sahabat Tamsil Linrung, tim sukses Tamsil pada Pemilihan Umum 2009. Belakangan, Acos juga menjadi Wakil Ketua Umum Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia, organisasi yang diketuai Tamsil. "Kami berdialog soal apa yang harus dikerjakan di Jakarta," kata Acos.

Tapi Acos menolak menyebutkan secara terperinci isi pembicaraannya dengan Tamsil. Yang pasti, setelah pertemuan itu, ia menenteng proposal proyek pembangunan kota terpadu mandiri ke Kementerian Tenaga Kerja. "Ini proposal sejak 2007," katanya. Ia mengaku hendak mencari proyek di Kementerian.

Setiba di sana, ia bertemu dengan Ali Mudhori, anggota staf Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Sindu Malik—belakangan menjadi dosennya di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bekasi dan satu organisasi di Persatuan Nelayan. Dari perkenalan tersebut, ketiganya sepakat mengegolkan proyek kota terpadu mandiri.

Menurut Acos, mereka kemudian menemui Nyoman Suisnaya, Sekretaris Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi, yang belakangan jadi tersangka percobaan suap Rp 1,5 miliar ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Nyoman, kata Acos, mulanya pesimistis karena program yang dimulai pada era Menteri Erman Suparno itu sudah lama mati. "Saya yakinkan bahwa itu bisa diperjuangkan," kata Acos. Ia juga mengatakan dekat dengan Tamsil Linrung.

Suatu waktu, Acos mempertemukan Nyoman dengan Tamsil di Hotel Crowne Plaza, Jakarta. Ketika itu, Tamsil sedang punya kegiatan di sana. "Ini Pak Nyoman dari Kemenakertrans mau bertemu," kata Acos menirukan kembali ucapannya kepada Tamsil. Menurut dia, setelah pertemuan itu, proyek kota terpadu mandiri akhirnya bisa disusun memanfaatkan dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah untuk kawasan transmigrasi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011.

Menurut Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Program Pelaporan dan Evaluasi yang juga tersangka bersama Nyoman, Tamsil pernah pula bertemu dengan Direktur Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat Kawasan Transmigrasi kala itu, Djoko Sidik Pramono, untuk membahas proyek kota terpadu. Dadong mendengar hal itu dari Acos, Sindu, dan Ali ketika mereka bertemu di ruangan Nyoman, Maret-April silam. "Setelah itu, saya diminta menyusun program," kata Dadong kepada penyidik.

Sumber Tempo yang lain mengatakan, pada 2011, sebelum anggaran infrastruktur daerah cair, ada pertemuan antara Tamsil dan Acos, Sindu, serta Ali di sebuah hotel di Jakarta. Pertemuan berlangsung dua kali dan membicarakan upaya mengegolkan dana infrastruktur. Dalam sebuah pertemuan, Tamsil berjanji bertungkus-lumus memperjuangkan proyek itu. "Saya ini cuma membantu," ujar Tamsil seperti ditirukan sumber Tempo. "Tapi nanti ada uang lelahnya," kata Acos, masih ditirukan sumber itu.

Menurut Tamsil, ia tak pernah bertemu dengan Nyoman. Tapi ia mengaku pernah sekali bertemu dengan Djoko di Hotel Crowne Plaza. "Dia minta kepada saya, bagaimana ini transmigrasi tak masuk APBN 2011," ujarnya. "Saya bilang sudah telat. Kalau mau, ajukan lewat APBNP dan lewat mekanisme yang benar."

Selebihnya, kata Tamsil, ia hanya menelepon Djoko. "Saya telepon dia waktu ketemu Dirjen Perimbangan bahwa tak ada surat dari Kemenakertrans." Ia membantah ada pertemuan dengan Acos, Sindu, dan Ali untuk membahas proyek.

l l l

DIUSULKAN pertama kali Rp 900 miliar, dana infrastruktur kawasan transmigrasi akhirnya disetujui Rp 500 miliar. Anggaran sebesar itu dialokasikan untuk 19 kabupaten, seperti dalam daftar yang dibawa Sindu ketika datang ke ruangan Nyoman pada pertengahan Juli. Kabupaten Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan Mimika, yang dipesan Dharnawati, tersangka lain kasus ini, juga masuk daftar.

Satu per satu, Sindu mendiktekan nama-nama kabupaten penerima dana. Wati, sekretaris Nyoman, lantas menuliskannya di whiteboard di ruangan itu. Setelah itu, Dadong menyalinnya ke dalam komputer karena daftar itu akan dijadikan lampiran surat ke Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.

Menurut Nyoman, surat yang kemudian diberi nomor B.73/MEN.SJ/VII/2011 tertanggal 15 Juli itu sebenarnya dikirim setelah 18 Juli. Tapi, atas permintaan seseorang di Direktorat Perimbangan, tanggal surat dimundurkan. "Agar seolah-olah surat dikirim sebelum pembahasan," kata Nyoman kepada penyidik, seperti ditirukan pengacaranya, Bachtiar Sitanggang.

Pada 21 Juli, Nyoman ditelepon Direktur Dana Perimbangan Pramudjo dari Direktorat Jenderal Perimbangan untuk menyusun konsep berita acara pengalokasian dana 19 kabupaten seperti dalam surat 18 Juli. Menurut Pramudjo kepada Nyoman, berita acara harus selesai hari itu lantaran hendak dibawa dalam rapat Kementerian Keuangan dengan Badan Anggaran keesokan harinya.

Seusai rapat di Kementerian, Nyoman kembali ke kantornya. Di sana, Sindu dan Acos sudah menunggu. Kepada Nyoman, mereka berkata ingin mengubah besaran anggaran sejumlah kabupaten yang ada dalam berita acara, antara lain Bengkulu Utara (dari Rp 79,74 miliar menjadi Rp 76,77 miliar), Sarolangun (Rp 34,68 miliar menjadi Rp 24,68 miliar), Wajo (Rp 17 miliar menjadi Rp 30 miliar), Maluku Tengah (Rp 25,08 miliar menjadi Rp 30,08 miliar), serta Mesuji (Rp 62,89 miliar menjadi 57,77 miliar). Sedangkan kabupaten tempat asal sumber Tempo yang mengantar duit ke Kelapa Gading kebagian Rp 20 miliar.

Nyoman menuruti keinginan Sindu dan Acos. "Perubahannya saya tulis sendiri," kata Nyoman. Tapi ia meminta Sindu dan Acos mengurusnya sendiri ke Kementerian Keuangan dan Badan Anggaran. Sehari kemudian, pada 22 Juli, anggaran infrastruktur itu diketuk Badan Anggaran dengan persetujuan Menteri Keuangan. Alokasinya persis seperti yang diminta Sindu dan Acos.

l l l

KETIKA Tamsil Linrung dan Olly Dondokambey, juga Wakil Ketua Badan Anggaran, diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin pekan lalu, pemimpin KPK dicecar habis-habisan di Senayan. Pertemuan yang semula bertopik rapat konsultasi tentang pembahasan anggaran di DPR itu justru menyudutkan KPK. Padahal pertemuan itu dihadiri pula oleh Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.

Musababnya tak lain dari pemeriksaan KPK terhadap empat pemimpin Badan Anggaran, termasuk Melchias Markus Mekeng dan Mirwan Amir, dalam kasus suap Nyoman dan kawan-kawan. Para politikus Dewan menganggap pemeriksaan KPK tak relevan karena mengorek soal kebijakan. Mereka juga menuding KPK memeriksa Badan Anggaran sebagai lembaga.

KPK menangkis tudingan itu. Pemeriksaan tersebut, menurut Ketua KPK Busyro Muqoddas, dilakukan terhadap individu yang mengetahui pengucuran anggaran. Dalam surat persetujuan anggaran tertanggal 22 Juli lalu, keempat pemimpin Badan Anggaran dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo membubuhkan tanda tangan. "Selain itu, ada pengakuan bahwa aliran dana sampai ke Badan Anggaran," kata Busyro.

Sumber Tempo yang mengetahui kasus ini memastikan ongkos komitmen sebesar sepuluh persen dari nilai proyek sebagian telah mengalir ke Badan Anggaran. Menurut sumber ini, duit tersebut bukan dari Dharnawati, yang memenangi proyek di empat kabupaten di Papua, melainkan dari 15 kabupaten lain yang menyetor langsung ke Sindu dan Acos. Jumlah duit yang disetor masih belum jelas betul. Tapi, kata dia, duit ditengarai diterima Tamsil Linrung.

Itulah sebabnya, pada pemeriksaan Senin pekan lalu, Tamsil dan Olly dicecar soal aliran dana ke Badan Anggaran. "Pernah terima uang?" ujar Olly menirukan pertanyaan penyidik setelah diperiksa. "Jelas tidak, dong." Olly adalah Ketua Panitia Kerja Transfer Daerah yang mengurusi turunnya anggaran Rp 500 miliar itu. Tamsil juga membantah pernah menerima duit dari Acos dan Sindu. "Tidak pernah sama sekali," katanya. "Suruh mereka buktikan saja."

Nyoman, yang bersama Dadong dan Dharnawati disangka hendak menyuap Muhaimin, berkukuh duit Rp 1,5 miliar dari Dharnawati merupakan jatah Badan Anggaran. Dalam percakapan telepon dengan Muhammad Fauzi, anggota staf Muhaimin, pada 16 Agustus, Nyoman berkata, "Ini termasuk yang akan dikirim langsung ke bos." "Bos", kata Nyoman kepada penyidik, bukan Menteri Muhaimin, melainkan Badan Anggaran. Fauzi diminta menjadi perantara Dharnawati kepada Sindu.

Ketika itu, Dharnawati belum menyetor ongkos komitmen sepeser pun. Padahal ia memperoleh jatah proyek terbesar, yakni Rp 73,18 miliar untuk empat kabupaten. Karena Dharnawati memperoleh jatah terbesar, Nyoman menyebutnya "paus". Sedangkan keluhan Sindu soal keengganan Dharnawati melunasi ongkos komitmen diistilahkan "umpan-umpan". "Nyoman khawatir Sindu marah lagi," kata Bachtiar, pengacaranya.

Anton Septian, Rusman Paraqbueq, Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus